Semua ini berawal ketika saya menerima tawaran menjadi pembawa acara sebuah program baru di suatu media online, yang kabarnya ingin membuat konten video “kritis” dengan gaya yang lebih Milenial. Kala itu, saya yang masih menunggu waktu untuk mulai kuliah langsung tertarik dengan ide yang mereka tawarkan, dan setuju bergabung sebagai pembawa acara.
Perlu ditekankan bahwa bekerja menjadi pembawa acara berbeda dengan menjadi reporter. Pembawa acara lebih terlibat daripada seorang talent, namun tidak memiliki andil langsung dalam pengumpulan data primer. Program yang diusung pada awalnya mengangkat topik lebih ringan dengan gaya informal. Namun atas arahan pemimpin redaksi, topik yang diangkat tiba-tiba berubah acuan menjadi tema-tema sensitif dengan gaya pembawaan formal. Saya menyanggupinya karena ingin tetap terlihat profesional di mata tim.
Tantangan terbesar datang ketika tim produksi mengajukan ide untuk episode yang membahas hubungan seksual antara tahanan sesama jenis. Seketika saya dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, saya ingin mengetahui kenyataan di lapangan; di sisi lain, isu ini berisiko memberikan representasi negatif terhadap orientasi seksual non-heteroseksual. Saya sendiri memiliki pekerjaan lain sebagai relawan di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, yang mengajari saya pandangan yang lebih inklusif, terutama terhadap minoritas. Saya pikir, program media online ini adalah kesempatan bagi saya meluruskan narasi seputar komunitas yang dimarginalkan, dalam hal ini LGBT (lesbian, gay, biseksual, dtransgender).
Betapa naifnya saya, menganggap bahwa pandangan saya akan sejajar dengan keputusan tim produksi.
Sebelum syuting, tim produksi sudah menyiapkan berbagai daftar pertanyaan, dari yang umum hingga yang lebih intim. Saya tidak terlibat dalam proses perancangan skenario, sebab kapasitas pembawa acara memang terbatas.
Wawancara untuk episode ini adalah salah satu momen paling tidak nyaman yang pernah saya alami selama bekerja. Narasumber yang dipilih bukanlah pelaku maupun korban dari hubungan seksual antar tahanan sesama jenis, melainkan saksi mata. Pernyataan yang dilontarkan adalah keterangan anekdotal, yang berisiko menghina LGBT khususnya transgender. Ada satu pernyataan khusus yang membuat saya tercengang.
“Kalau kita pingin memakai dia [transpuan] itu cuman mie aja. Mie, rokok, kopi, udah. Kita bisa [pakai],” ujarnya.
Sungguh sebuah anggapan yang memilukan terhadap kawan-kawan transgender.
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Dalam spektrum LGBTQ+, visibilitas transpuan paling tinggi secara fisik/penampilan, menjadikan mereka sasaran kebencian masyarakat. Saya tahu banyak sekali transpuan di luar sana yang mengalami diskriminasi dan persekusi, tidak hanya di kehidupan sehari-hari tapi juga dalam mencari pekerjaan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang memiliki talenta di berbagai bidang, jauh melebihi persepsi negatif masyarakat.
Maka dari itu, jawaban si narasumber berpotensi melanggengkan stigma yang ada di masyarakat apabila ditayangkan tanpa penjelasan konteks sosial. Benar saja, tim media online ini melihat jawaban tersebut sebagai clickbait yang pas untuk ditaruh di awal video.
Memang terbukti bahwa sesuatu yang sensasional tetap menjadi komoditas nomor satu dalam lanskap media online.
Sepatutnya tim produksi mengurasi mana isi wawancara yang berisiko membahayakan keselamatan kelompok minoritas--sebagaimana tugas media sebagai penjaga gerbang wacana publik.
Usai syuting, saya mendebat produser saya yang memakai “penyimpangan seksual” pada narasi yang harus dibacakan. Namun, produser bersikeras kalau penyimpangan adalah istilah yang tepat untuk kasus ini.
Saya tidak mau publik berpikir LGBT sama dengan predator seksual--orientasi tidaklah ekuivalen dengan perilaku kekerasan seksual. Kendati usaha saya menyarankan penggunaan istilah lain seperti pelampiasan hasrat seksual, produser tetap meyakini bahwa “penyimpangan”-lah yang pas mendeskripsikan kasus ini.
Dan hal yang saya takutkan akhirnya terjadi.
Tak lama setelah hasil investigasi ini diunggah, respons negatif warganet membanjiri kolom komentar.
Sebagian komentar saya akui benar, bahwa judul video dan narasi tak berhasil mendeskripsikan kasus dengan baik. Dua poin itu saja bisa menambah kecurigaan publik pada kasus yang kami liput dan memperkeruh stigma minoritas. Tak heran, banyak komentar yang menghardik dan mengutuk LGBT.
Usaha menyeimbangkan argumen dengan adanya wawancara androlog terbukti tidak efektif. Masalahnya, porsi wawancara ini--yang ditaruh pada bagian akhir video--tidak sebanding dengan perbincangan pembawa acara bersama saksi mata di awal tayangan yang memakan durasi hampir setengah isi video.
Seusai menonton video liputan itu, saya tidak bisa tidur. Kecemasan saya memuncak setelah membaca habis komentar-komentarnya. Saya merasa gagal sebagai pembawa acara.
Parahnya lagi, saya merasa turut melakukan persekusi terhadap kelompok LGBT.
Saya tidak mau publik berpikir LGBT sama dengan predator seksual--orientasi tidaklah ekuivalen dengan perilaku kekerasan seksual. Kendati usaha saya menyarankan penggunaan istilah lain seperti pelampiasan hasrat seksual, produser tetap meyakini bahwa “penyimpangan”-lah yang pas mendeskripsikan kasus ini.
Fiksasi terhadap jurnalis perempuan
Sanksi sosial terhadap diri saya ternyata masih belum cukup. Tak sedikit yang berkomentar mengenai pribadi saya--gaya berbicara dengan narasumber, pose dan gestur tubuh saya dianggap “sok cantik”. Bahkan ada yang menilai bahwa saya terlihat “jijik” dengan kasus yang dibicarakan, sampai-sampai meminta untuk diganti dengan pembawa acara laki-laki saja.
Hal ini menarik, karena saya tidak yakin komentar serupa akan dilontarkan apabila pembawa acaranya adalah laki-laki. Mungkin saya terkesan membela diri, tapi argumen-argumen ad hominem tersebut memperkuat fiksasi tidak adil yang diterima oleh jurnalis perempuan.
Objektifikasi terhadap perempuan di media mana pun selalu serupa, antara diungkit kehidupan pribadinya atau dikritik penampilan fisiknya. Tentu hal ini pernah dialami jurnalis laki-laki, tapi tidak sesering jurnalis perempuan.
Berdasarkan laporan laman pemantau kekerasan daring Trollbusters berjudul “Attacks and Harassment: The Impact on Female Journalists and Their Reporting”, dua pertiga dari jurnalis perempuan yang menjadi responden survei pada tahun 2018 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual daring. Menurut laporan jurnal Journalism yang terbit tahun lalu, 73 dari 75 jurnalis perempuan yang menjadi subjek survey pernah menerima komentar-komentar seksis.
Baca juga: Media Jangan Perburuk Masalah Kekerasan Seksual
Rasanya kita semua patut bercermin kembali, di era yang seharusnya sudah melek gender seperti sekarang ini, kenapa kita masih saja terbelenggu dengan paradigma patriarkal?
Bagi para jurnalis perempuan yang pernah mengalami online harassment dalam skala masif, dan menjadi depresi karenanya: Percayalah, kalian tidak sendirian. Hal itu juga sedang saya alami. Saya ingin sekaligus menyatakan bahwa saya sudah keluar dari media online tempat saya bekerja, sehari setelah video liputan saya diunggah. Pada saat penulisan esai ini, jumlah views sudah melebihi 2.4 juta. Tak terbayang, dampak seperti apa yang akan disebabkan dari video viral yang melibatkan saya ini.
Kalaupun saya pantas diserang atau dikritik, idealnya saya ingin hal tersebut dilakukan atas karya yang saya yakini pemikiran dan kontennya.
Lewat tulisan ini, saya ingin meminta maaf atas dampak negatif yang mungkin terjadi akibat video liputan saya, terutama pada teman-teman LGBTQ+. Belajar dari pengalaman ini, ke depannya pun saya akan lebih selektif dalam menerima tawaran pekerjaan yang berpotensi mencederai kelompok minoritas. Satu hal yang ingin saya luruskan: Tidak ada manusia di luar sana yang tidak pantas untuk dimanusiakan.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments