Para penggemar K-pop alias K-popers sering kali dianggap sebagai sekelompok individu yang apolitis, fanatik, histeris, dan terlalu menuhankan idolanya. Tidak jarang para penggemar K-pop ini, terutama karena banyak dari mereka adalah perempuan, dilihat sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa-apa karena hidup mereka hanya didedikasikan untuk menggilai idola mereka.
Stigma ini begitu lumrah dijumpai sampai pada titik eksistensi kelompok perempuan penggemar K-pop kerap terpinggirkan, tidak hanya dalam diskursus budaya populer namun juga di dalam masyarakat secara keseluruhan. Di banyak lini media sosial misalnya, kelompok perempuan penggemar sering dijadikan bahan olok-olokan atau bahkan perundungan oleh para warganet hanya karena kesukaan mereka.
Namun, sebagai kelompok penggemar yang telah terstigma sejak lama, kelompok perempuan penggemar kerap kali memberikan kontra narasi yang seharusnya dapat membuat masyarakat berpikir ulang dalam menilai kelompok ini. Kontra narasi ini salah satunya adalah bagaimana kelompok perempuan penggemar kerap terlibat aktif dalam aktivisme atau yang oleh para akademisi disebut fan activism.
Melissa M. Brough dan Sangita Shresthova dari University of Southern California di AS, menulis dalam jurnal akademik mereka bahwa aktivisme penggemar adalah upaya yang didorong oleh penggemar untuk menangani masalah sipil atau politik melalui keterlibatan dan penyebaran strategis konten budaya populer.
Dengan mengadopsi strategi konten budaya populer, terutama dengan kemampuan kelompok penggemar dalam meramu strategi digital yang secara efektif dan efisien menjangkau masyarakat, para penggemar ini akhirnya menghantarkan kita pada diskursus baru dari praktik aktivisme yang diupayakan sebagai cara mereka mengubah status quo untuk menghidupkan dialog dan mobilisasi massa.
Ada beberapa contoh peristiwa di mana penggemar menggunakan fandom K-pop sebagai sumber daya atau batu loncatan untuk aksi sipil dan politik. Di Korea Selatan, misalnya, dalam demonstrasi massal untuk mendorong pemakzulan Presiden Park Gyeun He yang terlibat berbagai pelanggaran konstitusional dan kriminal, termasuk penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan, kelompok perempuan pencinta K-Pop terlibat aktif dalam memobilisasi aksi.
Jungwon Kim dari University of California Riverside, AS, dalam disertasinya menulis bagaimana kelompok perempuan penggemar lintas fandom mengidentifikasikan diri mereka sebagai serikat “fandom demokratis”. Mereka secara aktif berpartisipasi dalam protes, baik dalam membangun dialog seputar masalah yang terjadi dalam negerinya saat itu dan juga ikut dalam unjuk rasa dengan memegang lighstick yang biasa digunakan di konser, bukan lilin yang digunakan mayoritas para pengunjuk rasa.
Baca juga: K-Popers juga WNI: Ketika Penggemar K-Pop Tolak Omnibus Law
Media Sosial Komponen Penting Aktivisme Penggemar K-Pop
Media sosial dalam era digital ini menjadi komponen penting bagi perkembangan diskursus aktivisme penggemar. So Yeon Park, Blair Kaneshiro, Nicole Santero, Jin Ha Lee dalam jurnal akademik mereka yang bertajuk “Armed in ARMY: A Case Study of How BTS Fans Successfully Collaborated to #MatchAMillion for Black Lives Matter” menyampaikan bahwa media sosial telah memberi individu ataupun kelompok kekuatan untuk memperluas jangkauan mereka dan menciptakan solidaritas dalam infrastruktur yang masif.
Twitter khususnya menjadi platform yang banyak digunakan oleh fandom digital, seperti misalnya bagaimana ARMY atau penggemar boyband BTS mengambil tindakan dan berkontribusi nyata pada gerakan Black Lives Matter (BLM). Aktivisme yang dilakukan ARMY ini berkisar dari me-retweet cuitan orang-orang seputar BLM, saling mengedukasi satu sama lain tentang isu rasial yang terjadi di dunia dan negara mereka masing-masing, menandatangani petisi, hingga mengagas penggalangan donasi global #MatchAMillion melalui One in An ARMY (kolektif yang terdiri dari sukarelawan di seluruh dunia yang berfokus pada kampanye donasi global).
Melalui penggalangan donasi global ini, ARMY mampu mengumpulkan donasi lebih dari US$1 juta hanya dalam waktu satu hari. Donasi itu diberikan ke berbagai organisasi untuk memberikan sumber daya langsung dan dukungan jangka panjang bagi gerakan BLM dan komunitas orang kulit hitam.
Lalu bagaimana di Indonesia sendiri? Masih ingat dengan tagar #TolakOmnibusLaw, #MosiTidakPercaya, dan #GagalkanOmnibusLaw yang ramai di jagat Twitter dan bertengger di trending topic global selama beberapa hari pada 2020? Ya, perbincangan seputar undang-undang yang kontroversial ini sempat menjadi topik hangat tidak hanya di Indonesia tetapi juga seluruh dunia, salah satunya karena kelompok perempuan penggemar K-Pop menjadi motor penggeraknya.
Mereka tidak hanya meroketkan berbagai tagar yang berhubungan dengan penolakan Omnibus Law, tetapi mereka juga membangun banyak ruang diskusi dalam membahas UU problematik ini. Di berbagai kesempatan, saya melihat bagaimana para penggemar K-Pop ini membuat utas edukatif yang dikompilasi dari berbagai sumber terpercaya, bahkan ada yang membuatnya dalam tipografi yang menarik dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat awam.
Tidak sampai situ saja, para K-Popers ini juga kerap membuka ruang dialog untuk membahas Omnibus Law di Twitter, saling bertukar info, dan mengoreksi sumber yang mereka dapatkan mengenai UU bermasalah ini dengan sesama penggemar sendiri dan juga warganet lainnya.
Baca juga: BTSxARMY: Gelombang Protes Global Melawan Rasisme
Aktivisme Penggemar K-Pop Tawarkan Sumber Daya dan Ruang Baru
Ketika seorang selebritas tersandung kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), dengan video intim yang tersebar luas, para K-popers berbondong-bondong melakukan aksi perlawanan dengan cara mereka sendiri. Para penggemar K-pop ini mengunggah video ataupun meme dari idola mereka dengan menyisipkan nama selebritas tersebut di tiap unggahan mereka. Strategi digital yang dilakukan oleh K-Popers ini, yang dipadukan dengan strategi budaya dalam fandom mereka, bertujuan untuk mengalihkan perhatian warganet dan menghentikan penyebaran video tersebut di media daring.
Tidak hanya itu, saya juga melihat banyak penggemar K-pop ini mengedukasi para warganet yang hendak meminta video tersebut dengan memberikan penjelasan sederhana, bahwa apa yang dilakukan itu termasuk ke dalam ranah KBGO. Alih-alih melanggengkan kekerasan, ujar mereka, maka lebih baik bila penyebaran itu “stop di kamu”.
Kelompok perempuan penggemar di Indonesia pun kerap melakukan penggalangan donasi sebagai bagian dari aksi nyata aktivisme mereka. Saat ulang tahun idola mereka, biasanya mereka melakukan proyek donasi. Misalnya baru-baru ini pada ulang tahun Suga, anggota BTS, yang jatuh pada 9 Maret lalu, akun kolektif donasi ARMY The Grace mendonasikan sejumlah uang kepada Yayasan Kanker Indonesia untuk membantu anak-anak pejuang kanker mendapatkan perawatan dan pengobatan yang layak. Di kesempatan yang sama, ARMY Indonesia for Humanity juga mendonasikan puluhan juta rupiah untuk membantu penyediaan kursi roda bagi teman-teman difabel yang membutuhkan.
Baca juga: Tak Hanya Medsos untuk Joget, TikTok Juga Jadi Medium Politik di Asia Tenggara
Dari berbagai fan activism kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa aktivisme para penggemar ini menawarkan sumber daya atau ruang baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya dalam keterlibatan sosial politik akar rumput.
Budaya penggemar menawarkan suatu keterlibatan kritis yang dapat menginformasikan strategi aktivisme yang lebih luas dan menawarkan visibilitas terhadap berbagai isu pada masyarakat dengan efektif. Pada kenyataannya, para penggemar K-pop bukanlah sekelompok individu apolitis yang bodo amat terhadap dunia sekitarnya, namun mereka adalah bagian dari katalisator perubahan di masyarakat itu sendiri.
Comments