Women Lead Pendidikan Seks
June 22, 2020

Perempuan Pembela HAM Mangsa Empuk Kekerasan

Stigma, ancaman, pemerkosaan, serta pembunuhan karakter membayangi sebagian perempuan pembela HAM di Indonesia.

by Julio Achmadi
Issues
Share:

Pada 29 November 2019, Indonesia merayakan Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) untuk pertama kalinya. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama koalisi masyarakat sipil itu diadakan di Museum Nasional dengan tajuk “Mewujudkan Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM dalam Kepemimpinan Baru Indonesia”.

Definisi tentang perempuan pembela HAM tidak berbeda dengan pembela HAM sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Pembela HAM tahun 1998. Siapa pun yang melakukan aktivitas perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM secara sendiri maupun bersama dengan cara damai merupakan pembela HAM. Namun yang membedakannya adalah, perempuan pembela HAM merupakan pembela HAM yang mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Definisi tersebut menitikberatkan bahwa pembela HAM bukanlah profesi, melainkan lebih kepada aktivitas pembelaan HAM yang menjunjung nilai-nilai universal dan non-kekerasan.

Sejak 2014 hingga sekarang, Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM. Hasilnya cukup mengejutkan dengan pola kekerasan yang meresahkan. Perempuan pembela HAM memiliki derajat kerentanan yang lebih tinggi dibanding pembela HAM laki-laki karena hampir selalu diserang moralitas, ketubuhan, dan seksualitasnya.

Komnas Perempuan mencatat karakteristik kekerasan yang ditujukan kepada perempuan pembela HAM antara lain pemerkosaan, penyiksaan seksual, pelecehan seksual, stigmatisasi seksual, serangan pada peran sebagai ibu, istri dan anak, dan sebagainya.

Misalnya, perempuan yang membela haknya dan komunitasnya sering menerima ancaman pemerkosaan, pelecehan dan kekerasan seksual lainnya. Jenis ancaman tersebut tidak banyak diterima oleh laki-laki. Selain itu, perempuan pembela HAM sering kali dikikis kredibilitasnya melalui stigma sebagai perempuan liar, pelacur, hingga perusak nama baik keluarga. Hal ini menunjukkan kehendak masyarakat dengan budaya patriarkal yang kental untuk mengontrol perempuan dengan cara menyerang tubuhnya.

Baca juga: Tak Ada HAM Tanpa Hak-hak Perempuan

Di mana peran negara?

Kondisi demikian diperkeruh dengan tidak adanya perlindungan oleh negara yang berperspektif gender. Pemerintah sering kali lalai dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam tatanan regulasi, Indonesia belum mengakui pembela HAM, apalagi memberikan perlindungan baginya. Pemerintah justru kerap mengeluarkan kebijakan yang melanggengkan atau menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan pembela HAM.

Baiq Nuril adalah kasus tepat untuk menunjukkan abainya negara terhadap korban kekerasan seksual. Beliau adalah perempuan pembela HAM yang dikriminalisasi karena menyuarakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Meskipun Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepadanya, secara hukum ia tetap diputus bersalah karena melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Deretan korban UU bermasalah semakin banyak, namun kebijakan yang memberi perlindungan seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak kunjung dirampungkan.

Kasus lainnya dihadapi oleh Era Purnama Sari, advokat petani yang tergabung dalam Serikat Mandiri Batanghari di Jambi. Selama mengadvokasi, ia mengaku telah menerima ancaman, intimidasi, hingga pembunuhan karakter dengan tujuan menghilangkan kredibilitasnya sebagai perempuan pembela HAM. Ia sempat diberitakan sebagai selingkuhan seorang pejabat negara yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Kedua kasus di atas merupakan contoh kekerasan terhadap perempuan pembela HAM yang tidak mendapatkan perlindungan negara. Tentu masih banyak kasus-kasus lainnya, tapi negara bergeming.

Upaya melindungi perempuan pembela HAM

Setidak-tidaknya, ada empat hal yang dapat dilakukan. Pertama, negara harus membuat payung hukum perlindungan bagi pembela HAM dengan cara memberikan pengakuan pembela HAM secara legal formal dan mengatur mekanisme perlindungan yang diberikan oleh instansi negara. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang sudah berlaku selama 21 tahun.

Baca juga: Magdalene Primer: Keadilan untuk Marsinah

Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian NRI (Perkap 8/2009) juga harus dievaluasi. Kepolisian dicatat sebagai pelaku utama kekerasan terhadap pembela HAM oleh masyarakat sipil. Evaluasi terhadap Perkap 8/2009 diharapkan dapat memperbaiki kinerja polisi dalam memberikan layanan yang responsif terhadap HAM.

Kedua, perampungan peraturan yang memberikan perlindungan bagi pembela HAM dan perempuan pembela HAM harus segera dilakukan. RUU PKS akan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan perempuan pembela HAM yang menerima ancaman kekerasan seksual dalam melakukan kerja-kerja pembelaan HAM. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perlindungan Pejuang Lingkungan Hidup (dikenal sebagai Permen LHK tentang Anti-SLAPP) harus segera diterbitkan oleh Menteri Siti Nurbaya di periode kedua. Ini bisa menunjukkan komitmen pemerintah terkait pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui perlindungan para aktor-aktor pejuang lingkungan hidup.

Ketiga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan harus membentuk mekanisme perlindungan berperspektif gender yang efektif dan responsif terhadap kasus-kasus kekerasan yang dialami pembela HAM di Indonesia. Mekanisme ini perlu melibatkan masyarakat sipil dan kementerian lembaga terkait yang memiliki fungsi perlindungan seperti Kepolisian RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Ombudsman Republik Indonesia guna memaksimalkan perlindungan.

Terakhir, kita semua sebagai warga negara bertanggung jawab untuk mengedukasi diri dan komunitas sekitar kita agar tidak lagi menempatkan posisi perempuan dalam subordinasi laki-laki. Pemberdayaan diri akan mengurai carut marut budaya patriarkal yang menempatkan perempuan bukan sebagai nakhoda atas dirinya, melainkan sebagai objek yang perlu disetir oleh persepsi masyarakat.

Julio Achmadi adalah seorang penulis amatir yang memiliki fokus terhadap isu hak asasi manusia, feminisme interseksional, dan kebijakan publik.