Women Lead Pendidikan Seks
June 22, 2022

Nama yang Merepotkan dan Narasi Perih di Baliknya

“Kenapa orang Flores macam kau namanya Ratih?”

by Margareth Ratih Fernandez
Culture
Nama yang Merepotkan
Share:

Sejak tinggal dan mondar-mandir di beberapa kota/kabupaten di Jawa selama 12 tahun terakhir, pertanyaan soal kenapa saya punya nama sapaan Ratih sudah tak terhitung. Alasannya sederhana. Nama Ratih dianggap sangat jawani, dengan makna yang begitu diagung-agungkan.

Sependek pengetahuan saya, dalam upacara pernikahan jawa misalnya, pasangan Ratih dan Kamajaya kerap kali jadi role model atas kesetiaan mereka sehidup semati, walau yang saya tahu Ratih saja yang membuktikan kesetiaannya dengan membakar diri agar bisa tetap bersama suaminya yang keburu mati kena amuk Batara Guru. Selain kesetiaannya, pasangan ini juga jadi pujaan karena deskripsi fisik rupawan yang melekat di benak masyarakat Jawa pada umumnya; berkulit langsat, bertubuh ramping, dan berambut lurus hitam.

Sejujurnya, culture shock terbesar yang saya alami sebagai orang luar Jawa saat baru awal-awal tinggal di Jogja dulu ya perkara nama ini. Ada satu momen di awal perkuliahan yang tidak akan pernah terhapus dari memori saya.

Baca juga: Menjadi Anak Perempuan dalam Keluarga Batak

Di bulan pertama kuliah, mahasiswa baru di kampus saya wajib mengikuti semacam rekoleksi keagamaan yang konon jadi salah satu persyaratan jika hendak mendaftar ujian akhir skripsi kelak. Setiap mahasiswa dikelompokkan ke dalam agamanya masing-masing. Saya, sebagai penganut Katolik, mengikuti rangkaian kegiatan itu di sebuah rumah retret di barat kabupaten Sleman. Sebelum berangkat, kami berkumpul di Gedung pusat kegiatan mahasiswa. Seseorang mengajak saya berkenalan saat saya sedang beli jajan dengan dua teman yang lain. Begitulah si orang baru ini terkaget-kaget begitu dengar nama yang saya lontarkan dalam perkenalan itu.

Wueeh, kok Namanya Ratih?”

Saya hanya tersenyum basa-basi sambil memutar otak bagaimana bisa menjelaskannya dengan singkat tapi terasa masuk akal, walau saya sendiri juga tidak benar-benar tahu jawabannya. Namun, ia tak melanjutkan pembicaraan itu dan memilih berbasa-basi hal yang lain. Kami lalu mengobrolkan banyak hal sampai akhirnya larut bermain tebak-tebakan jayus hingga bus jemputan tiba.

Di hari kedua rekoleksi tersebutlah “guncangan” itu terjadi lebih dahsyat. Kami para peserta, dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi dan mengerjakan beberapa tugas kelompok. Saat itu, di sesi setelah istirahat makan siang, seorang dosen pendamping mendatangi kelompok kami. Awalnya ia hanya mengamati, tapi lalu ikut berdiskusi. Setelah sudah agak cair, beliau baru ingat kalau belum berkenalan dengan kami semua. Lalu mulailah kami memperkenalkan diri. Kebetulan giliran saya yang terakhir, dan tanpa menduga akan apa yang terjadi setelahnya, spontan saya memperkenalkan diri; menyebut nama lengkap saya dengan panggilan “Ratih” beserta kampung halaman yang terletak di timur pulau Flores. Seperti teman baru yang terkaget-kaget saat kenalan kemarin, Bu Dosen satu ini juga demikian tapi dengan derajat kekagetan yang jauh lebih mengerikan.

Baca juga: Pendidikan Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai

Saya masih ingat nada suaranya ketika mengucapkan “Hah?” secara spontan. Ekspresi kagetnya lebih mirip seseorang yang tercengang ketika ada seorang pelaku pembunuhan yang mengaku di hadapannya. Lalu ia lanjut berucap, “kok bisa?”. Tentu saja ujaran ini bermakna persis seperti yang dilontarkan si teman baru kemarin. Tapi karena kali ini yang melontarkannya adalah orang tua, saya benar-benar bingung bagaimana memberi tanggapan. Yang ada, suasana jadi mendadak sunyi karena mungkin teman-teman sekelompok dan kakak pemandu kami ikut kebingungan.

Si dosen tidak melanjutkan apa pun lewat mulutnya, tapi matanya mengatakan sesuatu yang lain. Dia memandang saya secara saksama masih dengan selipan rasa kaget, dari ujung kepala sampai bawah, lalu ke atas lagi. Canggung sekali rasanya. Saya lalu mengalihkan pandangan karena tak kuasa ditatapi seperti itu.

Menyadari suasana sudah sedemikian bekunya, Bu Dosen spontan berujar, “Oh ya udah enggak apa-apa.” Dalam hati saya berujar, “Emang saya abis ngapain sampai harus dikasih tanggapan ‘enggak apa-apa’?

Mungkin ia menyadari ada sesuatu yang salah, hingga dengan cepat berusaha membuat suasana lebih santai meski enggan beralih dari topik tersebut.

“Kamu kenal Bu N? Beliau dosen di FIP, orang Flores juga. Ya mirip-mirip kamu gini…” tatapannya kembali seperti semula sebelum melanjutkan, “ma-nis.”

Dua belas tahun berlalu dan saya masih ingat persis keraguan dalam nada suaranya saat berusaha memberi komplimen ala-ala itu.

Beberapa bulan setelahnya, saat sudah berkali-kali mendapat pertanyaan yang sama, saya sadar bahwa reaksi Bu Dosen kala itu menunjukkan kebingungannya atas sesuatu yang sudah melekat di kepalanya dengan realitas baru yang ia temui. Saya amat yakin pertemuannya dengan saya saat itu adalah pengalaman pertamanya bertemu makhluk bernama Ratih tapi bukan orang Jawa, plus keriting dan berkulit gelap. Tentu saja “ketidaksesuaian” itu mengguncang dirinya hingga berperilaku tidak menyenangkan.

Saya sempat berpikir kalau memang nama saya ini tidak sinkron dengan latar belakang suku dan penampakan fisik saya, lalu kenapa orang-orang tidak sebegitu heran ada orang bernama Michael tapi tidak pirang? Atau orang bernama Fathimah tapi hidungnya tidak bangir?

Pertanyaan yang kemudian bisa saya jawab sendiri: nama-nama seperti itu sudah lebih lazim diberikan pada siapapun. Michael terdengar cukup internasional. Fatimah tentu saja nama yang sangat islami dan penganut Islam bukan hanya orang-orang yang tinggal di jazirah Arab. Kasus saya tergolong spesial karena mungkin belum banyak yang tahu dan mengalaminya.

Sejak kecil sebenarnya saya selalu merasa nama panggilan ini tidak sesuai, tapi bukan perkara background culture-nya seperti yang saya hadapi saat dewasa. Melainkan, karena nama ini dirasa terlalu “tua” buat saya yang waktu itu masih anak kecil.

Alasannya, bila merujuk ke orang terkenal yang punya nama yang sama, pastilah orang dewasa seperti Ratih Purwasih atau Ratih Sanggarwati. Tak ada setidaknya artis cilik yang saya tahu bernama Ratih. Itulah sebabnya saat masih kecil dan bertemu orang baru, saya suka mengarang nama panggilan yang terdengar ‘imut-imut’ dan merujuk pada nama artis cilik favorit yang saya tahu, seperti Cikita, Lala, atau Tina.

Baca juga: Dekolonisasi Sains: Memerdekakan Ilmu Pengetahuan dari Watak Kolonial

Akan tetapi, Ratih kecil tak pernah membayangkan bahwa saat dewasa nama panggilannya ini akan membawa masalah yang jauh lebih rumit dan epistemik. “Kenapa orang Flores macam kau namanya Ratih?” Berkali-kali pertanyaan itu saya terima pasca-insiden dengan Bu Dosen, dan membuat saya harus menyiapkan cerita-cerita yang terdengar masuk akal agar “selamat.”

Saya memang tak pernah bertanya secara langsung pada mendiang ibu saya kenapa nama ini yang ia pilih. Namun, samar-samar saya mengingat percakapan singkatnya dengan salah seorang kerabat tentang nama saya. Tiga kakak saya sudah punya nama panggilan yang huruf depannya R, jadi ibu saya berinisiatif untuk memberi nama anak terakhirnya dengan huruf depan R juga. Kenapa Ratih yang dipilih, ibu saya memang menyebut tokoh Dewi Ratih dalam pewayangan yang kerap ditonton dan dibacanya dari berbagai sumber.

Lantaran ibu sudah tiada, saya hanya berasumsi berdasarkan penggalan memori itu beserta pengetahuan-pengetahuan baru yang saya dapat saat tumbuh dewasa. Ibu saya, sebagaimana juga bapak, adalah orang Flores Timur yang lahir dan bertumbuh di sana. Walau bila ditelusuri ada banyak gen bangsa lain di dalam dirinya akibat proses migrasi penduduk belahan bumi lain dan penjajahan di masa lampau. Namun, dalam kerangka ke-Indonesiaan, ibu saya adalah orang Indonesia bersuku Lamaholot (suku mayoritas di Flores Timur).

Sebagai manusia yang banyak merantau dan berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai suku lain di tanah air, ibu saya juga kerap terjebak dalam stereotip-stereotip. Mengindetikkan suku tertentu dengan perilaku tertentu. Dan sebagai generasi yang merasakan “masa jaya” Orde Baru dengan figur jawani Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, ibu saya tidak bisa menepis superioritas Jawa yang ikut dibangun oleh rezim itu. Menganggap di sanalah peradaban dibangun, lewat perilaku, sistem pengetahuan, serta narasi-narasi sejarah yang muncul di buku pelajaran anak-anaknya.

Ibu saya gemar membaca, kebiasaan yang untungnya menurun ke anak-anaknya. Namun dengan segala keterbatasan, ia tidak mendapat akses ke narasi lain tentang rezim ini dan bagaimana taktik citra kultural sang penguasa dimainkan untuk melanggengkan kekuasaan. Hingga akhirnya anak-anaknya tumbuhdewasa dan mengakses pengetahuan yang berbeda. Saat remaja, beberapa kali saya menyaksikan ibu dan kakak-kakak saya berdebat tentang apakah Soeharto itu orang baik atau bukan. Tapi, ia tak pernah membayangkan di masa depan, “pemujaannya” terhadap entitas tertentu membuat salah satu anaknya selama belasan tahun menghadapi masalah yang sungguh merepotkan. 

Uraian ini setidaknya bisa memberi latar belakang yang masuk akal kenapa saya bisa sampai punya nama Ratih. Ya, bisa dibilang saya adalah produk jawanisasi ala Orde Baru. Dan sungguh itu fakta yang menyakitkan.

Sekitar 7 atau 8 tahun lalu saya sempat mencari tahu detail mekanisme perubahan nama di pengadilan, karena sudah lelah menghadapi pertanyaan orang-orang. Saya ingin menghapus nama“ratih” dari semua dokumen resmi yang saya punya. Tapi, begitu saya sadar prosesnya sangat rumit, lama, dan butuh uang yang sangat banyak, keinginan itu saya urungkan. Saya bukan anak orang kaya dan memutuskan untuk tidak usah punya keinginan macam-macam dalam hidup. 

Setidaknya sampai sekarang saya mensyukuri keputusan itu.Tetap bertahan hidup dan menambah isi kepalanya tanya membuat saya semakin bisa mengendalikan perasaan dan sikap saat kembali diberi pertanyaan soal nama ini. Saya tidak lagi menolak rasa tidak nyaman itu, tapi berusaha menerimanya sebagai bagian dari diri saya sendiri. Yang masih terus saya usahakan dan pelajari adalah cara menyikapi pertanyaan-pertanyaan itu dengan tenang tanpa kehilangan rasa hangat dengan si penanya yang kebanyakan juga bukan orang-orang yang berniat menyakiti saya.

Benar memang kata orang bijak, bahwa nama adalah doa. Ibu saya, sebagaimana juga diamini ayah saya, punya doa yang baik lewat nama ini. Saya tak lagi punya keinginan untuk menghapusnya. Ini bentuk penerimaan diri yang wajib saya rawat dan evaluasi setiap hari. Terlepas dari ada indikasi jawanisasi dalam identitas yang saya miliki, toh dalam hidup, semua orang akan selalu bersinggungan dengan berbagai pengetahuan dan entitas lain. Hingga saling memengaruhi dalam banyak aspek, termasuk bagaimana anak-anak dinamai.

Ngomong-ngomong, marga saya juga impor tuh, ada narasi penaklukan di baliknya. Tapi sampai sekarang tak ada yang menanyakan“kenapa?”sebagaimana mereka menanyakan “kenapa ratih?”. Mungkin karena banyak orang sudah tahu kalau Portugal pernah menjadikan sebagian kawasan Nusantara sebagai jajahannya. Tapi belum tahu kalau “jawa” juga pernah melakukannya pada kawasan-kawasan lain di Indonesia. Atau malah masih, ya?

Margareth Ratih Fernandez saat ini berdomisili di Sleman, Yogyakarta dan bekerja sebagai editor di sebuah penerbit. Ia tergabung dalam kolektif Perkawanan Perempuan Menulis dan ikut serta menyelenggarakan forum belajar dan bertukar pikiran bertajuk Sekolah Pemikiran Perempuan tahun ini.