Ketika saya masih SMA, saya diharuskan untuk belajar dari pukul tujuh malam hingga pukul sepuluh malam atau lebih, dari Minggu hingga Jumat. Sabtu adalah hari untuk bebas dari buku pelajaran dan tetek-bengeknya. Peraturan selanjutnya adalah kami harus terus belajar, entah kedua orang tua ada atau tidak ada di rumah. Suatu hari, ibu saya pergi menghadiri persekutuan mingguan yang diadakan setiap Rabu. Saya tentunya menggunakan kebiasaan ini untuk bergosip dengan teman lewat telepon. Ibu kemudian tahu dan ia marah besar. Ketika Ibu marah besar, ia biasanya akan mengadukan hal ini kepada Ayah lewat telepon. Saat itu, Ayah saya masih berstatus karyawan aktif di sebuah perusahaan sehingga ia hanya pulang sebulan sekali.
“Yah, anakmu ini, lho. Bukannya belajar, malah ngegosip!” kata Ibu dengan amarah. Lalu, ia menyerahkan teleponnya kepada saya dan meminta saya agar mendengarkan nasihatnya baik-baik.
“Abang, dengerin, dong, kalau orang tuanya ngomong. Kalau bukan kedua orang tuanya, siapa lagi yang mau didengerin? Lagipula, ngapain juga ngegosip? Abang, kan, laki-laki. Ngapain ngegosip, Nak?” Ayah menasihati saya lewat telepon.
“Iya,” jawab saya sekenanya.
Saya lahir di keluarga dengan budaya maskulin yang tinggi. Prinsipnya, let man be a man, let woman be woman. Memang nasihat Ayah baik, meminta saya untuk menuruti nasihat orang tua dan tidak bergosip. Namun belakangan, setelah hidup di Salatiga dan kuliah di universitas yang membuat para mahasiswanya terbuka pikirannya, saya melihat masalah ini dari sudut pandang berbeda.
Gosip memang diidentikkan dengan sesuatu yang negatif. Definisi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengenai kata ini adalah obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan. Dikatakan negatif karena memang orang-orang yang bergosip kebanyakan menceritakan sesuatu yang negatif, baik yang faktual atau yang diada-adakan, alias harus dikonfirmasi dulu kebenarannya.
Tetapi, mengapa hal yang negatif ini diidentikkan dengan perempuan? Apakah laki-laki tidak suka bergosip? Banyak laki-laki yang tidak mengakui dirinya sedang bergosip. Alih-alih menyebutnya bergosip, mereka akan menyebutnya dengan ‘boys-talk’. Apa, sih, yang mereka bicarakan dalam ‘boys-talk’? Sembilan puluh persen ‘boys-talk’ adalah soal asmara dan perempuan. Sisanya? Politik, otomotif, dan tetek-bengek lainnya. Saya pernah terlibat dalam ‘boys-talk’, meski cuma numpang ketawa dan numpang mendengarkan, di tempat kos saya. Isinya menelanjangi kehidupan asmara masing-masing anggota.
“Gue putus sama pacar gue, tuh, gara-gara oomnya bilang hanya orang yang sesuku sama dia yang tepat buat dia,” kata teman saya, A.
“Gue putus sama pacar gue, karena ternyata diam-diam dia punya yang lain dan banyak alasan banget sama gue. Salah gue nerima dia dulu,” ujar B.
“Gue putus sama pacar gue karena pacar gue, tuh, kekanak-kanakan banget. Sampe gue bikin status di FB dan gue emang enggak bisa angkat telepon dari dia aja dipermasalahkan,” ungkap C.
A, B, dan C adalah ketiga teman kos saya. Mereka laki-laki. Yang mereka lakukan, apa bukan bergosip namanya? Mereka membicarakan orang lain, kan? Tepatnya, mereka membicarakan keburukan orang lain, kan? Atau telinga saya yang salah dengar? Artinya, kadang laki-laki bergosip juga, toh? Tetapi, mereka bermegah-megah dengan ‘boys-talk’ dan menganggap bahwa pembicaraan mereka tidak bertendensi gosip. Padahal, sama saja mereka membicarakan orang lain.
Di masyarakat yang patriarki ini, sering ada pembenaran terhadap perilaku laki-laki. Saya tidak mengatakan bahwa kita bisa bebas bergosip. People, walls have ears. Tetapi, jangan sampai kita mengidentikkan sesuatu yang buruk dengan sebuah gender dan jangan kita bersembunyi di balik kemegahan yang justru tidak membuat kamu lebih baik.
Christian Paskah Pardamean Situmorang adalah mahasiswa Sastra Inggris di sebuah universitas di Salatiga. Pemilik akun Instagram @christianpardameansitumorang ini akan mendengarkan lagu-lagu era 70-an, 80-an, 90-an, pop tradisional Melayu, dan dangdut jika tidak sedang mencari apa yang hilang dalam kehidupan laki-laki dan perempuan.
Comments