Wisfirdana Dewi, 22, terdengar bingung saat dia diberitahu bahwa pekerja seperti dia diperbolehkan cuti saat haid.
“Jika memang ada peraturan pemerintah tentang boleh cuti saat haid, kenapa perusahaan saya tidak ada memberitahukannya, ya?” tulisnya dalam pesan WhatsApp.
Cuti haid merupakan hak untuk pekerja perempuan yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Wisfirdana, yang akrab dipanggil Wis, bekerja di salah satu pasar swalayan di kota Padang, Sumatera Barat. Ia hanya mendapatkan jatah libur satu hari dalam seminggu yang waktunya ditentukan oleh perusahaan.
Baca juga: Hak Pekerja Hamil Tak Sebatas Cuti
“Kadang kalau kita ada keperluan penting di rumah, misalnya ada keluarga yang kemalangan atau ada pesta pernikahan, alhamdulillah masih diberikan izin, dengan syarat harus ada pekerja lain yang menggantikan jadwal kita,” ujarnya.
“Kalau haid itu enggak ada yang izin sih, palingan cuma duduk sebentar saja, lanjut kerja lagi,” tambahnya.
Padahal menurut Wis, ia sering merasakan sakit dan sulit berkonsentrasi saat haid. Terkadang perutnya kram dan sakit untuk dibawa berjalan, dan ia selalu merasa lebih emosional. Kalau ada karyawan lain yang mengerti, biasanya pekerja perempuan akan disuruh istirahat dulu.
“Lagi enggak ada bos, bisalah kita istirahat sebentar di gudang. Kalau ada bos jadi segan kita, takut diomelin,” ujarnya.
Bukan hanya Wisfirdana Dewi yang tidak mendapatkan haknya untuk cuti saat haid. Afri Serli Salmita, 20, salah satu pekerja wanita di Gramedia kota Padang juga mengatakan hal yang sama, bahwa perusahaan juga tidak memberikan penjelasan untuk mendapatkan cuti saat haid. “Ini benaran infonya? kok aku enggak ada dikasih tahu sama bos kalau boleh cuti haid ya?,” ia balik bertanya.
Afri mengatakan bahwa ia baru tiga bulan bekerja di Gramedia, sehingga mungkin tidak sempat diberi informasi mengenai cuti haid.
“Tapi banyak senior aku yang sudah sampai satu tahun kerja, tidak ada juga cuti saat haid. Paling duduk di kasir atau istirahat sebentar saja,” ujarnya saat ditemui di rumah kontrakan di daerah Sawahan, Padang.
Menanggapi hal tersebut, Haidil Putra dari pihak Gramedia Padang, mengakui bahwa ia mengetahui adanya aturan untuk mendapatkan hak cuti saat haid bagi pekerja perempuan.
Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh
“Kami dari Gramedia mengizinkan jika ada karyawan yang sakit dan tidak bisa bekerja, namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku,” jawabnya.
Haidil menambahkan bahwa jika hak untuk cuti saat haid diberitahukan kepada karyawan, tentunya akan banyak yang meminta izin dengan alasan sakit pada saat haid, yang akan membuat kinerja perusahaan kurang produktif.
“Jika sejak awal diinformasikan, nanti banyak yang berbohong kalau ia sedang sakit haid, padahal tidak,” ujarnya.
“Tidak ada yang mengambil hak pekerja perempuan. Hanya saja untuk cuti haid memang tidak diberikan informasi dari awal, kalau ada yang meminta izin masih kami izinkan,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Barat, Nasrizal Nazarudin mengatakan bahwa setiap perusahaan wajib untuk memberikan hak-hak pekerjanya karena itu adalah kewajiban perusahaan yang harus dijalankan.
“Perusahaan harus memberikan hak pekerjanya,” ucapnya saat diwawancarai di ruangannya.
Nasrizal menuturkan bahwa pekerja memiliki hak untuk melaporkan kepada Disnaker kalau tidak mendapatkan hak dengan semestinya.
“Sekarang sudah ada situs untuk keluhan pekerja di Sumbar, tinggal diakses dan ungkapkan apa keluhan di sana,” ujarnya.
Wisfirdiana mengharapkan pemerintah lebih gencar mengadvokasi perusahaan mengenai cuti haid untuk pekerja ini.
“Saya harap, jika memang ada hak untuk mendapatkan cuti saat haid, pemerintah harus mensosialisasikannya kepada para pemilik perusahaan. Karena kami pekerja kecil ini takut untuk meminta hak, nanti kita dipecat,” kata Wis.
Artikel ini ditulis oleh peraih program fellowship liputan yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Magdalene.
Comments