Dalam My Liberation Notes kita bertemu, atau lebih tepatnya dipaksa, untuk mengamati tiga bersaudara yang secara sekilas sangat berbeda satu sama lain, tapi sesungguhnya punya benang merah masalah yang sama.
Gi-Jeong (Lee El) adalah anak tertua yang kerjanya hanya ngomel. Dia menggunakan privilese sebagai anak tertua dengan sangat efektif. Saat seisi keluarganya bertani di luar rumah, Lee El biasanya menghabiskan akhir pekan dengan duduk-duduk santai di rumah sambil skin-care-an.
Chang-Hee (Lee Min-Ki), si anak kedua sedang punya masalah serius dengan pekerjaannya. Dia stagnan. Dia juga ingin sekali pergi dari kampungnya, Sanpo, dan tinggal di Seoul. Dia ingin sekali punya kendaraan pribadi supaya tidak lagi jadi komuter setiap hari. Namun, masalah Chang-Hee sebenarnya lebih dari itu. Selain dia dipandang rendah oleh anggota keluarganya, Chang-Hee bingung mau dijadikan apa hidupnya. Saat ini hidupnya seperti berjalan dalam mode auto-pilot.
Terakhir ada Mi-Jeong (Kim Ji-Won), anak bungsu yang jarang bicara. Dia menolak terlibat dalam berbagai jenis konflik. Bosnya menyebalkan dan dia harus menjadi keset di kantor? Mi-Jeong lebih memilih diam. Chang-Hee ngomel lagi di meja makan yang membuat kedua orang tuanya ribut? MI-Jeong akan pergi dari meja makan. Mantan pacar menghabiskan uangnya sehingga sekarang terjerat utang? Mi-Jeong memilih untuk mengurus semua masalah ini sendirian.
Dengan masalah masing-masing yang cukup kompleks, tidak mengherankan jika ketiga saudara ini jarang berbagi cerita, meskipun pulang-pergi Sanpo-Seoul jadi kesamaan mereka setiap hari. Ketiganya terlalu sibuk untuk menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Kemudian seorang laki-laki misterius bernama Pak Gu (Son Suk-Ku) tiba-tiba muncul di hidup mereka, dan perlahan jadi katalis dalam perubahan hidup mereka.
Baca Juga: ‘Our Beloved Summer’: Kisah Cinta yang Gemas
Karakter-karakter yang Statis
Saat tulisan ini dibuat, masih ada dua sisa episode My Liberation Notes yang belum dirilis. Biasanya saya akan menonton habis semua episode untuk bisa memberi kesimpulan. Namun, kali ini saya akan membuat pengecualian. Saya ragu dua episode terakhir akan mengacaukan ritme yang sudah dibuat baik oleh penulis naskah Park Hae-Young dan sutradara Kim Suk-Yoon.
Jujur, episode-episode awal My Liberation Notes tidak semenarik kebanyakan drama Korea Selatan lain, yang biasanya memulai cerita dengan ledakan. Drama ini dari awal tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa dia adalah sebuah slice-of-life. Tidak ada yang sakit kanker di sini, tidak ada CEO kaya raya yang tiba-tiba jatuh cinta dengan perempuan biasa, tidak ada dendam yang harus dibalaskan, tidak ada janji yang harus ditepati.
Ditambah lagi dengan cara bercerita yang sangat sederhana (tidak ada shot-shot spektakuler yang menghebohkan atau musik yang heboh), My Liberation Notes terasa sangat sederhana, bahkan dari episode pertamanya. Namun, entah kenapa dengan semua kesederhanaan itu, My Liberation Notes tetap membuat saya penasaran dan menunggu episode berikutnya.
Biasanya dalam kebanyakan drama Korea Selatan, saya sudah bisa menebak ke arah mana cerita ini berjalan, ke mana saya akan digiring. Dalam My Liberation Notes saya benar-benar tersesat, in a very best possible way.
Setelah empat episode, setelah menyaksikan Mi-Jeong tiba-tiba minta Pak Gu untuk “memujanya”, barulah saya tahu kenapa My Liberation Notes mempunyai magnet yang ampuh. Drama Korsel yang satu ini pada dasarnya seperti sebuah dokumenter orang-orang yang diam di tempat. Tidak mengherankan kalau ia diberi judul My Liberation Notes. Secara perlahan, saya sebagai penonton diajak untuk melihat bagaimana karakter-karakter ini mulai bangkit dari hidup mereka yang diam di tempat.
Park Hae-Young sebagai penulis naskah begitu jago untuk menggambarkan karakter-karakter yang ada di dalamnya. Sehingga meski mereka diam saja, saya tetap bisa melihat drama di dalamnya. Tambahkan dialog-dialog yang baik, terutama ketika kita diajak masuk ke dalam kepala Mi-Jeong, maka My Liberation Notes terasa sangat memikat. Kejeniusan Park Hae-Young tidak terbatas pada dialog, tapi juga bagaimana ia membuat semua karakter utamanya diam di tempat tanpa mereka sadari.
Yeom je-Ho (Cheon Ho-Jin), sebagai bapak dan kepala keluarga, terlalu saklek sampai tidak bisa berkomunikasi dengan anak-anaknya. Hidupnya hanya didedikasikan untuk bekerja. Senin sampai Minggu dia terus bekerja. Dia memang tinggal serumah dengan ketiga anaknya, tapi dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Baca Juga: Perjalanan Menjadi Feminis ala BTS: Lirik Misoginis hingga Belajar Gender
Hye-Suk (Lee Kyung-Sung), ibu dari ketiga saudara ini, juga sama menderitanya. Tidak hanya harus bertugas sebagai seorang istri dari suami yang workaholic, dia juga harus menjadi ibu rumah tangga dan mengurus ketiga anaknya yang masih tinggal bersamanya.
Dia tidak hanya harus bekerja membantu suaminya, tetapi juga harus mengurusi rumah, masak, dan melakukan pekerjaan domestik lainnya. Ada dialog di episode 13 di mana Hye-Suk mengeluh karena sudah bekerja setiap hari selama setahun dan kelelahan karenanya. Bikin saya teringat nenek yang dulu juga pernah bilang hal yang sama.
Ternyata, Pak Gu yang di awal cerita hadir sebagai katalis juga punya konfliknya sendiri. Ia juga menyaru jadi salah satu karakter yang juga diam di tempat.
Pak Gu pergi ke Sanpo untuk lari dari masalahnya. Memeluk alkohol untuk membuatnya lupa. Setiap hari ia melakukan hal yang sama. Bahkan jumlah alkohol yang dia beli selalu sama. Ketika dia dan Mi-Jeong memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan, koneksi antara mereka berdua tidak hanya menyelamatkan Mi-Jeong, tapi juga Pak Gu. Mereka berdua akhirnya berhasil menyelamatkan masing-masing dari semua beban di pundak mereka. Dan kejadian ini diceritakan dengan begitu sabar dan teratur sehingga saya sebagai penonton tidak bisa tidak tersenyum saat mereka berdua berangsur-angsur bangkit.
Selain dinamika keluarga, persaudaraan, dan kisah cinta, banyak bumbu dalam My Liberation Notes yang saya yakin akan membuat banyak penonton lain relate dengan kisah yang ada di dalamnya. Bagaimana rasanya punya mantan kekasih yang menyebalkan, misalnya.
Saya yakin banyak penonton yang paham posisi Mi-Jeong. Bagaimana rasanya mencintai seseorang, tapi orang-orang yang ada di sekitar gebetan kita sepertinya tidak setuju dengan hubungan ini. Saya yakin banyak sekali dari penonton My Liberation Notes yang bisa melihat kisah mereka di Gi-Jeong.
Mungkin dari semua bumbu-bumbu My Liberation Notes yang menggemaskan, seperti persahabatan Chang-Hee dengan Du-Hwan (Han Sang-Jo), penggambaran budaya kerja kantoran di My Liberation Notes terasa sangat nyata sampai saya bisa mencium bau steril dan pencahayaan lampu neon yang depresif itu.
Baca Juga: Bagaimana K-Pop dan K-Drama Melawan Stereotip Orang Asia?
Ketiga karakter utama kita adalah budak korporat dan saya tidak bisa tidak angkat jempol melihat bagaimana kreator drama ini menggambarkan work culture yang ada di dalamnya. Teman kerja yang bawel, bos yang menyebalkan, geng-gengan yang toxic, orang-orang kepo yang tidak tahu ranah privasi. Semua hal ini bertebaran di setiap episodenya yang membuat saya semakin terkagum-kagum dengan penulisan skrip Park Hae-Young yang sangat tiga dimensional.
Dengan tone melankoli dan drama yang dikemas ringan, My Liberation Notes malah jadi terkesan serius. Tapi jangan khawatir, ada banyak humor di dalamnya yang biasanya muncul di tempat yang terduga. Dan saat humor itu muncul, bersiaplah Anda tertawa sekeras-kerasnya karena My Liberation Notes selalu mengingatkan bahwa hidup itu sungguh absurd.
Sebagai penutup, saya mau mengaku bahwa sebenarnya saya belum siap untuk berpisah dengan geng Sanpo ini. Dan meskipun saya belum menonton dua episode terakhirnya, saya sudah bisa menebak bagaimana kisah ini akan diakhiri. Bagaimana pun juga, ini adalah cerita tentang orang-orang yang berjuang mencari bahagia. Hanya ada satu cara yang baik untuk mengakhiri kisahnya.
My Liberation Notes dapat disaksikan di Netflix.
Comments