Women Lead Pendidikan Seks
June 15, 2022

Nasib Ojol Selama Dua Tahun Pandemi: Tarif Ditekan, Pemerintah Membiarkan

Di tengah situasi tarif rendah dan ketidakadilan yang dialami pengemudi, kebijakan yang memihak pengemudi menjadi hal penting untuk dilakukan

by Arif Novianto
Issues
Nasib ojol di dua tahun pandemi
Share:

Aksi protes yang dilakukan oleh pengemudi online, baik pengemudi ojek ((ojek online, atau ojol) maupun kurir yang digolongkan sebagai mitra, marak terjadi selama pandemi COVID-19 berlangsung.

Berdasarkan studi lapangan yang saya lakukan, terdapat 71 kasus protes pengemudi online semenjak Maret 2020 – ketika pandemi COVID-19 mulai masuk ke Indonesia – hingga Maret 2022. Total 132.960 pengemudi online terlibat dalam aksi protes yang terjadi di berbagai kota/kabupaten di Indonesia.

Berbeda dengan aksi protes sebelumnya yang lebih banyak menyasar upaya legalisasi transportasi online, isu utama yang diusung dalam setiap protes selama pandemi adalah tentang persoalan tarif dan insentif. Ini terjadi karena pengaturan tentang tarif dan insentif berpengaruh besar terhadap pendapatan pengemudi. Sementara itu, pendapatan pengemudi akan berpengaruh terhadap kondisi kerja pengemudi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil tarif dan pendapatan pengemudi online, semakin rentan pula kondisi kerja mereka. Hal ini karena pengemudi harus bekerja lebih panjang dan keras demi memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Saya bergabung dengan sekitar 44 grup media sosial (Facebook dan Whatsapp) pengemudi online di Indonesia dan melakukan sejumlah wawancara untuk mengukur dan melacak aksi protes pengemudi, serta mencari tahu tuntutan mereka. Hasilnya, saya menemukan bahwa perlombaan antar platform untuk menurunkan tarif demi menggaet konsumen membuat pengemudi terpapar kerentanan dan memicu aksi protes.

Baca juga: Akun Tuyul sampai Joki: Bagaimana Pengemudi Gojek Lawan Eksploitasi Kerja

Aksi Protes Pengemudi Online

Periode awal berlangsungnya gemuruh perlawanan pengemudi online berlangsung pada tahun 2020, ketika dengan alasan pandemi COVID-19, perusahaan platform seperti Gojek dan Grab menurunkan skema insentif bagi pengemudi

Made with Flourish

Tarif yang rendah telah memicu peningkatan aksi protes dari pengemudi online. Dalam upaya melawan kerentanan yang dialami, pengemudi melayangkan 24 aksi protes yang melibatkan sekitar 22.080 orang di 16 kabupaten/kota selama periode Maret–Desember 2020. Dalam aksi protes di tahun 2020 ini, sebanyak 70,8 persen di antaranya menuntut pengembalian skema insentif lama dan pengaturan tarif layak.

Pada 2021, terjadi peningkatan menjadi 28 aksi.

Berbeda dengan aksi protes pengemudi online di tahun 2020 yang lebih banyak menuntut pengembalian skema insentif, pada tahun 2021 isu utama dalam setiap aksi adalah terkait tarif layak.

Metode aksi yang dilakukan oleh pengemudi online pada tahun 2021 adalah dengan mogok kerja, penyegelan kantor perusahaan platform, pengiriman petisi, dan aksi massa ke kantor pemerintahan serta kantor perusahaan platform. Selama 2021, 67,8 persen protes (19 aksi) dilaksanakan untuk memperjuangkan tarif yang layak.

Sementara itu, pada tahun 2022, ketika ancaman pandemi COVID-19 mulai menurun, aksi protes yang dijalankan pengemudi online justru mengalami tren peningkatan. Dari Januari–Maret 2022, telah terjadi 19 aksi protes dengan melibatkan sekitar 64.450 pengemudi di Gojek, Grab, Maxim, dan Shopee Food. Isu utama dalam aksi protes pengemudi di tahun 2022 ini tetap sama, yaitu terkait tarif layak dan kondisi kerja yang adil.

Baca juga: Perusahaan Transportasi Online Didesak Cegah Kekerasan terhadap Perempuan

Pandemi COVID-19 Bukan Penyebab Utama Kerentanan

Pandemi COVID-19 telah membuka beragam kerentanan yang dialami pengemudi online di Indonesia. Sebagai pekerja informal dengan klasifikasi kontraktor independen, kerentanan terjadi karena pengemudi online tidak mendapatkan berbagai hak yang diterima oleh pekerja di sektor formal seperti upah minimum, perlindungan sosial, sarana kerja yang ditanggung perusahaan, hak libur berbayar, jam kerja layak 40 jam/minggu, dan juga keamanan kerja.

Sebelum pandemi COVID-19, kerentanan tersebut telah ada. Namun, hal ini tidak terlalu dipersoalkan karena pendapatan pengemudi yang cenderung besar, bahkan lebih dari dua kali lipat upah minimum. Besarnya pendapatan tersebut dimungkinkan karena masih berlangsungnya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform.

Pandemi COVID-19 pada kenyataannya hanya berdampak pada layanan antar-penumpang, sementara layanan antar-makanan justru meningkat 183 persen. Selain itu, layanan antar-barang meningkat pesat seiring meroketnya transaksi di toko online hingga 400 persen pada masa awal pandemi.

Setelah insentif diturunkan sampai hampir tidak ada, besaran tarif yang diterima oleh pengemudi online pun diturunkan.

Gojek dan Grab – dua platform ojek online terbesar di Indonesia – beralasan bahwa penurunan tarif ke pengemudi merupakan upaya untuk menarik minat konsumen menggunakan layanan mereka dibanding ke platform lain. Mengutip pesan dari Grab ke pengemudi mereka: “Penyesuaian tarif GrabFood ini agar semakin banyak yang menggunakan GrabFood sehingga orderan Anda bisa tambah banyak lagi”.

Penurunan tarif bersih yang diterima pengemudi di layanan antar-makanan dimulai oleh Gojek pada Oktober 2021. Misalnya dalam layanan GoFood di Yogyakarta, pengemudi yang awalnya mendapatkan tarif dasar Rp 7.200 (0-4 km) diturunkan menjadi Rp 6.400. Tidak berselang lama, Grab juga menurunkan tarif bersih untuk pengemudi pada Februari 2022, yaitu dari Rp 7.200 (0-4 km) menjadi Rp 6.400. Tarif termurah dalam layanan antar-makanan adalah Maxim, yaitu sebesar Rp 4.000 (0-4 km).

Perlombaan menurunkan tarif ke pengemudi juga terjadi dalam layanan antar-barang. Penurunan tarif bersih dilakukan oleh Lalamove pada Januari 2021, dari Rp 8.000 (0-4 km) menjadi Rp 6.400 (0-4 km). Hal yang sama kemudian diikuti oleh perusahaan platform lain, seperti Gojek, Grab, dan Borzo.

Studi terhadap pengemudi Gojek di layanan GoKilat menunjukkan bahwa dengan tarif Rp 2.000/km, mereka masih belum menikmati kondisi kerja yang layak dan adil. Kerentanan kerja tentu akan semakin besar jika tarifnya lebih kecil dari pada itu.

Made with Flourish

Pada dasarnya, pendapatan yang diterima oleh pengemudi online ada tiga bentuk, yaitu tarif (diatur oleh pemerintah dan perusahaan platform), insentif (kewenangan perusahaan platform), dan tip dari konsumen.

Penentuan tarif bagi pengemudi online di Indonesia diatur dalam dua regulasi, yaitu aturan mengenai tarif layanan antar-penumpang dan aturan tarif layanan antar-barang dan makanan (non-manusia). Tarif layanan antar-penumpang, diatur oleh Kementerian Perhubungan, mencakup tarif dasar 0-4 km dan tarif batas bawah-atas yang dibagi dalam tiga zona. Sementara, tarif layanan antar-barang dan makanan, berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika, diserahkan kepada mekanisme pasar.

Penentuan tarif yang diserahkan kepada mekanisme pasar memungkinkan terjadinya perlombaan menurunkan tarif yang diterima pengemudi online di layanan antar-barang dan makanan. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan bakar yang berlangsung di Indonesia pada dua tahun terakhir, rendahnya tarif dan ketiadaan insentif membuat kesejahteraan pengemudi online semakin menurun.

Baca juga: Untung Rugi Kerja di Perusahaan ‘Startup’

Perlunya Kebijakan Tarif Layak

Gemuruh aksi protes yang dilangsungkan oleh pengemudi online selama pandemi COVID-19 pada kenyataannya tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah dan perusahaan platform. Dari aksi protes pengemudi online selama dua tahun dari Maret 2020-Maret 2022, hanya 11 aksi protes (15,5 persen) yang tuntutannya dikabulkan. Namun, tuntutan yang dimenangkan tersebut adalah tuntutan yang bersifat mikro, seperti parkir gratis di beberapa tempat dan pembayaran tepat waktu.

Sementara, berbagai tuntutan terkait hal makro, yaitu penetapan tarif layak, kondisi kerja yang adil, dan kejelasan klasifikasi pengemudi, semuanya belum membuahkan hasil. Alih-alih berupaya merespon berbagai tuntutan aksi dari pengemudi, pemerintah justru membiarkan ketidakadilan yang dialami pengemudi berlangsung berlarut-larut. Sedangkan bagi perusahaan platform, atas nama upaya untuk memenangkan kompetisi dengan kompetitornya dan meraup keuntungan, mereka justru mendorong pengemudi online pada kondisi yang semakin rentan.

Di tengah situasi tarif rendah dan ketidakadilan yang dialami pengemudi, maka kebijakan yang memihak pengemudi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Tanpa dengan segera mengatur pendapatan dan kondisi kerja yang layak serta adil, maka kerentanan yang dialami pengemudi online akan semakin parah dan sangat memungkinkan terjadi aksi protes yang semakin besar.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Arif Novianto adalah Peneliti Junior di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada.