Women Lead Pendidikan Seks
March 04, 2022

Penetapan Upah Minimum di Era UU Cipta Kerja: Pelik dan Tidak Berpihak Pekerja

Upah minimum memengaruhi hajat hidup orang banyak, makanya penetapannya selalu perlu disorot. Pasca-UU Cipta Kerja, prosesnya makin rumit dan tidak berpihak pekerja.

by Nabiyla Risfa Izzati
Issues
Penetapan Upah Minimum di Era UU Cipta Kerja
Share:

Salah satu aspek ketenagakerjaan yang menjadi isu hangat setiap tahunnya adalah penetapan upah minimum. Memasuki tahun 2022 ini, misalnya, terjadi tarik ulur antara berbagai organisasi pekerja dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai seberapa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap layak dan tepat.

Ini bisa dipahami–upah minimum memengaruhi hajat hidup orang banyak. 

Sebenarnya, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan juga telah mengatur cara lain, yakni melalui kewajiban penyusunan struktur skala upah, untuk meningkatkan gaji pegawai yang telah bekerja lebih dari setahun di suatu perusahaan.

Namun, tak banyak perusahaan yang menerapkan ini untuk menyejahterakan pegawai akibat minimnya pengawasan dari pemerintah.

Itulah mengapa upah minimum seolah menjadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan bisa mudah diawasi oleh publik. Hal ini kemudian selalu memicu tarik ulur antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha.

Sayangnya, mekanisme penentuan tali hidup kaum pekerja ini juga menjadi semakin rumit dan pelik pada era UU Cipta Kerja.

Baca juga: Pendidikan Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai

UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya yang tak lagi memakai standar kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan penetapan upah minimum, ditambah ketidakpastian hukum pasca-Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU tersebut “cacat” secara hukum, menimbulkan makin banyak perdebatan atas angka mana yang pas digunakan untuk menetapkan upah minimum.

Bagaimana kerumitannya?

Lika-liku Penetapan Upah Minimum

Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, mekanisme penentuan upah minimum berubah menjadi semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja.

Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan – salah satu turunan UU Cipta Kerja – formula penentuan upah minimum hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini meliputi variabel-variabel seperti kemampuan daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah hilangnya pertimbangan atas kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan upah minimum. Acap kali, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup pekerja. 

Hal ini terbukti dari kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.

Sejak November 2021, gelombang penolakan upah minimum Jakarta semakin membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi kenaikan upah minimum provinsi hanya sekitar 1,09 persen.

Padahal, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, menghitung bahwa harusnya kenaikan upah minimum ada di kisaran 7-10 persen. Mereka mengacu pada survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan oleh KSPI di 10 provinsi.

Bedah Kasus: Kisruh Upah Minimum Jakarta

Minimnya kenaikan upah minimum tahun 2022 akibat formula baru ini berdampak cukup signifikan.

Jika mengambil contoh upah minimum di Provinsi DKI Jakarta, selama 2017-2020, kenaikan UMP Jakarta selalu stabil di atas angka 8%.

Baca juga: Bencana Hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Pada 2021, akibat pandemi COVID-19, UMP Jakarta naik secara terbatas (hanya berlaku untuk sektor usaha yang tidak terdampak pandemi) sebesar 3,27%. Sedangkan pada 2022, berdasarkan formula di PP Pengupahan, upah minimum Jakarta hanya naik 0,85%

Persentase kenaikan upah minimum yang tidak signifikan ini tentu saja menyulut protes dari kalangan pekerja. Setelah didesak, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya merevisi kenaikan upah minimum di provinsinya menjadi sebesar 5,1%

Apakah permasalahannya selesai? Tidak. 

Karena perhitungan kenaikan tersebut tak lagi mengacu pada variabel yang diamanatkan PP Pengupahan, kini giliran kelompok pengusaha yang mengkritik Anies Baswedan karena dianggap melanggar aturan. Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mencabut revisi upah minimum tersebut karena dianggap membelot dari peraturan perundang-undangan. 

Jadi, pihak mana yang benar? 

Ketidakpastian Hukum

Sebelum bisa menjawab pertanyaan di atas, kita harus lebih dulu membahas Putusan MK pada 2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat”.

Artinya, putusan tersebut menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara formal pembentukannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di sisi lain, ia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku selama 2 tahun ke depan sembari menanti revisi dan penyesuaian. 

Banyak ahli mengatakan bahwa amar putusan ini rawan menimbulkan kebingungan dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi banyak pihak.

Hal ini langsung terbukti dalam kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.

Baca juga: Cawan Menstruasi: Antara Lingkungan Hidup dan Kemiskinan

Dengan adanya ketidakpastian hukum terhadap peraturan-peraturan pelaksana UU Cipta Kerja setelah Putusan MK tersebut, para gubernur seperti di Jakarta boleh saja mempertanyakan kembali: atas dasar apa kami wajib menetapkan UMP dengan menggunakan PP 36/2021 tentang Pengupahan?

Kondisi Rawan Bagi Pekerja Muda

Hingga kini, revisi upah minimum Jakarta masih disengketakanoleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

Tapi, pada akhirnya, entah siapa yang akan dianggap benar atau salah secara hukum, yang paling merugi dari kekisruhan penetapan upah minimum ini tetap saja para pekerja. Dampak terbesar akan dirasakan pekerja muda yang gajinya banyak bergantung pada besaran upah minimum.

Alih-alih memberi titik terang, Putusan MK tentang UU Cipta Kerja justru menimbulkan ketidakpastian hukum, yang kemungkinan besar akan memperparah peliknya penetapan upah minimum di Indonesia. 

Tanpa adanya perubahan kebijakan pengupahan yang lebih berpihak pada kebutuhan hidup layak, maka gelombang protes terhadap penetapan upah minimum akan terus bergulir setiap tahunnya.

___

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 

Nabiyla Risfa Izzati adalah pengajar hukum perburuhan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dia menyelesaikan S1 Hukumnya di Universitas Gadjah Mada pada 2014 dan LLM degree di Leiden University, Belanda pada 2015. Ia meneliti area hukum perburuhan, khususnya tentang hak buruh, gig economy, dan perbandingan studi buruh internasional. Dia juga Wakil Direktur Pusat Kajian Law, Gender, and Society Universitas Gadjah Mada.