Aku masih ingat kejadian di bangku Sekolah Menengah Pertama Islam. Di gedung tua yang sedang dilalap jago merah, aku berteriak ketakutan. Terjebak api dan bakal mati, pikirku kala itu. Aku berlari ke sana kemari mencari pertolongan, tapi sejauh mata memandang, tak ada satu pun orang datang. Tubuhku akhirnya terbakar dari ujung kepala hingga kaki. Panas sekali. Ngilu. Sakit enggak karuan.
Saat di ambang kematian, aku terbangun dengan posisi duduk dan napasku jadi berat saking takutnya. Sontak aku istigfar. Semua yang kurasakan begitu nyata, bahkan aku sampai mengecek badanku sendiri, apakah benar ada luka bakar?
Untungnya tak ada. Ternyata mimpi, meski aku nyakin ini bukan sekadar bunga tidur biasa. Aku merasa mimpi itu adalah pertanda bahwa Allah memang sedang memberikanku peringatan.
Maka setelah bisa menenangkan diri, aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Malam itu untuk pertama dan terakhir kalinya, seorang Jasmine yang enggak solehah-solehah amat, melaksanakan salat taubat. Diiringi tangisan dan puluhan sujud, aku memohon ampun dari Tuhan. Dosaku banyak: Jarang salat, mengaji, apalagi puasa.
Sialan, ini semua gara-gara Komik Siksa Neraka yang aku baca hari-hari sebelumnya.
dBaca juga: Saat Semua Orang Merasa Jadi Tuhan: Wawancara dengan Musdah Mulia
Komik Siksa Neraka yang Picu Trauma
Komik Siksa Neraka itu aku baca pertama kali di perpustakaan sekolah karena kepo. Selama masih duduk di Sekolah Dasar (SD), aku sudah sering melihat komik ini beredar di Taman Pendidikan Alquran (TPA). Biasanya itu dijajakan oleh dijual abang-abang depan sekolah dengan harga tak sampai Rp2000.
Tanpa punya dorongan untuk menyudahinya cepat-cepat, aku memerhatikan setiap detail kata dan gambar mengerikan tentang macam-macam siksa neraka yang diberikan pada para pendosa. Efek membaca komik ini tak kalah ngeri-ngeri sedap. Aku kerap bermimpi buruk.
Apa yang terjadi padaku ini juga dialami oleh banyak orang-orang di generasi '70 hingga '90-an, yang notabene membaca komik tersebut. Papa mamaku juga menjadi korban trauma usai membaca komik Siksa Neraka.
“Itu komik udah ada dari Papa kecil. Beneran ngebuat takut anak-anak zaman dulu. Jadi rajin ibadah. Mungkin itu juga jadi alasan kenapa anak-anak dulu lebih alim dibandingkan anak sekarang,” kata Papa.
Memang menarik melihat bagaimana sebuah komik bisa menyebarkan teror dan menciptakan trauma bagi ribuan anak yang kini telah jadi dewasa. Namun, ada yang lebih menarik lagi dari peredaran luas komik ini. Kok bisa-bisanya ilustrasi yang begitu eksplisit, penuh adegan penyiksaan berdarah nan kejam, bisa lulus sensor? Bahkan jadi bacaan umum di madrasah atau TPA?
Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Peredaran luas komik ini terjadi tak lain karena efek domino situasi politik Indonesia kala itu. Dilansir dari Historia, komik surga neraka pertama kali terbit pada 1961 melalui komik berjudul Taman Firdaus yang diilustrasikan oleh K.T. Ahmar. Terbitnya komik ini bebarengan dengan maraknya penerbitan komik-komik Barat, seperti Superman yang sayangnya dilihat oleh pemerintah dianggap merusak cita-cita revolusi.
Apalagi sentimen anti-Barat dulu tengah membara. Di Semarang misalnya, komik-komik Barat dikumpulkan dan dibakar dengan kios-kios dan sekolah digeledah. Jika ketahuan menjual atau menyimpan komik-komik itu, maka pemerintah akan memberikan sanksi dan teguran bagi individu yang bersangkutan.
Sentimen inilah yang memicu sambutan hangat pemerintah terhadap terbitnya komik surga neraka. Dalam sambutannya, pejabat agama pemerintah bilang, terbitnya komik surga neraka ini menjadi penawar racun buku-buku referensi generasi muda di Indonesia.
Ia menambahkan, ada tugas luhur yang seharusnya diemban penerbit dan pengarang melalui karyanya. Dalam hal ini, Taman Firdaus dianggap mampu mengemban tugas revolusi dengan jalan mencetak anak-anak yang taat beragama.
Dilansir dari CNN Indonesia, dari sinilah komik surga neraka menanjaki popularitasnya dengan Taman Firdaus sebagai pionirnya. Namun, ada pergeseran setelahnya. Surga tak lagi mendominasi narasi komik ini. Neraka dengan tampilan orang telanjang dan disiksa secara sadis ,ternyata lebih menarik bagi para pembaca. Pun, tentunya punya efek dakwah yang lebih dahsyat karena menimbulkan rasa takut.
Hal ini bahkan disampaikan oleh Ketua Bidang Pembinaan Seni Budaya Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sodikun dalam wawancaranya bersama CNN Indonesia. Ia menuturkan, meski menakutkan, komik Siksa Neraka ini dipandang memiliki keefektifan yang besar sebagai media dakwah. Dengan catatan, selama benar berasal dari ayat Alquran dan hadis.
"[Penggambaran siksa neraka] itu boleh-boleh saja dan itu menurut saya itu sangat strategis juga sangat efektif [sebagai] medium untuk dakwah seperti itu," katanya.
Baca juga: Pendidikan Islam Konservatif yang Keras dan Ketakutan Anak
Coba Pahami Agama Bukan Karena Rasa Takut
Berbicara soal trauma membaca komik Siksa Neraka, baru-baru ini aku mencoba membacanya kembali. Dengan berbekal file PDF dari internet, aku meluangkan waktu dua hari untuk membaca komik ini. Aku sengaja membacanya pelan-pelan sebelum tidur.
Setiap lembar aku baca dengan cermat. Tiap adegan penyiksaan aku sengaja perbesar hingga memenuhi layar hpku. Cucuran darah, lelehan nanah, besi panas, dan benda tajam yang digunakan untuk memotong lidah, tangan, dan menusuk alat kelamin serta dubur, semua aku perhatikan saksama.
Setelahnya aku rehat sebentar. Bukan karena aku tak kuat melihat itu semua, tapi karena aku berusaha membayangkan adegan-adegan itu di kepalaku. Siapa tahu terbawa mimpi seperti waktu SMP. Nekat memang, tapi tak apalah, pikirku. Hitung-hitung untuk merasakan adrenalin di tengah hidup yang lagi flat-flat saja. Siapa tahu bisa jadi kesempatanku yang berlumur dosa ini untuk mendekatkan diri pada Allah.
Sayangnya, segala usahaku ini tak membuahkan hasil sama sekali. Berbeda dengan kejadian traumatis saat SMP dulu, aku kini bahkan tidak mimpi buruk. Terbayang-bayang saja tidak. Aku jujur jadi bertanya-tanya. Kok bisa pengalaman yang kurasakan begitu berbeda? Apakah memang imanku sudah menipis (tapi zaman SMP dulu juga imanku sudah tipis)? Atau ada alasan lainnya?
Kejadian traumatis kala SMP itu menyadarkanku bahwa selama ini ibadah yang dijalani cuma didasari rasa takut. Alih-alih mencari ketenangan dari dekat dengan Tuhan, aku beragama dan sesuai dengan rukun Islam karena takut masuk neraka dan disiksa.
Ini membenarkan teori Bertrand Russell, matematikawan dan filsuf Inggris bahwa mayoritas orang beragama karena rasa takut. Manusia jadi takut teror kematian, takut disiksa, takut berdosa.
Baca juga: Takut Setan dan Hal-hal Gaib: Bawaan atau Pengalaman?
Memang teror ini efektif membuat aku dan ribuan anak-anak lain jadi auto-tobat dan rajin beribadah. Namun, teror yang dibawa agama lewat manifestasi komik Siksa Neraka ini menjadikan agama sebagai sesuatu yang banal. Agama jadi kehilangan esensinya. Begitu pula dengan pemeluknya yang ak mengerti kenapa mereka harus rela melakukan setiap ritual ibadah. Aku bercermin pada diri sendiri dan banyak orang-orang Islam di sekitarku. Takut masuk neraka, takut disiksa, tapi tak pernah tau apa arti beragama.
Spiritualitas pada gilirannya bukan jadi bagian dari perjalanan hidup orang beragama. Ia bahkan jadi anomali. Maka, bermunculan dakwah dan tindakan orang Islam yang didasari oleh kekerasan. Semua didasari untuk mengingatkan sesama demi kebaikan. Agar kita semua, saudara seiman bisa masuk surga, terhindar dari api neraka.
Dalam hemat saya, ini jadi masalah karena agama Islam sebenarnya tak pernah mengajarkan rasa takut sebagai senjata utamanya. Namun, rasa welas asih yang bahkan jadi salah satu 99 sifat Allah SWT. Dengan memahami agama didasari welas asih, maka perjalanan spiritualitas kita untuk dekat dengan Tuhan akan berbeda.
Kita tak lagi melihat segala ibadah yang dilakukan untuk menghindari siksaan-Nya. Akan tetapi, itu jadi cara agar kita bisa dekat dengan sang Pencipta, mendapatkan ketenangan batin, serta menjemput bahagia dari setiap rejeki Tuhan.
Comments