Perempuan yang familier disapa Mirza Revilia itu mengenang pengalamannya menguburkan jasad sang anak di medio 2019. Puput, putrinya masih sangat muda, umurnya 17 tahun saat dinyatakan meninggal dunia karena komplikasi akibat Human Immunodeficiency Virus (HIV). Puput positif HIV karena sang ibu tertular dari suaminya yang sudah lebih dulu meninggal dunia.
Sebelum meninggal, Puput kerap dirundung di sekolah. Masih lekat di ingatan Mirza, Puput pulang ke rumah dengan mata sembab, melamun, dan selalu bertanya, “Kenapa harus aku yang tertular HIV? Aku salah apa?” Dunia Mirza runtuh saban kali anaknya meratap. Namun, ini tak membuatnya menyerah dengan keadaan. Berulang kali, ia berjuang agar tak ada lagi perundungan, diskriminasi, dan stigma terhadap Puput. Ia bolak-balik ke sekolah dan dinas pendidikan agar anaknya diperlakukan setara.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Apa yang dialami Puput dan Mirza jadi penanda bahwa stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) masih saja terjadi. Padahal, ODHA berhak untuk hidup laik di lingkungan kondusif, bisa mengakses layanan kesehatan yang terintegrasi, mengenyam pendidikan, bekerja, dan berkeluarga jika mau. ODHA juga berhak diberitakan secara proporsional berdasarkan prinsip hak asasi manusia (HAM).
Sementara, yang terjadi kini, ODHA terutama yang berasal dari kelompok marjinal seperti LGBT relatif masih diperlakukan dengan tidak adil. Mereka dipersekusi, dikucilkan, diusir, dipersulit akses administrasi masyarakat, dan diantagonisasi oleh media massa.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Berangkat dari sanalah, Indonesia AIDS Coalition (IAC) dengan didukung Global Fund 2022-2023 menginisiasi Penguatan Sistem Komunitas dan Penciptaan Lingkungan yang Kondusif melalui pembelaan Hak Asasi Manusia, khususnya bagi program penanggulangan HIV dan AIDS di 23 kota, 12 provinsi. Yang terbaru, IAC menggelar rangkaian pelatihan bertajuk “Empowering Community Reclaiming Our Rights” pada 5-8 Oktober 2022 di Bali, termasuk pelatihan menulis dan mengundang 269 orang peserta. Ada paralegal, pekerja seks, kelompok LGBT, ibu rumah tangga, lembaga bantuan hukum (LBH), pegiat kesehatan, advokat, dan lainnya.
Salah satu pelatihan yang krusial adalah mengajarkan para peserta untuk menuliskan kisah dan pengalaman mereka di media massa. Tujuannya agar suara mereka terdengar, sehingga stigma dan diskriminasi bisa dikikis. Purnama Ayu Rizky, jurnalis yang sehari-hari juga aktif mengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Bunda Mulia, didapuk sebagai mentor penulisan yang memaparkan teori dan teknik penulisan feature jurnalistik, mulai dari cara menentukan topik dan angle, teras berita, menyusun kerangka tulisan, hingga cara menyunting yang efisien.
Kumpulan tulisan yang mereka tulis ini nantinya akan terbit setiap Rabu di Magdalene.co, media yang memang fokus pada isu gender dan hak-hak kelompok minoritas.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Tulisan yang masuk mengangkat spektrum kisah yang beragam, dari pengalaman ibu tunggal dengan HIV membesarkan anaknya, stigma pekerja seks, pengalaman menyentuh hati para pendamping HIV, jatuh bangun ODHA bertahan di tengah situasi bencana, dan lainnya. Cerita-cerita tersebut membuat kita sadar, mereka enggan dianggap sebagai liyan yang mesti dikasihani. Mereka ingin setara dan berdaya, lepas dari diskriminasi dan stigma.
Akhirnya, selamat membaca kisah-kisah ODHA.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments