Bolak-balik kita menyaksikan drama para influencer di media sosial yang kerap blunder sendiri dengan tingkah lakunya. Sebut saja Keanu yang dicibir saat terpapar COVID-19 sepulang berlibur. Ia tidak mengamini bahwa seharusnya bepergian selama pandemi hanya dilakukan jika benar-benar perlu, dan mengklaim dirinya sebagai perempuan terkuat karena belum pernah terjangkit COVID-19.
Kemudian, ada Okin yang meminta followers-nya mengatakan hal-hal berbau seksual secara tidak pantas lewat Instagram live. Atau, Medina Zein yang memamerkan tas Burberry-nya, tapi belum melunasi utang kepada Rachel Vennya sampai “dicolek” lewat komentar di Instagram.
Jika deretan drama lainnya dibahas satu per satu, sepertinya kita mendapatkan kesimpulan untuk berhenti termakan omongan mereka, dan enggak perlu menyayangkan perilakunya saat membuat kesalahan. Toh influencer hanya manusia pada umumnya. Kita enggak pernah tahu upayanya menampilkan hidup glamor di setiap unggahan, dan bagaimana mereka memanfaatkan audiens yang mencapai jutaan itu.
Mungkin mereka menganggap titel “influencer” yang disematkan hanya berlaku untuk mempengaruhi audiens dalam promosi produk, padahal akhlak mereka pun sangat diperhatikan. Mereka enggak harus memanfaatkan platformnya untuk membahas isu penting, seenggaknya sadar punya “tanggung jawab” memberikan contoh baik lewat karakternya di media sosial. Kalau sudah begini, balik lagi ke diri audiens sendiri yang harus memfilter seluruh tingkah laku mereka untuk tidak ditiru.
Baca Juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan
Apa yang Membuat Kita Terpengaruh Influencer?
Pada era media sosial, sebagai audiens kita merasa lebih dekat dengan para ikon ini dibandingkan selebritas pada umumnya. Ini disebabkan kita dapat mengikuti aktivitas dan kehidupan pribadinya yang dianggap menarik, dapat menjangkau kontennya lewat smartphone, berinteraksi secara langsung melalui unggahan mereka, dan mempercayakan seleranya sebagai tastemakers.
Menurut W.J. McGuire dalam “Attitudes and attitude change” di Handbook of Social Psychology (1985), ketertarikan audiens terhadap seseorang mengacu pada efektivitas komunikasi, termasuk pembentukan sikap positif. Ini bergantung pada karakteristik influencer sebagai sosok menarik, serta memiliki kesukaan serupa antara para influencer tersebut dengan diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, kita cenderung mengikuti akun media sosial influencer sesuai dengan interest, kebutuhan, dan kesamaan persepsi yang dianggap mewakili sudut pandang kita. Sementara dari sisi influencer, mereka perlu menjalin keterikatan dan memperoleh kepercayaan audiensnya hingga tercipta kedekatan, untuk meningkatkan daya tarik produk yang dipromosikan.
Dengan demikian, meskipun karakter influencer tidak disukai kebanyakan orang, kita tetap bersikap positif terhadapnya karena merasa memiliki kedekatan interpersonal.
Dalam hal ini, kedekatan didefinisikan sebagai proyeksi diri kita dalam diri orang lain. Misalnya seorang perempuan menyukai Tiara Pangestika lantaran dirinya juga seorang ibu, pekerja perempuan, dan ikut belajar parenting lewat konten yang dipublikasikan. Ia akan semakin menyukai influencer itu jika Tiara merepresentasikan realitas seorang ibu sebenarnya, bukan seperti Instagram mom yang menunjukkan hidupnya baik-baik saja.
Ketika memiliki kedekatan emosional dan psikologis, muncul potensi audiens juga mengikuti karakteristik influencer favoritnya, misalnya berdasarkan penampilan fisik mereka atau daya tarik tertentu yang khas. Tentunya hal ini menjadi keuntungan bagi influencer beserta perusahaan yang produknya dipromosikan karena kita termotivasi berpenampilan menarik seperti mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh akademisi Michael J. Baker dan Gilbert A. Churchill dalam “The Impact of Physically Attractive Models on Advertising Evaluations” (1977), penampilan fisik yang menarik sangat memengaruhi evaluasi iklan dan produk.
Sementara, influencer yang berpenampilan biasa saja cenderung menarik kedekatan dengan audiensnya lewat kepribadiannya yang disukai atau kesamaan perilaku. Hal ini dikatakan oleh Brian Taillon dkk. dalam penelitiannya berjudul “Understanding the relationship between social media influencers and their followers: the moderating role of closeness” (2020).
Contohnya Fadil Jaidi yang terkadang mempromosikan barang-barang kurang relevan untuk ia kenakan, seperti pakaian hijab dan daster. Hal itu bukan penghalang bagi audiens dalam menikmati kontennya karena pembawaannya dinilai lucu dan menghibur. Di sisi lain, audiens Fadil dapat bergantung pada dirinya ketika membutuhkan suatu produk karena konten promosinya tidak terbatas pada jenis barang tertentu.
Baca Juga: Ria Ricis dan Perkara ‘Semua Demi Konten’
Dampak Buruk Memuji Influencer
Kebanyakan menyaksikan tingkah laku influencer membuat kita sering lupa adanya perbedaan kehidupan dengan mereka. Terang saja para influencer ini bisa menghabiskan ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah untuk gaya hidup. Dari segi penghasilan kan mereka lebih tinggi sehingga privilesenya pun mengikuti.
Hal itu jadi tidak relevan apabila sebagai audiens, kita beranggapan hidup semudah Instagram story mereka. Akibatnya, terbentuk perilaku konsumtif karena berusaha mengikuti taraf hidup para influencer atau teracuni dengan produk yang dipromosikan.
Mengutip Basu Swastha dan Hani Handoko dalam “Manajemen Pemasaran-Analisis Perilaku Konsumen” (2011), dengan berperilaku konsumtif, kita memenuhi kebutuhan yang sekadar mengikuti arus mode, bukan termasuk kebutuhan utama. Dengan demikian, kita cenderung memiliki sikap hedonistik dan memamerkannya di media sosial.
Baca Juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
Bukan hanya gaya hidup, jika audiens mengonsumsi konten para influencer tanpa memilah, ada kecenderungan bagi mereka untuk mengikuti perilakunya. Ini karena mereka menganggap tingkah laku para influencer sebagai public figure adalah suatu kebenaran.
Contohnya, selama pandemi COVID-19, mayoritas influencer bepergian ke luar kota, bahkan luar negeri, bermodalkan “mematuhi” protokol kesehatan dan privilese untuk tes usap berkali-kali. Pikiran audiens yang memuja influencer kesayangannya itu akan beranggapan, keadaan di luar sana baik-baik saja asalkan kita mengenakan masker, ujung-ujungnya menganggap angka kenaikan COVID-19 sebagai permainan pemerintah.
Seharusnya, peristiwa yang terjadi pada Keanu ketika ia tone-deaf—tidak bisa memahami situasi dengan baik dan mengutarakan kalimat yang tidak sesuai dengan situasinya—jadi pengingat bagi warganet untuk setop memberikan panggung di kehidupannya. Terutama bagi mereka yang masih memuji kelompok berprivilese berpredikat influencer itu.
Comments