“Kamu tahu ngenthu dalam bahasa Jawa? Artinya sama dengan ewe,” jawabku.
“Tidak.” Ia menggeleng.
“Kusebut Bahasa Indonesianya saja, deh. Senggama. Tahu, kan?” tegasku.
Kawanku itu geleng-geleng, sadar bahwa dirinya telah dijahili. Kemudian dia melapor pada teman-teman lelaki kami bahwa dia sudah tahu arti ewe dari penjelasanku.
Ketika aku berjalan melewati kawan-kawan lelaki, mereka menanyaiku, “Kok kamu ngerti ngenthu?”
Sambil menatapku, sebagian dari mereka mengernyit, sebagian lagi menahan tawa. Mereka heran, aku, perempuan Sunda Muslim berkerudung, pemakai rok panjang; paham arti kata ewe dan ngenthu.
Sebetulnya mereka bukan teman-teman lelaki pertama yang tahu kalau aku memahami hal-hal yang dianggap tabu. Teman-teman lelaki di kampusku pun sempat terheran-heran ketika aku paham lawakan-lawakan mesum mereka.
Beberapa kawan pencinta budaya Jepang bahkan lebih heran lagi begitu tahu aku mengerti istilah JAV, gravure, dan yaoi. Gara-gara itu, tak jarang mereka berujar, “Ih, kok kamu ngerti?” padaku dengan tatapan seolah-olah aku adalah perempuan dengan pikiran paling mesum sedunia.
Namun, bukankah justru seharusnya aku yang merasa heran? Sejak SMA, aku sudah terbiasa melihat teman-teman lelaki bercanda hal-hal mesum di ruang publik. Mereka santai-santai saja terbahak-bahak di hadapanku dan teman perempuan lainnya. Sebagian dari kami–para perempuan–melongo lantaran tidak paham, sebagiannya lagi memilih bungkam agar terlihat tidak paham. Ketika salah satu dari kami bertanya, “Apaan sih?”, kawan-kawan lelaki akan menjawab, “Nggaaaak!” sambil menahan tawa.
Pengalaman tersebut membuatku menarik hipotesis bahwa lawakan dan obrolan tabu dianggap wajar bagi lelaki, tapi terkesan mesum bagi perempuan. Penasaran, aku pun bertanya pada seorang kawan lelaki soal ini. Bagaimana kesan pertama lelaki terhadap perempuan yang paham dengan obrolan atau lawakan mesum?
“Reaksiku sih biasa saja kalau dia paham dan ikut ketawa, tapi ini hanya berlaku ketika dalam kelompok, ya. Bukan personal. Namun, kalau dia sampai membalas mungkin aku akan berpikir bahwa pemikiran cewek ini sedikit nakal dibandingkan cewek biasanya,” jawab salah satu teman lelakiku.
Lho, memangnya kenapa kalau pemikiran perempuan sedikit nakal?
“Berarti dia orangnya frontal dalam hal seperti itu. Ketika ngobrol dengan cewek yang frontal dalam hal itu, aku jadi canggung melanjutkan lawakan,” lanjutnya.
Jawabannya itu semakin menguatkan hipotesisku mengenai lawakan dan obrolan-obrolan mesum. Aku pun heran. Dalam mengekspresikan hal-hal berbau seksual, mengapa laki-laki lebih bebas sementara perempuan cenderung terbatas? Libido bukan hanya milik laki-laki, bukan pula menjadi sesuatu yang secara bebas bisa diobyektifikasi.
Kata mesum itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kotor; cemar; perbuatan yang tidak senonoh. Jika mesum terjadi hanya sebatas pada perbincangan, maka sudah bisa dipastikan kemesuman tersebut berasal dari isi pikiran. Seseorang yang berpikiran mesum merupakan subyek sementara hal-hal yang ada di pikirannya menjadi obyek, bisa perempuan atau laki-laki tergantung orientasi seksual.
Memahami kemesuman sebagai obyek membuatku paham; mengapa perempuan tidak nyaman terlibat dalam obrolan atau lawakan mesum para lelaki. Sebagian dari perempuan bahkan memilih untuk diam agar terlihat tidak mengerti. Ketika ada perempuan yang mampu menanggapi, mereka tidak lantas menjadi sosok yang menggiring topik pembicaraan. Mereka takut dianggap mesum oleh para lelaki.
“Kalau paham jokes mesum dan ngelempar balik sih oke, tapi kalau setelah jokes satu malah obrolannya makin mesum malah jijik sih, in my opinion,” ujar teman lelakiku yang lain.
Patriarki telah membuat kita berpengharapan lebih terhadap perempuan: perempuan harus manut, ayu, suci, dan lembut, bukan hanya secara perbuatan, melainkan juga pikiran. Di luar ekspektasi itu, perempuan akan dianggap sebagai sosok liar yang menyalahi pseudo-norma bertopeng tata krama.
Asmi Nur Aisyah adalah mahasiswa jurnalistik sekaligus pembuat film yang tertarik dengan isu-isu gender. Pemilik akun instagram @asminurais ini berharap, lelaki di seluruh dunia punya kebiasaan memasak dan mencuci baju seperti ayahnya.
Comments