Women Lead Pendidikan Seks
August 25, 2022

Demi Perdamaian Dunia, Sekolah Anak Perlu Ajarkan Banyak Agama

Mayoritas siswa Australia mengaku punya pandangan positif terhadap masyarakat Muslim, setelah diajari banyak agama di sekolah.

by Anna Halafoff, dkk.
Issues
Siswi_Sekolah_Pelajar_KarinaTungari
Share:

Sebanyak 80 persen murid sekolah menengah di Australia yang diajari agama-agama yang beragam, mengaku punya pandangan positif terhadap masyarakat Muslim. Angka ini turun menjadi 70 persen bagi mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran serupa.

Studi yang kami lakukan secara nasional di Australia pada 2019 terkait Generasi Z (lahir sekitar pertengahan 1990-an hingga akhir 2000-an) menunjukkan, remaja yang terekspos pembelajaran tentang keberagaman agama dan pandangan ternyata lebih toleran terhadap kelompok minoritas agama, termasuk Muslim dan Hindu, dibandingkan mereka yang tidak.

Di Australia, pendidikan keagamaan umum berbeda dengan pengajaran agama.

Pengajaran agama dilakukan oleh guru atau relawan dari komunitas agama dan berfokus pada pengasahan keyakinan dalam suatu agama tertentu. Sementara dalam pendidikan keagamaan umum, guru memberikan pengajaran terkait beragam pandangan dan tradisi keyakinan di dunia, termasuk humanisme atau rasionalisme.

Pendidikan keagamaan umum seperti ini seringkali merupakan mata pelajaran yang khusus di sekolah Katolik atau sekolah keagamaan lain di Australia.

Sekolah negeri biasanya tidak memberikan kesempatan bagi murid untuk mempelajari pandangan dan agama yang beragam, dan hanya menawarkan materi terbatas di beberapa subjek humaniora seperti sejarah.

Mengajarkan anak-anak tentang keberagaman budaya dan pandangan, terutama yang ada dalam lingkungan sosial mereka, bisa membantu meredam prasangka buruk terkait agama yang seringkali kita lihat di media.

Baca juga: Rayakan Keragaman dalam Beragama

Pendidikan Agama dan Cara Pandang Beragam

Pertanyaan tentang agama di sekolah, dan khususnya apakah sebaiknya diajarkan dalam konteks sekolah negeri atau sekuler, adalah topik yang kontroversial tak hanya di Australia tapi juga seluruh dunia.

Masih ada perdebatan terkait bagaimana materi keagamaan sebaiknya dimasukkan ke kurikulum, dan apakah pendidikan tentang keberagaman cara pandang bisa berperan mendorong harmoni sosial maupun mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.

Pada pertengahan 2000-an, sekolah-sekolah negeri yang bersifat sekuler di Australia punya kesempatan yang cenderung terbatas dalam mengajarkan pendidikan keagamaan umum dan cara pandang yang beragam. Sampai 2006, negara bagian Victoria melarang pendidikan agama , namun mengizinkan relawan untuk memberikan materi agama pada jam sekolah hingga 2015.

Sekolah-sekolah di negara bagian lain seperti New South Wales (NSW), Australia Barat, Wilayah Utara, dan Tasmania masih menawarkan pengajaran agama. Khusus di NSW, murid bisa memilih untuk belajar materi etika ketimbang ilmu agama.

Kurikulum nasional di Australia mulai berkembang pada 2000-an. Kini, kurikulum tersebut mengandung materi terbatas terkait keberagaman agama dan cara pandang.

Adaptasi kurikulum baru tersebut di negara bagian Victoria untuk pertama kalinya mengandung dua bagian khusus tentang pembelajaran agama dan cara pandang yang beragam dalam materi humaniora dan etika. Fokusnya pada beberapa tradisi keyakinan yang paling besar di Australia: Buddhisme, Kekristenan, Hinduisme, Islam, Sikhisme, Judaisme, serta humanisme sekuler dan rasionalisme.

Baca juga: Non-Muslim hingga Tionghoa Ramai-ramai Dibenci, Bukti Kita Intoleran

Riset Kami tentang Generasi Z

Studi yang kami lakukan terkait Generasi Z di Australia berjalan antara 2016 dan 2018. Riset kami bertujuan untuk mendukung kebijakan pendidikan dengan menginvestigasi bagaimana remaja memahami dunia di sekitar mereka dan juga isu-isu keagamaan. Penelitian ini mengurai pandangan remaja terkait keberagaman agama, spiritual, non-religius, kebudayaan, dan seksual di Australia pada abad ke-21.

Dalam studi kami, ada 11 kelompok di tiga negara bagian dan melibatkan hampir 100 murid pada jenjang kelas 9 dan 10 (usia 15-16 tahun). Selai itu, kami juga melakukan survei telepon yang melibatkan 1.200 orang berusia 13-18 tahun, ditambah 30 wawancara mendalam susulan dengan beberapa dari mereka.

Kami sebelumnya telah menerbitkan temuan riset yang menempatkan remaja Australia ke dalam enam kelompok spiritual, termasuk beragam keyakinan non-religius dan spiritual di antara anak muda Australia.

Temuan kami juga menunjukkan, remaja Generasi Z menerima keberagaman agama. Lebih dari 90 persen sepakat, dengan adanya berbagai macam keyakinan, Australia menjadi tempat tinggal yang lebih baik.

Meski demikian, pandangan terhadap minoritas agama cenderung bercampur. Kami menemukan bahwa 74 persen memegang pandangan positif terhadap Islam, Buddhisme, dan Hinduisme, sementara 21 persen memegang pandangan moderat atau netral, dan sebanyak 5 persen memiliki pandangan negatif.

Sekitar 85 persen remaja menganggap orang dengan keyakinan yang berbeda mengalami diskriminasi akibat agama mereka. Dalam kelompok diskusi terfokus (FGD), beberapa murid dari agama minoritas menyatakan beberapa kekhawatiran terkait antisemitisme (prasangka dan kebencian terhadap pemeluk agama atau tradisi Yahudi) dan kurangnya pemahaman tentang Hinduisme dan Buddhisme, ketimbang agama-agama samawi yang dianut oleh masyarakat Australia.

Grup pra-survei kami juga mengungkap, remaja Australia punya level literasi keagamaan yang moderat. Meski wawasan mereka cukup luas, pemahaman mereka cenderung dangkal.

Banyak murid bisa dengan mudah mengenali sejumlah gambar terkait penganut Kristen, Muslim, dan Buddha, termasuk Dalai Lama. Tapi hanya satu murid yang tahu apa sebenarnya signifikasi gelar Dalai Lama dan mengapa sosok tersebut sangat penting bagi warga Tibet.

Dalam survei kami, sebanyak 56 persen murid yang menghadiri sekolah menengah negeri dan 42 persen yang belajar di sekolah menengah swasta mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan agama yang beragam maupun pengajaran tradisi keyakinan tertentu. Bandingkan hal ini dengan 81 persen murid di sekolah menengah Katolik yang mendapatkan keduanya.

Baca juga: Riset: Generasi Z Tunjukkan Toleransi Beragama yang Tinggi

Data kami menunjukkan, pendidikan keagamaan yang beragam berkorelasi dengan penurunan persepsi negatif terhadap minoritas agama. Murid yang telah mendapatkan pendidikan ini punya pandangan yang paling positif terhadap minoritas agama di Australia. Sebaliknya, mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran ini dua kali lipat lebih mungkin memiliki pandangan yang netral atau negatif.

Kesimpulan ini masih berlaku, bahkan setelah mempertimbangkan faktor lain seperti usia, gender, tipe sekolah, status ekonomi, dan identitas agama.

Remaja Gen Z yang mendapatkan pendidikan tentang agama yang beragam, secara signifikan beranggapan bahwa materi ini membantu mereka memahami agama orang lain (93 persen), membantu mereka menjadi lebih toleran (86 persen). Banyak dari mereka juga beranggapan bahwa mempelajari hal ini adalah hal yang penting (82 persen).

Di antara mereka yang belum berpartisipasi dalam program-program serupa, sebanyak 69 persen ingin belajar lebih banyak tentang agama-agama dunia, dan 67 persen ingin lebih banyak pelajaran tentang beragam cara pandang non-religius.

Kami menyarankan bahwa kurikulum pendidikan sebaiknya memasukkan lebih banyak pembelajaran tentang agama secara beragam dan berbagai cara pandang di dunia, baik di sekolah negeri, keagamaan, maupun institusi independen.

Hal ini akan meningkatkan literasi keagamaan, serta mendorong pemahaman dan rasa hormat lintas iman di antara masyarakat.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Anna Halafoff, Associate Professor in Sociology, Deakin University; Andrew Singleton, Professor of Sociology and Social Research, Deakin University; Gary D Bouma, Emeritus Professor of Sociology, Monash University, dan Mary Lou Rasmussen, Professor, School of Sociology, Australian National University.