Pertengahan September lalu, awak Narasi mengalami serangan di media sosial pribadi dan situs mereka. Secara kronologis, peristiwa itu berawal pada (21/9) dini hari, saat akun Telegram salah satu karyawan diserang. Tak berselang lama, akun WhatsApp beberapa orang juga gagal diakses.
Jika dihitung, peretasan tersebut secara total dialami oleh 30 awak Narasi—yang sampai saat ini masih bekerja, dan tujuh lainnya yang pernah bekerja di Narasi. Selain Telegram dan WhatsApp, akun Instagram dan Facebook juga tak luput dari peretasan. Sementara pada situsnya, mereka menerima pesan yang bertuliskan ‘diam atau mati’.
Atas kejadian tersebut, Head of Newsroom Narasi, Laban Abraham mengatakan telah melapor kepada kepolisian pada (30/9) untuk peretasan website.
“Kami melapor dengan Pasal 30 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Pasal 18 Undang-undang (UU) Pers No. 40,” ujar Laban kepada Magdalene, (6/10). “Soalnya peretasan ini menghalangi pekerjaan kami sebagai jurnalis.”
Namun, untuk peretasan secara personal, Laban menjelaskan tidak ada pelaporan lebih lanjut. “Kami menganggap laporan peretasan Narasi sebagai institusi bisa mewakili. Lagi pula, kepolisian punya kredensial bisa melakukan pengusutan tanpa ada pengaduan, karena ini bukan delik aduan,” terangnya.
Penyerangan jurnalis seperti yang dialami Narasi, sejatinya bukanlah peristiwa baru dalam jurnalisme. Pada 2021, Magdalene dan Konde.co mengalami hal serupa. Saat itu, Magdalene menerima serangan distributed denial-of-service (DdoS), sehingga membuat situs tidak bisa diakses. Peretasan itu juga menyerang jurnalis dan editor Magdalene secara pribadi. Sementara, Konde.co tidak dapat mengakses akun Twitter-nya.
Peristiwa yang terjadi pada Narasi belakangan ini semakin memperkuat, praktik kerja jurnalistik tampaknya masih jauh dari kata aman. Begitu juga dengan kebebasan pers yang patut dipertanyakan.
Menanggapi kasus ini, dalam rilis yang dilansir dari Tirto, Dewan Pers mendesak agar penegak hukum segera menyelidiki dan mengusut kasusnya dengan tuntas. Sebab, pada dasarnya jurnalis berhak terbebas dari intimidasi, serangan, pelecehan, dan kekerasan fisik maupun psikologis, dalam melakukan pekerjaannya.
Lantas, bagaimana kejadian ini mengancam keselamatan para jurnalis di Indonesia?
Baca Juga: 'Hacker' Bjorka di Antara Puja dan Cela
Ancaman bagi Jurnalis Indonesia
Aksi peretasan sebenarnya hanya satu dari sejumlah risiko yang dapat diterima jurnalis, akibat praktik kerjanya. Kenyataannya, jurnalis juga rentan menerima perilaku ekstrem, seperti ditangkap, diculik, atau dibunuh.
Hal ini terjadi pada Anak Agung Narendra Prabangsa, jurnalis Radar Bali yang wafat pada 2009. Ia menjadi korban pembunuhan berencana, dikepalai oleh I Nyoman Susrama, adik Nengah Arnawa yang saat itu menjabat sebagai bupati di Kabupaten Bangli, Bali. Tindakan tersebut dilakukan Susrama, lantaran tulisan Prabangsa terkait dugaan korupsi proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.
Terlepas dari pembunuhan Prabangsa, kasus peretasan seperti yang terjadi pada Narasi tak kalah berisiko. Berkaca pada kejadian yang dialami, Laban mengatakan kemungkinan pemberitaan Narasi yang memicu peretasan, salah satunya berkaitan dengan kasus Ferdy Sambo.
“Kita tahu kasus Sambo memalukan kepolisian. Tujuan Narasi (memberitakan kasus itu) ya memperbaiki dan mengkritik dari berbagai angle pemberitaan, supaya ada niatan dari kepolisian secara institusi, untuk mereformasi Polri secara keseluruhan,” terang Laban.
Peretasan itu mencerminkan internet seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, internet mempermudah publik untuk mengakses informasi. Sementara di sisi lainnya justru memudahkan penyerangan terhadap jurnalis media, atas informasi yang dinilai mengancam pihak tertentu.
Bahkan, riset “Beyond the Absence of Killings and Arrests” (2022) oleh New Naratif menunjukkan, pelecehan secara daring merupakan jenis pelecehan yang paling banyak dialami jurnalis. Pasalnya, pelaku tidak membutuhkan kemampuan dan peralatan khusus untuk melancarkan aksinya.
Baca Juga: UU Perlindungan Data Pribadi Sah
“Pelakunya sendiri beragam. Mulai dari pemerintah, masyarakat, maupun yang tidak diketahui identitasnya seperti buzzer,” tulis New Naratif dalam temuannya.
Pun, serangan online tak melulu berupa peretasan. Ini juga berlaku pada komentar buruk terhadap media, yang dianggap praktik kerja jurnalistiknya tidak sesuai kebenaran—disebut juga shoot the messenger.
Apabila dilihat secara lebih luas, penyerangan tersebut bukan hanya mengancam keamanan dan keselamatan jurnalis maupun proses kerja jurnalistik, melainkan hak publik dalam menerima informasi yang akurat dan kredibel. Sebab, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat berdasarkan fakta.
Karena itu, Laban melihat kejadian yang menimpa redaksinya tidak hanya mengancam para jurnalis, tetapi juga semua pihak termasuk masyarakat yang tidak memiliki otoritas.
“Ketika jurnalis tidak dapat bekerja dengan baik untuk melaksanakan kepentingan publik, publik sendiri yang dirugikan,” ungkap Laban. “Ini adalah ancaman terhadap freedom of speech.”
Ancaman dan serangan terhadap praktik kerja media juga membentuk iklim ketakutan. Berdasarkan riset yang sama, New Naratif menyebutkan responden—yang merupakan jurnalis di Asia Tenggara—merasa tidak aman karena sikap publik dan pemerintah pada media independen.
Penyebabnya, mereka kerap dipaksa mengubah konten publikasi, menghapus konten atau pemberitaannya, peretasan terhadap akun perusahaan maupun personal, hingga ancaman untuk menutup media.
Perbuatan seperti beberapa hal diatas tentunya berdampak bagi demokrasi. Pasalnya, kerja jurnalistik merupakan bagian dari pilar demokrasi, di mana berperan sebagai watchdog pemerintah dan menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, seharusnya pekerjaan jurnalis bebas dari tekanan atau paksaan. Namun, ketika yang terjadi adalah sebaliknya, jurnalis tidak dapat bersikap kritis dalam memaparkan informasi. Pun ancaman dan serangan yang diterima, sering kali dianggap sebagai risiko atas kritik yang dibangun lewat pemberitaan.
Risiko itulah yang diamini oleh Laban. Sebagai jurnalis, ia dan rekan-rekan redaksi Narasi memahami akibat dari pekerjaannya. Kendati demikian, peretasan itu tidak mengubah cara kerja Narasi dalam melakukan kerja jurnalistik.
“Semakin khawatir akan diretas seperti ini, semakin kami yakin sudah melakukan yang tepat, dan kami menjalankan tugas sebagai jurnalis dengan baik. Artinya sudah berhasil,” jelasnya.
Baca Juga: Kasus Ravio Patra dan Pentingnya Regulasi Perlindungan Data Pribadi
Perlunya Penguatan Sistem
Mengutip CNN Indonesia, Dewan Pers menyebut peretasan Narasi sebagai serangan siber terbesar yang dialami pers nasional. Sayangnya, pernyataan yang merujuk pada rilis itu tidak didukung data peretasan yang selama ini terjadi pada media.
Sementara itu, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Ninik Rahayu mengatakan, ia belum memperoleh informasi apakah keterangan terbesar itu merujuk pada media di pusat atau mencakup daerah.
“Mungkin ada kekhawatiran dan ketakutan sehingga sejumlah media nggak bisa speak up,” tutur Ninik dalam wawancara bersama Magdalene, (11/10).
Melihat serangan yang terjadi pada Narasi, ia menekankan pentingnya speak up di kalangan jurnalis dalam kasus serupa. Menurut Ninik, pengungkapan dapat membantu jurnalis memperoleh kebenaran, seperti Narasi yang membuat laporan ke kepolisian dan didukung oleh Dewan Pers.
Untuk mendukung proses hukum, Dewan Pers tengah membentuk tim—seperti satuan tugas (satgas) anti kekerasan terhadap wartawan—untuk mengawal dan memastikan pengusutan kasus peretasan Narasi berjalan dengan baik. Namun, Ninik tidak menjelaskan siapa saja yang terlibat dalam tim tersebut, lantaran masih dalam tahap perumusan.
“Nanti salah satu kerjanya memfasilitasi pemulihan dan pendampingan korban, dengan berkoordinasi bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” ujar Ninik. Hal itu dilakukan karena intimidasi dan peretasan dapat menimbulkan trauma dan ketakutan, baik bagi korban maupun keluarga.
Di sejumlah tempat, Ninik telah mengimbau agar pemerintah mulai memikirkan skema perlindungan selain dari sistem pemulihan LPSK. Pasalnya, untuk mendapatkan pemulihan dan pendampingan, LPSK memberlakukan syarat harus melaporkan kasus ke kepolisian. Yang dikhawatirkan adalah media yang tidak membuat laporan, tetapi memerlukan fasilitas tersebut.
Di samping itu, Ninik menekankan pencegahan serangan terhadap media dan jurnalis bersifat kolektif. Termasuk perlu melibatkan masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum. Sebab, ia melihat yang terjadi pada Narasi bukan satu-satunya ancaman bagi kerja jurnalistik. Namun, bukan berarti tidak dapat dicegah.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan terhadap media dan jurnalis di Indonesia. Misalnya dengan memahami tujuan kerja jurnalistik.
“Selain memberikan pembekalan utuh kepada semua stakeholder, kita harus paham kalau pekerjaan jurnalis itu untuk memberikan informasi, mencari fakta, dan memberikan check and balances,” tutur Ninik. “Ini adalah kerja-kerja mulia untuk publik, sehingga semuanya harus memberikan dukungan. Termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum.”
Lebih dari itu, media sendiri perlu memperkuat sistem untuk mencegah kejadian serupa. Saat ini, redaksi Narasi sedang melakukan mitigasi secara internal. Dikarenakan sebelumnya, mereka belum pernah mengikuti pelatihan pencegahan keamanan digital di newsroom.
“Kami melakukan langkah-langkah yang disarankan para ahli tersertifikasi untuk memperkuat digital security, baik secara sistem maupun perorangan, karena peretasan terjadi pada keduanya,” ucap Laban.
Comments