Women Lead Pendidikan Seks
May 30, 2022

Penjahat, ‘Anti-Hero’, sampai ‘Femme Falate’, Wanda hanya Seorang Ibu

Dicap penjahat, ‘anti-hero’, sampai wajah baru ‘femme fatale’ MCU, Wanda Maximoff atau sang Scarlet Witch hanya ibu yang merindukan anak-anaknya.

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Culture
Wanda Maximoff atau Scarlet Witch Ubah Stereotip Femme Fatale
Share:

Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) bukan lagi anak yatim piatu korban eksperimen organisasi teroris HYDRA atau anggota pahlawan super Avengers. Ia telah berubah menjadi Scarlet Witch, penyihir paling kuat nan menakutkan yang diramalkan akan memusnahkan dunia oleh kitab ilmu sihir jahat, The Darkhold. 

Transformasi Wanda sebagai super villain terbaru waralaba Marvel Cinematic Universe (MCU), Doctor Strange in The Multiverse of Madness, sebenarnya bukan dadakan. Namun, sudah diancang-ancangkan sejak serial WandaVision

Bak dalang boneka, Wanda menggunakan kekuatan sihirnya, the hex, untuk mempermainkan kota kecil, Westview di New Jersey. Ia berlagak sebagai ibu, Vision sang ayah, dan nantinya mereka dikaruniai dua orang anak kembar, Tommy dan Billy. Wanda yang kesepian akhirnya kembali memiliki keluarga. 

Akan tetapi, Wanda membangun kebahagiaannya di atas penderitaan orang lain. Dia pun dicap sebagai penjahat yang harus segera diamankan oleh SHIELD. Naasnya, di episode terakhir WandaVision, Wanda membaca kitab The Darkhold–yang seharusnya tak boleh dibaca oleh siapa pun–dan mewujudkan ramalan tentang Scarlet Witch. The old Wanda Maximoff has left the room. 

Tipu muslihat Wanda yang jiwa dan pikirannya sudah dikuasai The Darkhold berlanjut ke Multiverse of Madness. Ia ‘melompat’ dari satu semesta ke semesta lain untuk menculik Tommy dan Billy dari Wanda versi semesta lain. Alih-alih ‘berbahaya’ bak Scarlet Witch, Wanda versi Bumi-838 hanya ibu tunggal yang menyayangi kedua anaknya. 

“Kenakalannya” itu membuat Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) kelimpungan. Bukan kalah dalam sihir-menyihir, tetapi semua semesta berada di ambang kehancuran. Simsalabim, superhero Marvel mendadak berubah menjadi film horor. Wanda yang mengerikan mengalahkan musuh hanya dengan hentakan jari, bisikan, dan muncul tiba-tiba dari belakang seperti Sudoku untuk mematahkan leher. 

Sebenarnya nuansa horor itu tak mengherankan karena Multiverse of Madness disutradarai Sam Raimi, sosok di balik trilogi Spider-Man milik Tobey Maguire dan film horor The Evil Dead dan Drag Me to Hell. Namun, Raimi yang membawa rasa seram dalam Multiverse of Madness semakin menonjolkan besarnya kekuatan yang dimiliki Scarlet Witch. 

Karenanya satu pertanyaan muncul, apakah Scarlet Witch wajah femme fatale terbaru di MCU? 

Baca juga: Tak Lagi Jadi Boneka Joker, Apakah Harley Quinn Feminis?

Femme Fatale dan MCU

Bicara femme fatale, menurut Cambridge Dictionary, itu diterjemahkan sebagai perempuan yang sangat menarik dalam hal misterius, yang biasanya mengarahkan pria pada bahaya atau menyebabkan kehancuran.

Kalau menyoal siapa sosok femme fatale di MCU jawabannya Black Widow atau Natasha Romanoff, eks mata-mata Rusia yang beralih menjadi anggota Avengers. Karakter yang diperankan Scarlett Johansson itu memenuhi syarat menjadi femme fatale. Hal itu sangat tergambarkan dalam film Iron Man 2 (2010) saat ia menyamar sebagai sekretaris Tony Stark yang sangat diseksualisasi. 

Sosok femme fatale sendiri lahir dari film genre noir dan dimaksudkan untuk membawa bahaya atau masalah bagi pemeran utama laki-laki. Apalagi tabiat manipulatif dan licik kerap dijadikan karakteristik utama mereka. Karenanya, femme fatale menerima karma, seperti kematian di akhir film. 

Fatal Attraction, misalnya, Alex (Glenn Close) sang ‘femme fatale’ yang digambarkan obsesif terbunuh saat diadu dengan sang protagonis perempuan, Beth Gallagher (Anne Archer) yang baik hati dan antitesis dari sang perempuan ‘fatal’. 

Namun, femme fatale dalam kisah MCU memiliki nasib berbeda dengan mereka yang ‘patut dihukum’. Black Widow tak menerima karma karena dia dicitrakan sebagai bagian dari the good guys. Romanoff menemukan akhir yang ‘nahas’dalam Avengers: Endgame sebab dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dunia, bukan akibat ‘perempuan licik patut dihukum’’.

Selepas Romanoff cabut, MCU tak takut memperkenalkan karakter perempuan badass. Sebut saja Echo, atau Maya Lopez (Alaqua Cox) dan Kate Bishop (Hailee Steinfeld) dari serial MCU Hawkeye serta adiknya Romanoff, Yelena Belova (Florence Pugh) dalam film standalone Romanoff, Black Widow

Akan, tetapi Scarlet Witch yang berganti posisi menjadi sumber kejahatan menggaet penggemarnya tersendiri dengan slogan “We support women’s rights, but also women’s wrong”. Kesukaan atas Wanda juga membuat pihak Marvel mengambil ancang-ancang untuk menggarap film solo Scarlet Witch untuk tahun 2024. 

Karenanya, alih-alih memberi tajuk Doctor Strange in The Multiverse of Madness, judul Scarlet Witch in The Multiverse of Madness tampak jauh lebih menantang dan menarik.

Baca juga: Ituengisme Memaknai Iteung dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Scarlet Witch Bukan Femme Fatale yang Stereotipikal

Ketertarikan pada perempuan yang bisa menghancurkan dunia itu tak hanya didalangi oleh semakin meningkatnya dukungan girl power. Namun, itu jadi semacam katarsis bagi penggemar yang tak menginginkan karakter perempuan sekadar pemanis bagi pahlawan laki-laki. 

Dalam buku Women in Film Noir oleh penulis dan akademisi film E. Ann Kaplan, kritikus film Ruby Rich menyatakan, walaupun ia tak setuju dengan kegemaran penonton dengan karakter yang serakah, penuh hasrat, dan tak peduli pada hidup manusia, hal itu dilihat sebagai wujud baru dari kekuatan perempuan. Dalam buku yang sama muncul juga argumen, dalam genre neo-noir karakter femme fatale dibingkai sebagai sosok perlawanan norma sosial, agensi seksualitas perempuan, dan mereka memiliki peran aktif dalam film. 

Meski demikian, ketika melihat awal kehadiran femme fatale, tak bisa dimungkiri ada sisi seksisme dan misoginis yang hadir di sana. Karakter perempuan jahat yang penuh gairah seksual lahir dari fantasi male gaze dalam film yang maskulin. Perempuan yang melanggar aturan akan dihukum dan laki-laki sebagai sosok heroik akan hidup bahagia dengan perempuan yang mengikuti konformitas.

Melihat perkembangan femme fatale dari 1940 hingga 1990-an, kritikus film feminis Helen Hanson dalam esai The Big Seduction: Feminist Film Criticism and The Femme Fatale menyatakan, dinamika gender dalam film noir terus berkembang. Akan tetapi, budaya populer kadang menawarkan ide pemberdayaan yang mengkomodifikasi agensi perempuan. Dalam industri film yang masih maskulin mereka juga digunakan sebagai strategi pemasaran. 

Baca juga: Cruella dan Cara Disney Menulis Ulang Karakter Antagonis Perempuan

Hanson juga berargumen, perdebatan dan diskusi tentang femme fatale akan terus berjalan dan itu yang menjadikan karakter tersebut terus ‘seksi’. I Care A Lot (2020), misalnya, mengisahkan femme fatale dalam genre komedi hitam. Selain itu, film tersebut lepas dari heteroseksualitas yang sering kali disematkan untuk karakter perempuan fatal sebab dua karakter utama yang lesbian. Meski demikian, pada akhir film masih ada bumbu ‘klasik’ femme fatale yang wajib menerima ganjaran. 

Untuk Scarlet Witch sendiri, ia pertama kali muncul dalam komik The X-Men #4 menggunakan korset ketat yang tampak jelas untuk diseksualisasi. Saat karakter tersebut akan diluncurkan dalam film, Olsen diyakinkan oleh sutradara film Avengers bahwa ia tak akan mengenakan korset tersebut. Namun, dalam beberapa film Avengers selanjutnya, muncul isu seksualisasi sebab memperlihatkan belahan dada Olsen.

Sementara, untuk Multiverse of Madness, sang penyihir mendobrak stereotip sosok femme fatale dengan pakaian yang tak diseksualisasi. Motif kejahatannya pun tak digerakkan oleh sensualitas atau dorongan hedonistik, tetapi menemukan kehangatan keluarga yang tak pernah ia terima, satu hal yang jarang disematkan pada sosok femme fatale. Selain itu, ia mengaku sebagai pembawa bencana dan ‘mengorbankan’ dirinya untuk menyelamatkan semesta. Scarlet Witch berganti dari super villain ke anti-hero

Karenanya, menilai sosok perempuan berbahaya itu bagaikan pisau bermata dua. Untuk menelisik karakternya perlu diperhatikan cara mereka dikisahkan dalam film. Bagi Scarlet Witch ia bukan penjahat, anti-hero, atau femme fatale. Ia hanya ibu yang tak dibiarkan berduka dan menerima cinta. Mengutip kalimat Vision dari WandaVision: “Apa itu duka jika bukan cinta yang dipertahankan.” 

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.