Women Lead Pendidikan Seks
November 01, 2021

Perayaan Halloween Mendobrak Batas Gender Biner

Lebih dari pesta kostum, Halloween merupakan ruang mengekspresikan diri jauh dari norma gender biner.

by Aurelia Gracia, Reporter
Culture
Share:

Mengenakan kostum sesuai dengan jenis kelamin saat Halloween, tampaknya bukan keharusan seperti saat kanak-anak. Sederet figur publik justru memanfaatkan momen ini untuk “menyamar” sebagai karakter dari budaya populer yang berlawanan dengan seksnya.

Contoh, penyanyi Harry Styles yang tampil di konsernya dengan kostum Dorothy Gale, karakter fiksi dalam The Wizard of Oz karya L. Frank Baum. Styles mengenakan dress biru muda bermotif kotak-kotak, sepatu merah, dan membawa keranjang berisi boneka anjing peliharaan Gale. Sementara, pasangan aktris dan atlet ski es, Nina Dobrev dan Shaun White, berperan sebagai Beth Harmon dan Benny Watts dari serial televisi The Queen’s Gambit.

Harry Styles sebagai Dorothy Gale dari The Wizard of Oz, untuk aksi panggungnya di New York (Sumber: Anthony Pham)

Serial televisi Squid Game yang masih hangat dibicarakan juga menjadi inspirasi bagi sejumlah selebritis untuk merayakan Halloween tahun ini. Misalnya, aktris Kerry Washington yang menyamar jadi Seong Gi-Hun, dengan setelan jaket bernomor 456 dan celana training tosca. Dan Shindong, rapper sekaligus anggota boyband Super Junior tak mau kalah, berperan jadi boneka dalam serial tersebut.

Kemudian, Jung-woo dan Taeyong, anggota boyband NCT asal Korea Selatan, menggunakan kesempatan ini untuk memakai kostum Edward Cullen dan Bella Swan dalam film Twilight. Bahkan, pada 2018, keduanya menjadi Jack Dawson dan Rose DeWitt Bukater dari Titanic.

Meskipun dilakukan untuk bersenang-senang, beberapa selebritis ini juga menunjukkan Halloween sebagai ruang untuk menentang norma gender biner. Pun penggunaan kostum yang berlawanan dengan gender biner ini mereka lakukan untuk mengeksplorasi identitas gender masing-masing. 

Baca Juga: Siapkah Indonesia Usung ‘Genderless Fashion’?

Sejarah dan Stereotip Kostum Halloween

Mulanya, Halloween merupakan festival Samhain pada masa Celtic kuno—kini Prancis Utara, Inggris, dan Irlandia—yang dirayakan dengan menyalakan api unggun dan menggunakan kostum untuk mengusir hantu. Mereka menandai 1 November sebagai tahun baru, yang dibarengi dengan akhir musim panas dan awal musim dingin.

Mengutip History, orang Celtic meyakini batas antara manusia dan orang yang sudah meninggal menjadi kabur di malam sebelum tahun baru. Oleh karena itu, 31 Oktober dipercaya sebagai malam ketika hantu dari orang meninggal kembali ke dunia.

Kemudian, Halloween populer di AS pada abad ke-19, ketika imigran dari Irlandia berdatangan. Sebelumnya, perayaan ini lebih dikenal di Maryland dan wilayah selatan AS, sementara di New England sangat dibatasi karena kuatnya ajaran Protestan.

Sementara, penggunaan kostum dimulai dari Kanada pada 1800-an, ketika orang Irlandia dan Skotlandia bermigrasi. Dilansir HuffPost, mereka memakai kostum karena tidak ingin identitasnya teridentifikasi. Pada kesempatan itu, umumnya perempuan berpakaian dengan elegan dan mewah, sehingga dianggap eksotis. 

Lama kelamaan Halloween lekat dengan busana seksi yang dikenakan perempuan. Pada 1970, terdapat parade Halloween gay di beberapa area di New York, Florida, dan San Francisco.

“Acara itu digabungkan dengan gelombang feminisme dan memiliki suasana yang menggambarkan kebebasan, sehingga orang beramao-ramai mengenakan kostum dengan bebas,” tutur penulis dan sejarawan Halloween, Lesley Bannatyne, kepada TIME.

Dari situ, pakaian seksi mulai dikenakan dan melekat pada perempuan hingga membentuk stereotip negatif. Sementara laki-laki memakai kostum yang menunjukkan dominasi, kekuatan, memiliki otoritas, asertif, dan cekatan.

Baca Juga: Berapa Harga Kaos ‘Girl Power’-mu? Fakta tentang Femvertising

Berdasarkan penelitian berjudul “Gender Stereotypes in Halloween Costumes” (2018) oleh Samantha Searles dari Oregon State University, terdapat 67 persen model laki-laki yang mengenakan pakaian pahlawan super saat Halloween, sedangkan perempuan hanya berjumlah 33 persen.

Bahkan, meski perempuan memakai kostum tersebut, mereka dipotret sebagai gabungan cuteness atau sexiness, sehingga tidak dapat disandingkan dengan laki-laki. Mereka juga digambarkan menggunakan sepasang stiletto, sehingga tidak terlihat dalam misi penyelamatan. Ini merupakan salah satu pendorong seksualisasi dan objektifikasi pada perempuan di momen Halloween.

Seiring dengan itu, para produsen kostum juga lebih banyak memasarkan pakaian yang mengekspos bagian tubuh perempuan, seperti perawat dan polisi seksi. Sebuah kalimat yang diucapkan Cady Heron (Lindsay Lohan) dalam Mean Girls (2004) turut mendukung anggapan perempuan “diharapkan” sebagai pelacur saat Halloween.

“Halloween is the one night a year where girls can dress like a total slut and no other girls can say anything about it,” ucapnya dalam film tersebut.

Selain pakaian pahlawan super atau seragam yang seksi, akademisi University of Brighton, Inggris, Annebella Pollen, dalam “Performing Spectacular Girlhood: Mass-Produced Dressing-Up Costumes and the Commodification of Imagination” (2011) menyebutkan 58 persen perempuan mengenakan kostum makhluk mitos, seperti peri, malaikat, putri duyung, dan penyihir.

Secara tidak langsung, hal ini membatasi imajinasi anak-anak perempuan tentang kemampuan dan cita-citanya. Mereka akan beranggapan perempuan dewasa tidak dapat melakukan banyak hal dan sehebat laki-laki.

Shaun White sebagai Benny Watts dalam serial The Queen's Gambit (Sumber: Instagram @nina) 

Baca Juga: Apa Kuntilanak dan Sundel Bolong Tak Ingin Potong Rambut?

Halloween Melawan Gender Biner

Mengenakan pakaian yang berlawanan dengan gender, sesungguhnya bukan dilakukan baru-baru ini saja. Kepada TIME, Nicholas Rogers, sejarawan di York University, Kanada, menjelaskan dalam upacara All Hallow’s Eve yang bertepatan pada 31 Oktober, tradisi misa kudus yang dirayakan orang Kristen sehari sebelum All Saints’ Day atau Hari Raya Semua Orang Kudus.

“Saat itu, laki-laki di gereja berpakaian seperti perawan. Oleh karena itu, ada tingkatan tertentu dalam cross-dressing dalam upacara itu,” jelasnya.

Melalui hal tersebut, kita dapat melihat bagaimana gaya berpakaian merupakan sesuatu yang cair dan tidak seharusnya dikotakkan dengan gender atau jenis kelamin tertentu. Dalam hal ini, Halloween dianggap menjadi satu-satunya waktu yang tepat untuk mengungkapkan diri.

Aktivis LGBT, penulis, dan produser asal AS, Jacob Tobia, menuturkan opininya soal kostum Halloween yang melawan gender biner kepada Nylon. Ia mengaku sering menerima tatapan menghakimi, saat mengenakan rok, heeled boots, dan lipstik. “(Namun) saat Halloween, identitas saya tidak dianggap menyimpang dan bisa diterima, karena dianggap memakai kostum,” tegasnya.

Hal serupa dialami oleh musisi asal AS, Ryan Cassata, yang merasa lega dapat berpenampilan tomboi sebagai Edward Scissorhands, tanpa dirundung teman-temannya. Sebagai anak perempuan saat itu, Cassata sering menerima diskriminasi karena menyukai baseball dan musik rock.

Lebih dari sekadar parade kostum, Halloween adalah momen di mana sekat-sekat itu ditabrak. Tak ada aturan kaku soal gender biner. Pun perempuan tak harus tunduk pada norma bahwa mereka harus tampil feminin, lemah, dan tak berdaya. Demikian halnya, lelaki tak perlu memacu diri mengikuti konstruksi bahwa mereka tak bisa tampil dengan rok, rambut panjang, gaya melambai. Sudah saatnya kita menerima gaya berpakaian yang tidak terpaku pada gender, dan memahaminya sebagai bentuk kebebasan berekspresi.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.