“5 Artis Indonesia Yang Punya Pinggul Besar Ini Bikin Para Pria Tak Berkedip, Siapa Dia?”
“7 Atlet Berdada Super Montok”
“Selalu Bergairah, Berikut 5 Artis yang Punya Libido Tinggi Bikin Pasangan Merem Melek Terus”
“Jadi Janda 7 Tahun, Begini Cara Kiki Amalia Memuaskan Diri Ketika Sedang Hasrat Ingin Bercinta”
“Harta Sudah di Tangan Tetapi Tubuh Janda Bikin Enggak Tahan”
Familier dengan judul-judul berita di atas? Judul demikian memang masih kerap mondar-mandir di berbagai media kita. Kadang berita itu ditulis perempuan, kadang oleh lelaki. Kadang muncul di media besar, kadang nongol di media gurem. Arpita Sharma dalam artikelnya di Jurnal Perempuan menyayangkan hal ini. Dalam hematnya, media mestinya punya posisi strategis untuk mengarusutamakan agenda-agenda perempuan, alih-alih berperan aktif melakukan kekerasan lain.
Bentuk kekerasannya tampak dari citra perempuan yang disederhanakan sebatas komoditas tubuh, atau objek yang diperjualbelikan di media. Ini selaras dengan pernyataan Barbara Fredrickson and Tomi-Ann Roberts (1997), bahwa perempuan dipandang, dievaluasi, dan selalu diobjektifikasi.
Celakanya, berita semacam ini selalu laris di pasaran. Pertanyaannya, kenapa pemberitaan semacam ini masih langgeng hingga sekarang?
Baca juga: ‘Namanya Juga Cewek’: Soal Seksisme yang Menjamur di Media Kita
Beberapa Alasan
Ada alasan khusus kenapa pemberitaan bernada seksis dan cenderung misoginis masih bertaburan di Indonesia. Sebab pertama adalah karena jumlah jurnalis perempuan di Indonesia relatif sedikit. Dalam penelitian Nurul Hasfi, Sunarto, Luz Rimban, dan Amida Y (2020) ditemukan, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia tak lebih dari 25 persen. Hal ini tak jauh berbeda dengan hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Agustus 2020. Dilansir dari Antaranews, dari sekitar 1.800 anggota AJI hanya terdapat sekitar 20 persen anggota jurnalis perempuan.
Minimnya jumlah jurnalis perempuan pun diakui oleh salah satu jurnalis perempuan yang Magdalene wawancarai. “Lila”, jurnalis perempuan yang telah berkarier selama kurang lebih 6 tahun itu bilang, di lapangan, jumlah jurnalis laki-laki masih mendominasi. Hal ini secara tak langsung berpengaruh pada jumlah petinggi redaksi.
“Pemimpin redaksi sama editorku itu dari dulu kebanyakan cowok. Aku selama kerja itu baru punya atasan perempuan dua kali. Mayoritas cuma cowok, jadi komposisinya itu misalnya satu cewek yang lainnya cowok semua.”
Apa yang diungkapkan oleh Lila berbanding lurus dengan temuan survei Ignatius Haryanto dan Luviana bertajuk Jejak Jurnalis Perempuan, yang diterbitkan AJI pada 2012. Dalam laporan tersebut ditemukan 94 persen atau mayoritas jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter. Artinya, mereka bukan pengambil keputusan redaksional.
Sembilan tahun sejak survei yang disusun keduanya dirilis, minimnya proporsi perempuan sebagai pengambil keputusan redaksional masih kerap terjadi walau ada sedikit peningkatan. Dalam Proyek Riset Nasional Gambaran dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan di Media di Indonesia (2021) yang melibatkan 258 responden dari 30 provinsi di Indonesia, baik dari level jurnalis junior, madya, dan senior tercatat hanya 49 orang atau 19 persen menduduki posisi manajer.
Sementara, sebanyak 102 jurnalis atau 39,5 persen menduduki posisi pelaksana. Angka ini kurang lebih sama dengan temuan dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dua tahun sebelumnya. Bahwa pada 2019, dari 105 jurnalis perempuan hanya sekitar 37 responden atau 35 persen berada di posisi tingkat manajemen.
Masih belum setaranya proporsi perempuan petinggi redaksi jelas sekali berakibat pada minimnya kesadaran gender dalam ruang redaksi. Dalam riset yang sama dicatat, sebanyak 55 persen jurnalis perempuan menyadari minimnya kesadaran gender dalam organisasi mereka. Hal ini lantas berpengaruh pada berita yang diterbitkan.
Pamela Mburia, Direktur Eksekutif Kilimo Media International dalam wawancaranya bersama United Nation mengomentari ini. Menurut dia, kurangnya pengetahuan tentang isu-isu perempuan membuat jurnalis tidak sensitif gender. Hal ini mengakibatkan pemberitaan kerap mengabaikan isu-isu tentang perempuan termasuk kesetaraan gender sebagai sesuatu yang tidak penting.
Senada dengan Mburia, Uni Zulfiani Lubis, editor in chief IDN Times juga mengungkapkan adanya relevansi antara proporsi petinggi redaksi perempuan dengan pemberitaan.
“Pastinya newsroom yang masih didominasi laki laki dan belum sensitif gender akan terlihat dari produknya. Masih mengobjektifikasi perempuan misalnya. Apalagi pelatihan gender belum dijadikan kewajiban di newsroom di Indonesia,” jelasnya pada Magdalene.
Selain itu, minimnya kesadaran gender juga berpengaruh pada minimnya jumlah narasumber perempuan dalam berita. Pusat Data dan Analisis Tempo bersama Tempo Institute dalam rentang Agustus-September 2018 menunjukkan, sebanyak 20.375 narasumber atau sebesar 89 persen adalah laki-laki, sedangkan 11 persen, yaitu 2.525 adalah narasumber perempuan. Artinya, perempuan sebagai narasumber hanya mendapatkan porsi sebelas persen dari narasumber laki-laki.
Minimnya kesadaran gender dalam ruang redaksi kemudian diperparah dengan model bisnis media saat ini sangat bergantung pada klik atau page views. Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio (KBR) menjelaskan model bisnis media sekarang dilihat dari ukuran keberhasilan yang didapatkan dari traffic website mereka.
“Jika dulu TV berpacu dengan rating, sekarang media berlomba-lomba untuk muncul di halaman pertama Google Search. Produktivitas dinaikkan sebanyak-banyaknya, sehingga para jurnalis diminta menulis dengan target yang tak masuk akal. Dengan begini, tentu verifikasi dan riset tidak bisa dilakukan dengan maksimal,” jelas Citra.
“Dirla”, jurnalis perempuan yang bekerja di media daring arus utama menuturkan, kendati dia sekarang tengah duduk di posisi editor, ia masih dibebani tujuh artikel setiap harinya. Ia bahkan sempat mendengar curhatan teman sesama jurnalis perempuan yang harus menulis belasan artikel per-hari.
“Mereka itu nyari-nyari angle yang mudah karena kuota, karena satu orang bisa sampai menulis belasan artikel setiap hari. Temanku bahkan ada yang menulis 17-18 artikel per-hari. Dengan kuota kaya gini, jelas saja jurnalis sudah terlanjur lelah untuk mikirin angle berita bahkan netral sekali pun.”
Citra menambahkan, dengan model bisnis ini, persaingan media daring kini cenderung lebih sengit. Segala caranya pun dilakukan media untuk mengambil atensi pembaca. Salah satu caranya adalah dengan menulis berita sensasional yang semakin diperparah dengan hadirnya Search Engine Optimization (SEO).
SEO sendiri adalah proses meningkatkan kualitas dan kuantitas lalu lintas atau traffic situs web ke situs web atau halaman web dari mesin pencari atau search engine. Peran SEO dalam media daring cukup krusial. Ia jadi penentu sebanyak apa klik yang nantinya akan didapatkan dari pembaca.
Menurut Citra, semua media jadi menulis sesuai SEO untuk meraih pendapatan sebesar-besarnya. Padahal ini tak jarang mengorbankan kualitas produk jurnalisme mereka.
Tak jauh berbeda dengan Citra, Uni juga mengungkapkan ketergantungan media daring terhadap SEO.
“Cerita-cerita viral diangkat jadi berita di media online, tujuannya clickbait dan punya pemasukan di Google Adsense. Ini jadi godaan tersendiri bagi media untuk membuat artikel yang merendahkan perempuan. Menjadikan perempuan sebagai objek semakin besar.”
Baca juga: Di mana Suara Perempuan dalam Pemberitaan Media
Adakah Solusinya?
Celaka dua belas, mengerek jumlah jurnalis perempuan saja tak cukup jadi solusi. Uni misalnya masih melihat kehadiran perempuan di jajaran petinggi redaksi tak akan banyak berpengaruh dalam kebijakan di dapur redaksi.
Alasannya, kata dia, mayoritas pemimpin media serta pemilik media masih didominasi oleh laki-laki. Kembali dalam Riset Nasional Gambaran dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan di Media di Indonesia misalnya ditemukan hanya satu responden atau 0.4 dari total 258 responden adalah pemilik media.
Dengan persentase yang kecil ini, menurut Uni, jika perempuan pemimpin redaksi tidak memiliki kesadaran gender, independensi, dan pendirian yang kuat, maka kebijakan dalam dapur redaksi tak akan banyak berubah. Semuanya hanya akan bermuara pada laba yang didapatkan melalui produksi berita-berita seksis.
“Dengan adanya pemimpin redaksi perempuan mestinya kesadaran terhadap gender itu makin baik, mestinya menghindari menulis berita yang seksis, clickbait, sensasional, dan mengobjektifikasi perempuan. Maka dari itu, penting buat pemimpin redaksi perempuan untuk bisa mengatakan tidak kepada godaan-godaan dan perintah-perintah seperti itu (menulis berita seksis),” ungkap Uni.
Lalu apa yang setidaknya bisa dilakukan untuk memperbaiki ekosistem pemberitaan di Indonesia? Uni mengungkapkan hal pertama dan paling mendesak dilakukan adalah menanamkan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan gender di level kepemimpinan, baik pemimpin media atau pemilik modal. Hal ini ia rasa perlu karena selama ini pelatihan terkait kesetaraan dan keadilan gender hanya diikuti oleh reporter atau paling tinggi, editor.
“Katakan mereka sudah mendapatkan pelatihan ini tapi setelah kembali ke kantor, mereka akan menghadapi atau berhadapan dengan sistem dan newsroom seksis yang lebih mementingkan clickbait untuk kepentingan bisnis. Jadi di level pimpinan jauh lebih penting dan urgent untuk punya kesadaran gender karena mereka yang menentukan.”
Uni melanjutkan, ketika di level pemimpin sudah punya kesadaran gender, ia yakin minimal media terkait akan membuat Standard Operating Procedure (SOP) internal. SOP ini setidaknya akan menurut Uni bisa mencegah pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik dan pemberitaan tak ramah perempuan. Selain itu, dengan SOP internal, pemimpin redaksi bisa mempunyai kesempatan untuk membuat turunannya, mulai dari memberikan pelatihan terhadap setiap jurnalis dalam timnya dan bisa menjadi agent influencing di editorial.
Sedikit berbeda dari Uni, Citra mengungkapkan langkah awal atau starting point yang harus dilakukan dalam membenahi ekosistem pemberitaan di Indonesia adalah dengan menunjukkan, ini adalah masalah besar yang perlu diperbaiki secepatnya. Dengan kesadaran ini, pintu bagi media untuk berbenah terbuka lebar. Harapannya, di internal media bisa melakukan pelatihan dalam level organisasinya secara menyeluruh. Tak hanya jurnalis, petinggi redaksi dan pemilik media, tapi juga pekerja di bidang pemasaran, seperti SEO dan Social Media Specialist.
Ditemui terpisah, Titin Rosmari, editor in chief CNN Indonesia kurang lebih punya pandangan yang sama. Ia mengungkapkan kepada Magdalene, dalam organisasi harus paham dulu, pemberitaan seksis adalah masalah yang harus dibenahi.
Namun, jika memang organisasi belum memiliki pemahaman ini maka secara umum ekosistem media, lewat organisasi-organisasi seperti AJI, Forum Pemimpin Redaksi, Persatuan Wartawan Indonesia harus memiliki kepentingan yang sama untuk bisa lebih sensitif gender. Kesamaan kepentingan ini krusial karena dapat memicu adanya pembukaan wawasan bagi media-media Indonesia.
“Ekosistemnya harus terlibat karena yang paling penting itu menjadikan ini concern semua orang. Jadi paradigma baru yang jurnalisme yang berkualitas. Semuanya masuk dalam diskusi yang intens tentang ini,” jelas Titin.
Sementara, menurut Muhammad Heychael, penulis, pengajar, dan peneliti media dari Universitas Media Nusantara (UMN), masalah yang terjadi dalam ekosistem pemberitaan Indonesia ini berakar pada pemahaman kesetaraan dan keadilan gender sendiri di masyarakat Indonesia. Sehingga, kata dia, secara idealis yang justru harus didorong adalah melalui pendidikan yang sensitif gender.
Baca juga: Media Indonesia Krisis Pemberitaan Ramah Gender
Ia mengatakan, hingga saat ini masih banyak buku cetak anak sekolah yang melanggengkan peran gender laki-laki dan perempuan. Hal ini membuat pola pikir kita masih terjebak dalam hirearki gender. Tidak ada penanaman nilai dalam pendidikan kita. Dalam pelajaran Teknik Informasi Komunikasi (TIK) saja, murid tidak diajarkan cara riset sederhana tentang fakta dan hoaks.
“Jika yang paling dasar dan sangat dibutuhkan saat ini saja tak diajarkan, apalagi dengan value lain. Cara bagaimana memilah dan menyikapi berita seksis misalnya. Jadi ya idealisnya menurut saya, gimana kita meninstutionilisasi isu kesetaraan gender ke pendidikan, corenya ini kok kalau mau menyeluruh. Persoalannya adalah bagaimana membuat pemerintah menyadari ini sebagai prioritas.”
Comments