Women Lead Pendidikan Seks
October 22, 2021

‘Nembak’ dan Ditolak Gebetan, Apa yang Sebaiknya Kita Lakukan?

Ditolak sama gebetan rasanya memang sakit banget, tapi bukan berarti duniamu berakhir setelahnya, lho.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle // Madge PCR
Penolakan Cinta_Break Up_Patah Hati_KarinaTungari
Share:

Sudah beberapa bulan “Anton” berhubungan dengan “Sarah”, perempuan yang ditemuinya di aplikasi kencan. Sepanjang kenal dengan Sarah, Anton merasa obrolannya begitu nyambung dengan perempuan tersebut, dan ada kesenangan tersendiri setiap melihat nama Sarah muncul di notifikasi WhatsApp-nya. 

Setelah beberapa kali jalan bareng, Anton merasa nyaman bersama Sarah. Perasaan nyaman itu kian bertambah seiring dengan sikap-sikap Sarah yang perhatian dan Anton anggap sebagai sinyal ketertarikan. Perlahan tapi pasti, harapan Anton untuk menjadi lebih dari sekadar teman jalan bagi Sarah tumbuh dan ini mendorongnya untuk menyatakan perasaan.

Ketika Anton nembak Sarah pada suatu makan malam berdua, jawaban Sarah serasa meruntuhkan dunia Anton.  

“Aku ngerasa udah nyaman dengan hubungan kita sekarang ini dan enggak mau ngerusaknya dengan pacaran sama kamu. Bisa enggak kita temenan aja?” pinta Sarah.

Setelah penolakan itu, Anton mendiamkan Sarah. Dalam kesehariannya, ia jadi gampang sekali tersinggung dan berlaku kasar pada orang sekitarnya. Kepada teman-teman dekatnya, Anton terus menerus mengatakan hal-hal buruk tentang Sarah yang sebenarnya jauh dari kenyataan. Yang tadinya jadi pujaan hati, Sarah kini jadi sosok yang Anton benci. 

Baca juga: ‘Kalau Kamu Nolak, Nanti Aku Makin Parah’: Modus Pelecehan Berdalih ‘Sakit’

Efek Penolakan dari Gebetan

Menerima kata “tidak” dari orang yang seseorang sukai bisa menimbulkan aneka emosi, mulai dari bingung, sedih, hingga marah. Kemarahan ini dapat berhubungan dengan gengsinya yang terpatahkan setelah berusaha sedemikian rupa memberanikan diri menyatakan cintanya.

Kemarahan juga bisa muncul karena ada berbagai momen intim berdua yang sudah dilewati dan menyuburkan harapan dalam diri seseorang untuk jadi pasangan gebetannya, lantas dibenturkan dengan realitas yang tidak diinginkannya. Seolah-olah, segala hal yang dilakukan untuk mewujudkan momen bersama itu sia-sia saja.

Lebih lanjut, kemarahan tersebut bukan mustahil mendorongnya untuk bertindak agresif, seperti menyakiti gebetan atau orang lain yang dekat dengan gebetannya itu. Ketika mencari berita-berita terkait cinta ditolak, tidak susah menemukan kisah seseorang dibunuh setelah menolak cinta si pelaku. 

Dalam tulisannya di Psychology Today, psikolog evolusioner Robert P. Buriss menyoroti adanya kaitan antara kepercayaan tentang kehormatan laki-laki dan perilaku agresif saat ditolak seseorang. Berdasarkan hasil studi dari Kansas State University yang Buriss kutip, ditemukan, responden yang memegang kepercayaan tentang kehormatan maskulin ideal menganggap, dalam skenario seorang laki-laki yang ditolak perempuan yang dia sukai, wajar bila laki-laki itu merasa tersinggung dan berperilaku agresif seperti memanggil perempuan tersebut pelacur atau menarik tangannya. 

Itu beberapa contoh dari bagaimana emosi negatif pasca-ditolak berdampak langsung pada orang lain. Di lain sisi, penolakan juga bisa membawa efek buruk bagi diri sendiri. Seseorang yang baru mengalaminya dapat merasa tidak cukup baik dan berulang kali menyalahkan dirinya sendiri atas penolakan itu.

“Manusia adalah makhluk sosial. Kita menginginkan koneksi dan menjadi bermakna untuk orang lain. Saat kita menghadapi penolakan…sulit bagi kita untuk tidak menanamkan pemikiran negatif tentang keberhargaan diri kita. Penolakan membawa krisis eksistensi terkait ‘kesendirian’ yang cukup menyakitkan dan susah diabaikan,” kata terapis Jor-El Caraballo dalam Talkspace, menjelaskan efek penolakan dalam diri seseorang. 

Dalam artikel di Bustle dijelaskan, penolakan bisa membawa perubahan dalam tubuh kita. Jika saat sedang begitu jatuh cinta pada gebetan tubuh kita melepaskan hormon-hormon kebahagiaan, saat kita ditolak, hormon-hormon tersebut tak lagi mendominasi dan tergantikan oleh hormon stres. Peralihan ini bisa jadi sangat berat dan tidak nyaman bagi kita secara fisik maupun emosional.

Di samping itu, bagi orang-orang yang sudah punya masalah dalam hal penilaian dan keberhargaan diri sebelumnya, penolakan bisa membawa efek lebih besar. Mereka bisa menggeneralisasi keadaan dengan berpikir mereka memang tak dicintai dalam relasi-relasi lainnya walau kenyataannya tidak demikian.

Efek lebih besar dari penolakan juga bisa dirasakan oleh orang-orang yang sebenarnya bukan mencintai gebetannya, melainkan terobsesi kepadanya. Saat dunia mereka melulu diisi hal-hal tentang sang gebetan dan tindakan mereka kerap didorong oleh alasan ingin berdekatan terus dengannya, penolakan menjadi pukulan besar yang dapat menjatuhkan penilaian diri mereka, bahkan mengganggu aktivitas hariannya. 

Jika seseorang telah mengalami penolakan berkali-kali, ini bisa membuatnya mengubah standarnya dalam memilih calon pasangan. Hal ini menjadi salah satu temuan studi berjudul “The Influence of Romantic Rejection on Change in Ideal Standards, Ideal Flexibility, and Self-Perceived Mate Value" (2018). Seiring penolakan demi penolakan yang seseorang terima, ia mengurangi standar calon pendamping hidupnya atau mulai lebih fleksibel dalam menerapkan standarnya tersebut. 

Baca juga: Jangan Abaikan Trauma Pasca-Putus

Apa yang Perlu Kita Lakukan Kemudian?

Pertama, kita perlu menanamkan pada diri sendiri, penolakan dan perasaan-perasaan negatif yang muncul setelahnya itu normal. Dunia tidak berakhir setelah kita ditolak. 

Dalam hidup, tidak ada jalan yang sepenuhnya mulus, entah itu di percintaan, pekerjaan, pertemanan, atau relasi lainnya. Mungkin sejak kecil kita didorong untuk selalu berhasil dan menaruh ekspektasi tinggi sehingga penolakan jadi semacam momok tersendiri. Berusaha untuk menggeser pola pikir seperti ini tidak akan membuat kita lebih buruk, kok. Pengalaman gagal, ditolak, dan kecewa setelahnya manusiawi sekali. Bahkan, sebenarnya kita perlu merasakan dan belajar menerima berbagai kegagalan supaya kita semakin kuat setiap kali harapan kita tak tercapai.

Setelah ditolak oleh orang yang kita suka, mungkin kita akan “tergoda” untuk memandang semuanya itu tentang kita. Kita mulai berpikir, kita kurang menarik dalam banyak hal, kita salah karena telah menyatakan perasaan, cara kita nembak mungkin kurang mengesankan gebetan, dan lain sebagainya. Ketika hanyut dalam pikiran-pikiran macam itu, kita hanya akan semakin terpuruk dan susah move on.

Kepada Insider, psikolog Devon Berkheiser menyatakan ada alasan kenapa kita ditolak. “Sering kali, alasannya sesimpel kamu bukanlah pasangan yang orang itu cari. Hanya karena kamu bukan sosok yang tepat buat orang tersebut, tidak berarti secara mendasar ada yang salah pada dirimu,” ujarnya.

Di samping kita bukan sosok yang diinginkan gebetan, bisa jadi penolakan muncul karena gebetan sedang tidak mau menjalin relasi karena memprioritaskan hal lain, dia sendiri masih punya masalah personal lain yang belum terselesaikan, atau alasan lainnya yang sama sekali tidak berhubungan dengan dirimu. Berpikir bahwa ada kemungkinan-kemungkinan seperti ini bisa menghindarkanmu dari penyalahan diri melulu setelah ditolak.

Tentu saja tidak mudah melalui masa-masa setelah ditolak, apalagi bila kita sudah ngegebet seseorang sejak lama dan merasa dia sempat mengirim sinyal menyukai kita balik. Realitas yang tak sesuai harapan akan meninggalkan rasa sakit, kecewa, marah, atau emosi-emosi negatif lainnya. Di satu sisi, kita memang tak boleh terlarut dalam emosi negatif seperti itu terus menerus, tetapi di sisi lain, kita juga perlu ingat bahwa memproses emosi dan menerima keadaan itu penting dan butuh waktu. 

Alih-alih langsung berusaha tegar seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya atau terus mengkritik diri, sediakan waktu untuk merasakan dan mengakui emosi yang kamu miliki setelah ditolak. Setelahnya, coba perlahan-lahan kamu berusaha supaya merasa lebih baik dengan cara yang sehat. Pastinya tindakan marah-marah atau memaki gebetan, dan hal-hal menyakiti orang lain maupun diri sendiri lainnya mesti keluar dari daftar usaha yang akan kamu lakukan karena itu hanya akan memperburuk keadaan.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop