Pekan lalu saat berselancar di media sosial, saya menemukan tagar yang menjadi trending yaitu #INAelectionobserverSOS. Di Twitter, tagar itu sempat menjadi trending dunia hari Rabu (20/3). Tagar ini dimulai dari kecurigaan warganet terhadap aparat yang dinilai berpihak kepada kandidat Pemilihan Umum, tetapi kemudian berkembang menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian, informasi palsu (hoaks) dan meme yang menghina calon yang juga petahana.
Berikut adalah beberapa contoh twit yang diakhiri dengan tagar tersebut:
"We need you, we need your help."
"Please help us."
"We need fair election."
"Help, help, help"
"Mayday, mayday"
"Our people had lost confidence in our election legitimacy due to unfair practice of the regime, may we request the international independent body to observe the current election practice in our country. Thank you very much for your attention."
(Kami telah kehilangan kepercayaan pada legitimasi pemilu kami karena praktik rezim yang tidak adil, kami meminta badan independen internasional untuk mengawasi pemilu saat ini di negara kami. Terima kasih banyak atas perhatiannya.)
"We need you international observers so that the election will be conducted fairly, because there are indications of fraud committed in various institutions."
(Kami membutuhkan Anda, para pengamat internasional agar pemilihan umum dapat berlangsung dengan jujur dan adil, karena ada indikasi penipuan yang dilakukan di berbagai lembaga).
Kepada salah satu pembuat cuitan, saya bertanya, “Apa indikasi bahwa Pemilu akan berjalan tidak jujur dan adil?”. Sampai saat ini saya tidak mendapat jawaban dari yang bersangkutan.
Ok lah, tidak mengapa. Tetapi yang membuat saya merasa terganggu adalah, apakah sudah sebegitu daruratnya kecurangan Pemilu di Indonesia, dan sudah begitu terdeteksi sehingga harus meminta mereka, para pengamat asing, itu untuk segera datang.
Djoko Santoso dari tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) salah satu calon presiden pun mengatakan sudah mengajukan tim independen asing kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) "untuk memastikan Pemilu berjalan jurdil". Menurut Djoko, beberapa negara Uni Eropa sudah menyatakan keinginan mereka mengawasi Pemilu nanti.
Pemantau asing dalam sejarah Pemilu di Indonesia bukan hal yang baru dan Komisi Pemilihan Umum selalu membuka pintu bagi mereka. Kehadiran para pemantau ini, sejauh yang saya perhatikan, tidak pernah dirasa sebagai pengganggu malah kehadiran mereka bisa menaikkan kredibilitas Pemilu itu sendiri.
Dalam beberapa kali saya meliput Pemilu, pemantau asing ini berperan cukup aktif bahkan beberapa dari mereka ada yang selalu mengadakan keterangan pers secara reguler beberapa waktu setelah Pemilu. Jika tidak melakukan jumpa pers, paling tidak mereka akan mengeluarkan keterangan pers yang disebarluaskan kepada media sebagai laporan pantauan mereka.
Beberapa badan pemantau asing yang rutin memantau di Indonesia adalah National Democratic Institute for International Affair (NDI), The Carter Center, European Union Electoral Observation Mission (EU-EOM), The Asia Foundation, International Foundation for Electoral Systems (IFES), dan masih ada beberapa badan lain.
Menurut Tirto.id, "Ketentuan tentang pemantau Pemilu terdapat pada Pasal 351 dan Pasal 360 Undang-undang No. 7 Tahun 2017. Dalam Buku Saku Pemantauan Pemilu 2019 yang dikeluarkan Bawaslu RI, pemantau Pemilu dari luar negeri harus berbadan hukum yang terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah; bersifat independen; mempunyai sumber dana yang jelas; dan terakreditasi dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya. Pemantau dari luar negeri harus mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara lain dan dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau atau dari pemerintah negara lain."
Dari sini timbul pertanyaan apakah Bapak Djoko Santoso tidak mengetahui bahwa para Dubes EU yang menurutnya telah menyatakan keinginan mereka menjadi pemantau itu, sebenarnya adalah hal yang “rutin”? Apakah sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut ia tidak mengetahui bahwa keberadaan pemantau asing itu sudah tidak asing lagi untuk Pemilu di negara kita? Apa yang ia harapkan dari kehadiran pemantau asing ini?
Jika melihat dari cuitan-cuitan yang menurut saya “lebay”, saya membaca bahwa mereka melihat seakan para pemantau asing adalah malaikat yang bisa menyelamatkan mereka dari kecurangan atau manipulasi Pemilu. Padahal yang bisa mereka lakukan adalah sebatas membuat laporan adanya indikasi penyelewengan kepada penyelenggara Pemilu, lalu mengumumkan temuan mereka kepada media.
Melihat maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di ruang-ruang media sosial sejak awal kampanye hingga sekarang, apakah mungkin ini hanya upaya untuk membentuk persepsi publik seolah ada kecurangan yang dilakukan secara sistematis dalam penyelenggaraan Pemilu April nanti? Apakah ini cara untuk membentuk opini untuk mendiskreditkan penyelenggara Pemilu?
Semoga saya salah.
Semoga Pemilu nanti bisa berjalan jujur dan adil, semua pihak bisa melakukan perannya dengan sebaik-baiknya dan semua pihak memiliki kedewasaan berpolitik untuk dapat menerima hasilnya, apa pun itu.
Kembali kepada pertanyaan saya di atas, apakah alasan untuk membuat tagar tersebut cukup valid, sehingga menjadikannya trending? Melihat tidak adanya reaksi dunia internasional terhadap twit mereka, dan BPN yang tidak memberikan alasan dengan jelas apa latar belakang mereka hingga meminta pemantau asing untuk hadir di Indonesia, saya berasumsi tagar ini TIDAK PERLU ADA.
Illustration by Adhitya Pattisahusiwa
Comments