Jika saya ditanya, “Apa pelajaran terbaik yang kamu terima dalam hidup?” Saya akan menjawab, “kohabitasi”, alias tinggal satu atap bersama pasangan. Saya memang pernah tinggal serumah selama sekitar setahun dengan mantan pacar saya. Ketika kami pacaran, ditambah beberapa bulan setelah hubungan kami berakhir.
Saat pertama kali bertemu dengannya di tahun 2017, umur saya masih 18 tahun. Kami sama-sama mahasiswa baru di sebuah universitas negeri ternama, di jurusan bergengsi pula. Ketika ia pertama kali mendekati saya, saya mendapat peringatan dari temannya: hati-hati, dia cuma mau main-main. Waktu itu saya tidak terlalu mempermasalahkan peringatan tersebut. Toh, saya pun hanya ingin relasi kasual. Saya pikir, saya berada di tempat yang memungkinkan saya untuk bertemu banyak laki-laki cerdas dan menarik, kenapa juga saya harus terikat dalam hubungan serius dengan satu orang?
Namun ternyata, hubungan kami berubah serius tanpa kami sadari. Posisi saya yang waktu itu tinggal sendirian di apartemen membuat ia sering berkunjung. Awalnya seminggu sekali, menjadi seminggu tiga kali, kemudian setiap hari. Akhirnya, dalam tiga bulan semua barang miliknya sudah berpindah ke kamar saya. Kondisi kami yang sama-sama anak rantau dan sama-sama tidak dekat dengan keluarga semakin memberi kami kemudahan untuk tinggal di bawah atap yang sama.
Awal tinggal bersama rasanya sangat menyenangkan. Kami berbagi tugas membersihkan apartemen; saya menyapu dan merapikan tempat tidur, dia yang mengepel dan mencuci piring. Kami bahkan merencanakan keuangan “rumah tangga”. Pokoknya, kami bertindak layaknya pasangan muda yang baru menikah. Belanja bulanan, menghitung tagihan, hingga berangkat dan pulang bersama. Namun bedanya, kami tidak pergi ke kantor, melainkan ke kampus sebagai mahasiswa tingkat satu. Kalau membayangkan kembali masa-masa itu, rasanya masih terasa menyenangkan.
Baca juga: Jangan Mau Dicetak Sesuai Keinginan Pacar
Saya sendiri tidak menyangka bisa tinggal bersama orang lain di satu kamar apartemen. Sebagai pribadi yang cukup tertutup, saya tidak suka menceritakan masalah pribadi saya kepada orang lain. Dengan adanya dia saat itu, akhirnya saya berhasil membuka diri dan membiarkan orang lain masuk lebih dalam ke kehidupan saya untuk membantu meredakan pikiran-pikiran buruk yang tidak pernah saya utarakan sebelumnya. Selain itu, bukan sesuatu yang buruk juga punya seseorang yang menunggu di rumah, mau memijat kaki, dan mendengarkan ocehan saya soal apa saja setelah lelah seharian beraktivitas. Rasanya seperti benar-benar pulang ke “rumah”. Rasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.
Teman-teman kami yang hanya melihat hubungan kami dari luar sempat menganggap kami begitu dewasa dan stabil. Padahal bagaimanapun, kami hanya anak remaja yang baru lulus SMA. Tinggal bersama menghadapkan kami kepada konsekuensi yang sangat besar. Secara tidak sadar, kami saling membebani dan terbebani dengan kehadiran masing-masing.
Sebulan setelah ulang tahun saya yang ke-19, banyak yang mulai berubah di antara kami. Dia mulai merasakan FOMO, fear of missing out, bertanya-tanya berapa banyak kesempatan yang ia lewatkan untuk bersama perempuan lain yang lebih cantik dan lebih baik karena menghabiskan waktu untuk pacaran bersama saya. Sedangkan saya merasa sebaliknya, begitu yakin bahwa kami akan bertahan selamanya.
Bagaimanapun, kami hanya anak remaja yang baru lulus SMA. Tinggal bersama membuat kami saling membebani dan terbebani dengan kehadiran masing-masing.
Saya begitu putus asa dan kecewa dengan apa yang ia rasakan. Saya merasa hanya jadi statistik buat dia. Setelah saya melakukan segalanya untuknya, dia malah punya pikiran untuk bersama orang lain. Hubungan kami semakin buruk ketika saya memergoki ia kencan dengan perempuan lain, dan ia bahkan mengatakan dengan jelas kepada saya bahwa ia lebih menyukai perempuan tersebut ketimbang saya.
Saya semakin kehilangan kepercayaan diri dan merasa tidak pantas untuk dicintai siapa pun. Saya ingat dia pernah bilang saya adalah pacar terbaik yang pernah ia punya. Saya pun merasa sudah memberikan dan melakukan yang terbaik untuk dia. Lalu jika versi terbaik diri saya ini tidak bisa membuatnya bertahan, bagaimana saya bisa membuat orang lain yang tidak melihat saya sebaik dia untuk mencintai saya?
Kian hari kondisi mental saya semakin memburuk. Berhari-hari saya tidak makan dan tidur, hanya menangis seharian. Entah berapa kelas mata kuliah yang saya lewatkan karena saya merasa terlalu sedih dan letih untuk bangun dari tempat tidur. Saya terus menyalahkan diri sendiri atas segala hal buruk yang terjadi pada saya—gagalnya hubungan kami, hancurnya kehidupan sosial kami, dan juga betapa berantakannya nilai akademis kami. Saya melakukan banyak cara untuk menyakiti diri sendiri. Puncaknya, saya mengiris tangan saya sangat dalam dan hampir lompat dari balkon kamar saya di lantai 12 ketika mengetahui ia selama ini tidur dengan teman saya.
Sementara itu, di saat kami bertahan dalam hubungan, ia berubah menjadi temperamental dan kasar. Melihat saya yang terus mencoba menyakiti diri sendiri, dia berkali-kali ia meneriaki saya gila. Di lain waktu ia berteriak yakin akan jadi gila duluan karena memikirkan saya.
Baca juga: Tips Kencan Ekonomis Nan Romantis Ala SJW
Merasa tidak dicintai dan dikhianati, gagal dalam organisasi dan hubungan sosial, hingga ketakutan hamil membuat saya merasakan dan memikirkan terlalu banyak hal. Saya merasa masalah yang saya hadapi terlalu berat untuk anak 19 tahun. Saya terus menerus bertanya, saya baru 19 tahun, apa pantas menghadapi ini semua?
Masalah di antara kami tentunya tidak selesai hanya dengan putus dan berhenti bicara satu sama lain. Hal di antara kami memang seolah berakhir, namun semua pertengkaran dan kemarahan itu tidak pernah mendapatkan closure-nya hingga kini. Meskipun demikian, saling menganggap kehadiran masing-masing tidak ada pun sudah cukup baik untuk saya. Setidaknya saya dapat kembali mencurahkan seluruh ruang, waktu, dan perhatian untuk diri saya sendiri.
Setelah dapat fokus kepada diri sendiri, saya kemudian tersadar bahwa semua masalah dan tragedi yang kami alami adalah konsekuensi dari tinggal bersama.
Bagi pasangan mana pun, tinggal bersama memang mengeluarkan sisi terbaik dari diri masing-masing, namun juga menunjukkan sisi terburuk masing-masing. Bagi anak 19 tahun, kondisi mental yang belum stabil dan banyaknya ekspektasi yang kami terima dari lingkungan sekitar membuatnya lebih berat lagi. Kami memang belajar mengenai tanggung jawab dan menoleransi kekurangan satu sama lain, namun lebih banyak hal yang belum siap kami hadapi sebagai anak 19 tahun.
Tinggal bersama bukan hanya perihal menghabiskan waktu bersama dan melakukan hubungan seksual, namun juga menyangkut segala pikiran dan perasaan sebagai konsekuensi dari hubungan serius yang kami jalani.
Comments