Akademisi hukum menilai putusan Mahkamah Agung untuk membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam sekolah sebagai langkah mundur dalam toleransi umat beragama di Indonesia.
Iin Karita Sakharina, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, mengatakan pencabutan ini tidak menghambat kebebasan beribadah sesuai keyakinan karena pakaian tidak melambangkan ketaatan beragama seseorang. Namun ada potensi pemerintah daerah kembali menerapkan aturan wajib mengenakan jilbab bagi siswa beragama lain dan sesama muslim di sekolah.
“Ini akan menjadi polemik lagi karena ada pertentangan apalagi di sekolah negeri yang mewajibkan atribut muslim. Siswa yang beragama lain akan merasa terdiskriminasi,” ujarnya kepada Magdalene (12/5).
Memiliki tanggapan serupa, Komisioner Koalisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Alimatul Qibtiyah mengatakan, hak pemenuhan konstitusi akan terhambat jika pencabutan SKB 3 Menteri ditafsirkan sebagai diizinkannya pemaksaan seragam keagamaan tertentu kepada masyarakat dengan keyakinan berbeda.
Ia mengatakan kebebasan beragama telah diatur dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 Convention on The Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW).
Di ranah pendidikan, kebebasan beragama diatur Pasal 3 ayat 4 Peraturan Menteri Nomor 45 Tahun 2014 yang menetapkan sekolah berwenang atas seragam siswanya. Namun, dalam huruf D dari pasal tersebut ditekankan sekolah tetap memiliki kewajiban dalam memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing, ujar Alimatul.
“Walaupun dicabut, menurut saya munculnya SKB Tiga menteri kemarin menjadi pembelajaran bagi pihak yang memaksakan keyakinan keagamaan atau melarang keyakinan keagamaan,” katanya kepada Magdalene (11/5).
Baca juga: Hijab dan Kita yang Tak Pernah Diberi Pilihan
SKB 3 Menteri Punya Posisi Lebih Rendah dari UU
Dalam amarnya, SKB 3 Menteri menegaskan peserta dan tenaga pendidik di jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah berhak memilih pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu sesuai kehendaknya.
Namun, MA membatalkan SKB 3 Menteri pada 3 Mei 2021 karena disebut bertentangan dengan beberapa peraturan Undang-undang yang lebih tinggi. Permohonan untuk uji materiil dengan nomor perkara 17/P/HUM/2021 diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat karena keberatan dengan kebijakan tersebut.
Dalam putusan MA, SKB 3 Menteri disebutkan bertentangan dengan Pasal 10, 11, dan 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 1 ayat 1 dan 2, Pasal 3, dan Pasal 12 ayat 1 huruf a UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Iin mengatakan individu atau kelompok berkebangsaan Indonesia memiliki hak uji materiil jika merasa ada pasal atau peraturan yang merugikan. Selain itu, SKB 3 Menteri memiliki nilai lebih rendah di bawah Peraturan Undang-Undang dan UUD 1945 karena sifatnya sebatas kebijakan. Selain itu, keputusan MA adalah yang tertinggi, maka sulit untuk melaksanakan Peninjauan Kembali (PK).
“SKB 3 Menteri sebatas kebijakan, sementara dalam hukum peraturan tidak bisa bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi atau di atasnya. Makanya MA mengabulkan uji materiil dengan pertimbangan bertentangan dengan beberapa pasal UU,” jelas Iin.
Staf Khusus Menteri Agama Mohammad Nuruzzaman menilai putusan MA sebagai produk hukum yang harus dihormati. Selain itu, Kementerian Agama akan melakukan koordinasi lanjutan dengan Kementerian Budaya dan Riset Teknologi, serta Kementerian Dalam negeri untuk menilai putusan tersebut, ujarnya seperti dikutip dari CNNIndonesia.
Baca juga: Pemaksaan Jilbab Timbulkan Gangguan Kecemasan, ‘Body Dysmorphic Disorder’
MA Tidak Paham SKB, Bisa Muncul Aturan Larang Jilbab
Menanggapi penggunaan UU Sistem Pendidikan Nasional dalam uji materiil, peneliti Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, kebijakan SKB 3 Menteri tidak bertentangan dengan pasal yang bertujuan memupuk iman dan takwa dalam UU tersebut.
“Padahal kalau dilihat, dari SKB tidak ada yang bertentangan dengan tujuan itu. Intinya soal atribut adalah bagian dari hak, tidak bisa diwajibkan dan dilarang,” ujarnya kepada Magdalene (11/5).
Maidina mengatakan, MA harus melihat dinamika yang menyebabkan kebijakan SKB 3 Menteri muncul, dan dalam putusannya MA tidak melihat masalah banyaknya praktik yang melarang dan mewajibkan penggunaan jilbab pada perempuan.
Dengan tidak memahami alasan tersebut MA memiliki potensi menyetujui aturan yang melarang penggunaan jilbab, tambahnya.
“Bisa saja (sepakat ada aturan yang melarang) karena basisnya bukan hak. Misalnya, nanti di daerah tertentu yang mayoritas non-muslim bisa saja siswa dilarang menggunakan kerudung dengan iman dan takwa dalam konteks agama tertentu,” Maidina mengatakan.
Senada dengan Maidina, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mengatakan SKB 3 Menteri memiliki potensi untuk disalahartikan, seperti bagaimana regulasi itu juga berlaku di sekolah berbasis Islam dan madrasah.
“Dalam SKB ini yang dimandatkan adalah sekolah di bawah pemerintah daerah, artinya bukan sekolah khusus Islam. Banyak organisasi muslim yang berpikir bahwa kebijakan ini juga melarang sekolah Islam untuk memakai hijab,” ujarnya dalam peluncuran laporan I Wanted To Run Away, dari Human Rights Watch pada Maret Silam.
“Kesalahpahaman lain adalah membingkai ini dengan alasan politik. Bahwa melarang perempuan muslim memakai jilbab di sekolah. Narasi yang paling umum bahwa rezim ini Islamofobik,” tambah Alissa.
Baca juga: Kasus SMKN 2 Padang Momentum Hentikan Pemaksaan Jilbab di Sekolah
Pemerintah Mampu Buat Kebijakan Serupa yang Lebih Kuat
Iin mengatakan meskipun SKB 3 Menteri telah dicabut, tidak menutup kemungkinan pemerintah bisa menyusun regulasi nasional tentang seragam sekolah yang bersifat inklusif dan tidak merugikan pihak tertentu, ujarnya.
“SKB 3 Menteri ini sudah tidak berlaku lagi, tapi mungkin terciptanya aturan yang kekuatannya lebih mengikat secara hukum dan merangkul semua orang,” kata Iin.
Sementara itu, Alimatul mendorong adanya upaya dan mengintegrasikan nilai inklusif yang tidak mengizinkan pemaksaan maupun pelarangan ekspresi keagamaan dan keyakinan serta dilakukan sosialisasi nilai HAM di lembaga pendidikan.
“Dan yang penting jika ada siswa muslim karena pemahamannya memilih untuk tidak menggunakan jilbab di sekolah negeri atau, maka tidak menjadi pengurangan dari nilai agamanya,” ia menambahkan.
Comments