Mungkin ini satu-satunya berita bahagia yang saya dengar dari Indonesia di tengah pandemi COVID-19. Tim ganda putri bulutangkis yang tengah berlaga di Olimpiade Tokyo 2020, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu sukses boyong emas pertama untuk Tanah Air. Begitu Merah Putih dikerek dan Indonesia Raya dikumandangkan di Musashino Forest Sport Plaza, (2/8), tak cuma dua atlet perempuan itu yang menangis, pipi saya juga ikut basah.
Saya bukan legiun setia cabang olahraga ini, tapi saya paham, di balik tangis bahagia atlet perempuan ini, ada perjuangan berlapis-lapis, stigma, ancaman kesehatan mental yang menghantui mereka. Stigma dan beban yang tinggi pada atlet inilah yang membuat mereka jadi kelompok rentan. Tak hanya rentan terhadap kesehatan mental tapi juga fisik. Apalagi jika bicara konteks di Indonesia di mana persoalan stigma dan stereotip perempuan masih dirawat di ruang-ruang percakapan media.
Kita masih ingat bagaimana wartawan Ridho Permana dari Viva menjatuhkan mental pasangan ganda campuran Praveen Jordan/ Melati Daeva Oktavianti yang harus angkat koper lebih awal di babak perempat final usai kalah dari pasangan China, Zheng Si Wei / Huang Ya Qiong, dengan skor 17-21, 15-21. Viva saat itu menulis judul “Reputasi Bulutangkis Indonesia Rusak Gara-Gara Praveen/ Melati”. Jika kamu iseng melihat kolom komentar atlet-atlet tersebut, masih saja ada yang menghujatnya, beberapa ikut melakukan body shaming. “Turunkan berat badan.. biar semakin lincah geraknya,” ujar pemilik akun @malakadinata.
Tuntutan yang besar dan perundungan di media sosial ini membuat beban atlet, khususnya atlet perempuan pun otomatis bertambah. Beberapa waktu lalu, Naomi Osaka dan Simone Biles menjadi atlet perempuan yang lantang bicara soal kesehatan mental. Selain menegaskan pentingnya orang-orang untuk melek kesehatan mental, Biles bahkan menyebut atlet-atlet seperti dirinya cuma manusia biasa yang bisa rapuh juga.
Pernyataan Biles bukan pepesan kosong. Dalam Journal of Sports Medicine yang dikutip Science Daily, penyakit mental memengaruhi satu dari tiga atlet setiap tahun. Sebabnya, tuntutan latihan yang berat dan dorongan publik untuk meningkatkan performa, membuat mereka tak bisa mengambil jeda. Tak hanya itu, atlet perempuan juga cenderung dikecilkan atau diremehkan dalam berbagai budaya karena ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan; etnis kulit hitam dan minoritas; pertimbangan keuangan; dan keyakinan agama.
Nah, apa yang dilakukan Apriyani dan Greysia menjadi pengingat bagi saya bahwa perempuan bisa mendobrak semua batasan, melawan lapis demi lapis stigma dan beban demi bisa di posisi sekarang.
Perjuangan Greysia dan Apriyani
Duet Greysia-Apriyani sebenarnya tak diunggulkan sejak awal, tapi mereka berhasil membungkam unggulan kedua asal China, Jia Yifan/Chen Qingchen, dalam dua set langsung, 21-19 dan 21-15 selama kurang dari satu jam. Ini adalah sejarah baru yang ditorehkan Greys dan Apri, panggilan akrab pasangan ganda putri itu.
Dalam pertandingan final ini, Greys dan Apri tampil sabar dan konsisten. Mereka memainkan reli-reli panjang sampai akhirnya lawan membuat kesalahan, baik itu menempatkan shuttle cock ke luar lapangan maupun menyangkut di net, lapor BBC Indonesia.
Sebelum jadi duet maut dan memenangkan medali emas, keduanya melewati jalan terjal untuk bisa menang. Greysia Polii gandrung pada badminton sejak usia lima tahun. Kondisi keuangan yang tak memadai membuat sang ibu rela menjual baju-bajunya demi membelikan Greysia kecil sebuah raket agar perempuan asal Manado itu bisa berlatih maksimal. Bakatnya terus terasah hingga akhirnya ia memutuskan hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan pelatnas sejak 2003. Ia dilatih langsung oleh Richard Mainaky and Aryono Miranat.
Singkat cerita, ia mengikuti laga badminton di Olimpiade London 2012 silam. Berpasangan dengan Meiliana Jauhari, keduanya diduga telah mencederai sportivitas lantaran secara sengaja enggan tampil dalam performa terbaiknya dalam laga tersebut.
Buntutnya, pihak penyelenggara memutuskan untuk mendiskualifikasi keduanya dari ajang tersebut. Lalu di Olimpiade Rio 2016, pasangannya, Nitya Krishinda Maheswari mengalami cedera lutut parah.Dengan terpaksa, ia memutuskan pensiun demi alasan kesehatan.
Greysia sempat terpuruk dan nyaris memutuskan untuk ikut pensiun. Apalagi, ia juga terpukul karena ditinggal mati kakak yang telah dianggap sebagai ayah karena kondisinya yang yatim sejak berusia dua tahun. Namun, sang pelatih dan keluarga memberi dukungan terus-menerus. Kepercayaan dirinya bangkit sejak berpasangan dengan Apriyani Rahayu sejak 2017. Karier bulutangkis mereka terus moncer dalam puncaknya di Olimpiade Tokyo tiga tahun berselang.
Sebelas dua belas dengan Greysia, Apriyani juga harus menghadapi jalan terjal hingga akhirnya bisa menang tahun ini. Perempuan kelahiran 29 April 1998 di Desa Lawulo, Konawe, Sulawesi Tenggara itu juga tak lahir dari keluarga berada. Sang ayah yang menyadari, Apriyani suka main badminton, akhirnya membuatkan raket dari kayu berbentuk bulat dan mencarikan shuttle cock bekas. Lalu netnya dibuat dari tali pancing. Saking sayangnya ia pada raket buatan sang ayah, ia memeluk benda itu setiap kali tidur.
Bakatnya berkembang setelah masuk ke klub kecil di daerahnya. Namun, kemiskinan menghalanginya untuk maju. Ketiadaan biaya untuk bertanding sampai Makassar misalnya, harus membuat ayahnya mondar-mandir cari sumbangan demi selembar tiket kapal laut agar Apriyani tetap bisa bertanding.
Ia lantas membalas jasa sang ayah dengan menorehkan pelbagai prestasi di cabang olahraga ini. Di 2021, ia bersama dengan Greysia menjadi atlet perempuan yang mengukir sejarah di Indonesia, mengingat bangsa ini terakhir memenangkan medali emas pertamanya dari bulu tangkis – ganda putri – di Olimpiade 1992 di Barcelona.
Terima kasih Greysia dan Apriyani, sejarah akan mencatat nama kalian hari ini.
Comments