Konsep biner antara Barat dan Timur sudah mengakar untuk waktu yang lama, bahkan memengaruhi berbagai pemikiran yang ada seperti modernisme, pembangunan, serta feminisme. Konsep ini dikaji secara baik dan lugas dalam pemikiran orientalisme yang digagas oleh akademisi AS, Edward Said.
Dalam pandangan orientalisme, negara-negara Barat telah banyak menggunakan konsep dikotomis dalam banyak hal, salah satunya penggambaran mengenai mana yang beradab dan tidak. Sering kali istilah West atau Occident dianggap sebagai simbol peradaban, kemajuan, dan moralitas. Lain hal dengan istilah East atau Orient, yang acap kali dianggap sebagai bentuk kemunduran, kebiadaban, dan ketertinggalan.
West atau Occident mengacu kepada negara-negara Barat, seperti negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan East atau Orient merujuk kepada negara-negara di Asia yang mengalami kolonisasi oleh negara Barat. Karena orang-orang Barat merupakan penjajah, maka mereka menentukan standar atas banyak hal di dunia ini dari kacamata mereka, sementara orang-orang Timur mesti mengikuti standar tersebut.
Standar, nilai-nilai, atau cara pandang Barat tersebut berlaku juga dalam feminisme yang lahir dari sana sejak abad 19. Pemikiran ini mulai menyebar ke Asia ketika telah memasuki gelombang kedua, sekitar tahun 1960-1970, pada saat sebagian negara di Asia telah merdeka.
Namun, selama perkembangannya di Asia, penyebaran paham feminisme yang memakai acuan Barat ini tidak berjalan dengan mulus. Terdapat beberapa gesekan, baik itu dari segi budaya maupun politik.
Baca juga: Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme
Munculnya Feminisme Timur
Perbedaan budaya dan sejarah yang dimiliki oleh negara-negara Asia membuat mereka memiliki nilai tersendiri tentang apa yang menurut mereka baik. Karena itu, tidak sedikit orang Asia yang kurang menyukai istilah feminisme dalam pergerakan perempuan. Pasalnya, mereka menganggap itu terlalu radikal, anti-laki-laki, anti-keluarga, anti-anak, individualistik, serta tidak cocok jika diaplikasikan di negaranya.
Ini terlihat dari bagaimana orang-orang di beberapa negara Asia, seperti Kamboja, India, dan Singapura, merasa feminisme dari Barat tidak sejalan dengan budaya negara mereka. Bahkan di Thailand, ideologi tersebut dianggap un-Thai atau tidak Thailand. Karena itu, pergerakan perempuan di Asia berusaha untuk menghasilkan produk “feminisme” sendiri yang lebih relevan dengan konteks mereka.
Berangkat dari ketidaksesuaian dengan universalitas nilai yang dibawa feminisme Barat tersebut, muncullah feminisme Timur atau Asian Feminism sebagai alternatif istilah bagi mereka. Hal ini dirasa dapat mengurangi “kadar kebaratan” dan terkesan lebih merangkul asal para aktivis perempuan di Asia. Dalam aliran ini, ditekankan pemikiran bahwa dalam memperjuangkan kesetaraan gender, diperlukan juga penyesuaian budaya di suatu negara.
Alasan lain mengapa feminisme yang dibawa oleh Barat tidak cocok di Asia adalah periodisasi feminisme itu sendiri. Feminisme Barat telah memiliki empat gelombang dalam perkembangannya. Ketika feminisme berkembang pada tahap gelombang pertama, dengan fokus perjuangan hak sipil perempuan, negara-negara di Asia masih menderita karena penindasan oleh Barat.
Lalu pada perkembangan gelombang kedua, agenda perjuangan yang dilakukan para feminis Barat dirasa tidak sejalan dengan keresahan orang-orang Asia. Pasalnya, ketika itu, kendati sudah merdeka dari penjajah, sebagian besar negara di Asia memiliki kepemimpinan diktator, di mana masih banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi.
Baca juga: Feminisme 101 dan Rekomendasi Bacaan untuk Belajar
Bukan Berarti Berlawanan
Salah satu faktor yang mendorong munculnya gesekan saat feminisme Barat hendak diterapkan di Asia adalah agama yang dianut masyarakat mayoritas. Negara-negara Barat terkenal akan sekularismenya dan sedikit banyak ini mempengaruhi perkembangan pemikiran feminisme di sana. Sementara, di negara Asia seperti Indonesia, yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam, pemikiran dari Barat yang sekuler mendatangkan problem tersendiri dalam konteks masyarakat di sini.
Salah satu isu feminisme yang menuai banyak kontroversi adalah mengenai hijab. Feminisme Barat kerap memandang bahwa perempuan Islam yang menggunakan hijab adalah bentuk suatu penindasan, sedangkan melepasnya adalah bentuk kebebasan. Hal ini tidak mengherankan, mengingat di Barat, standar mereka bagi perempuan dalam berpakaian adalah tidak memakai hijab.
Baru-baru ini, Perancis bahkan mewacanakan sebuah peraturan tentang pelarangan perempuan di bawah umur 18 tahun untuk menggunakan hijab dengan alasan mereka belum mengerti apa itu konsensus. Pemakaian hijab bagi perempuan seusia tersebut menurut mereka merupakan pemaksaan dan harus dilawan. Namun yang sering luput diperhatikan orang-orang Barat adalah bagaimana jika seseorang yang memakai hijab karena ia secara sadar memilihnya tanpa paksaan, dan menjadi ekspresi religiositas mereka?
Selain soal hijab, hal lain yang juga sering diperbincangkan dalam wacana feminisme adalah seksualitas, khususnya tentang hubungan seks di luar nikah. Hal ini bukan hal baru untuk dibicarakan para feminis di Barat, bahkan tidak dirasa tabu selama ada kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut. Tetapi bagi sebagian feminis di Indonesia, hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang di negeri ini, khususnya dari sisi agama.
Kendati ada ketidakselarasan dalam berbagai isu, bukan berarti nilai perjuangan dari feminisme Barat sama sekali tidak diadopsi di Timur. Feminisme Barat dan Timur tidak serta merta berlawanan atau saling menegasikan.
Sebagai contoh, sementara kita mendorong sikap menghargai keputusan seseorang untuk memakai hijab, kita juga sejalan dengan feminis Barat yang sudah sejak lama memperjuangkan hak untuk bekerja bagi perempuan, serta pembagian tugas rumah tangga yang setara antara suami-istri.
Comments