Dengan berkebaya merah, komika Jessica Farolan naik ke panggung “Perempuan Berhak 3: All Female Stand-up Comedian” dan segera melontarkan materi andalannya: humor seks. Dia mengatakan bagaimana kisah Cinderella itu bukan cerita cinta sejati tapi soal menikah karena birahi.
“Soalnya Cinderella ‘kan enggak pernah ketemu sama laki seumur dia sepanjang hidupnya,” ujarnya, disambut tawa riuh pada acara di CGV Grand Indonesia, Sabtu malam itu (14/12).
Jessica kemudian bercerita mengenai remaja yang hamil oleh pacarnya, dan penonton segera tahu bahwa di balik lelucon soal seks, ada misi yang diemban Jessica, yaitu pendidikan seks.
“Saat ditanya dokter, ceritalah si perempuan ini kalau pacarnya terkena penyakit langka, kelebihan darah putih, jadi (spermanya) harus dikeluarin di dalem. Dia cuma bantuin pacarnya untuk sembuh,” katanya.
“Seks itu sebenarnya pilihan, tetapi ketika lu memilih buat berhubungan seks, lu harus dalam keadaan sadar. Jangan sampai kita dibodohi. Kalau kita menabukan edukasi seks, akibatnya akan sangat besar ke perempuan,” kata komedian Cina Indonesia itu.
Ini merupakan penampilan ketiganya dalam Perempuan Berhak, sebuah acara khusus komika perempuan yang diluncurkan pada 2014 dan diadakan lagi 2017. Di panggung malam itu, Jessica mengeluhkan sebagian penonton yang tidak mengenalnya sebagai komika.
“Tujuh tahun saya Stand-up baru kali ini gue masuk ke layar lebar. Padahal gue jebolan salah satu kompetisi stand-up comedy di televisi swasta loh, seangkatan sama Ernest Prakarsa. Mungkin karena di televisi sering kena sensor, jadi jarang ada yang tahu gue,” kata Jessica, yang juga merupakan konsultan dalam bidang psikologi.
Bagi Jessica, “Perempuan Berhak” merupakan tempat paling nyaman untuk membahas pendidikan seks, tidak seperti televisi. Ia mengenang bagaimana penampilannya dipotong menjadi hanya 45 detik dari total 3 menit tampil.
“Saya ngomong selaput dara saja, bahkan enggak mengarah ke seks, langsung disensor di televisi. Ya susah dong, kalau saya mau mengedukasi lewat komedi,” ujar Jessica kepada wartawan saat gladi bersih.
Baca juga: 'Perempuan BerHak' Kisahkan Pengalaman Beragam dan Nyata
Wadah suara perempuan
Pertunjukan ketiga “Perempuan Berhak” ini merupakan skala terbesar dengan dihadiri 600 penonton. Untuk pertama kalinya, acara ini menampilkan komika dari Indonesia Timur yaitu Priska Baru Segu dari Ende, Nusa Tenggara Timur. Komika lainnya adalah Musdalifah Basri asal Pinrang, Sulawesi Selatan, yang juga jebolan kompetisi Stand-up Comedy Academy jilid 6; serta Gamila Arief, Ligwina Hananto, dan Jessica Farolan yang sudah tampil pada dua acara sebelumnya.
Ligwina, yang juga merupakan penasihat keuangan, mengatakan, bahwa acara ini merupakan wadah bagi komika perempuan untuk menyuarakan suara perempuan lewat komedi.
“Di tengah-tengah banyaknya komunitas yang membungkam perempuan, acara ini merupakan simbol bahwa perempuan itu berhak bersuara tanpa sensor,” ujar Ligwina saat gladi bersih.
Bebas dan tanpa sensor merupakan kesan pertama Priska dengan acara ini. Sama seperti Jessica ia juga pernah mengikuti kompetisi komedi di salah satu televisi swasta, namun ia mengundurkan diri di minggu ketiga.
“Ketika materi saya aman buat televisi, rasanya kok itu bukan diri saya. Di minggu ketiga, akhirnya saya memutuskan mengundurkan diri. Soalnya, saya enggak kuat juga dengan peraturan yang tidak membolehkan materi-materi tertentu,” ujar komika itu kepada wartawan.
Materi itu termasuk isu agama yang dianggap sensitif. Malam itu di acara Perempuan Berhak, Priska menceritakan pengalamnya sebagai perempuan Katolik yang bekerja di toko hijab.
“Walaupun beragama Katolik, saya tetap bekerja dengan profesional. Jika ada model hijab baru datang, saya yang pertama kali mencoba, biar tahu begitu kemauan pembeli,” ujarnya.
Walaupun menghadapi banyak sensor, Priska tetap masih ingin mencoba mengikuti kompetisi stand-up comedy di televisi.
“Tahun depan saya mau coba kompetisi di televisi lagi, saya mau menantang diri saya untuk bikin materi yang sesuai dengan keinginan saya dan bisa pecah di on air,” ujarnya.
Baca juga: Magdalene’s Mind Live Podcast: Komedi dan Cerita Tentang Beragama
The boys club
Tantangan sensor dan ketabuan sering kali dialami oleh komika perempuan. Selain itu, kancah komedi di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki dan ada keterbatasan bagi perempuan terkait perannya dalam keluarga. Dalam wawancara dengan Magdalene dalam podcast Magdalene’s Mind awal tahun lalu, komika Sakdiyah Makruf mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi komik perempuan adalah terbatasnya ruang gerak perempuan dibandingkan dengan komedian laki-laki.
“Tidak ada batasan bagi komika laki-laki untuk pulang larut malam, tetapi perempuan yang sudah berkeluarga misalnya, kalau mau keluar rumah, ya harus punya 1.001 hal yang perlu dipersiapkan,” ujar Sakdiyah.
Ruang komedi juga masih seperti boys club, ujar Sakdiyah, terutama dengan banyaknya guyonan-guyonan seksi yang masih beredar di kalangan komika laki-laki.
Menanggapi isu humor seksis di kalangan komika laki-laki, Ligwina mengatakan ia hanya bisa membalas humor tersebut dengan humor juga.
“Karena ini seni, jadi menurut saya seni tidak bisa disensor. Akan tetapi, kita bisa membalas seni tersebut dengan seni juga. Jadi setiap kali ada komika laki-laki yang seksis, dan saya enggak setuju dengan materi dia, saya balas dia di atas panggung. Setelah show tersebut, dia sudah enggak berani lagi membawakan materi seksis itu,” ujarnya.
“Perempuan Berhak” membantu para komika perempuan mengatasi tantangan-tantangan spesifik yang mereka hadapi. Bagi Gamila, show ini membuatnya lebih percaya diri lagi.
“Menurut gue stand-up comedy butuh kejujuran dan menelanjangi dirinya, ngomong apa adanya. Show ini sebagai ruang aman bagi kita mengkritik sistem dalam masyarakat dan mengkritik perempuan itu sendiri,” ujarnya.
Comments