Setiap keluarga memiliki kisah dramanya masing-masing, namun drama dalam keluarga Nailah mencapai proporsi epik karena “petualangan bersama” selama dua tahun di Suriah.
Cerita mereka diawali pada 2014 di Batam, tempat ayah Nailah bekerja selama bertahun-tahun sebagai pegawai negeri sipil, ketika salah satu adik perempuan Nailah jatuh hati dengan janji-janji dan propaganda kekhalifahan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
“Dia mengetahuinya dari salah seorang om kami. Sejak saat itu adik saya penasaran dan menemukan informasi lebih banyak, salah satunya dari blog ‘Diary of A Muhajirah’ di Tumblr. Dia situ dia kenalan dengan seorang perempuan dan kena brainwash,” ujar perempuan berusia 24 yang meminta Magdalene untuk tidak menyebutkan nama lengkapnya itu.
Sang adik yang saat itu berusia 17 tahun itu meyakini propaganda “hidup terjamin seperti zaman Nabi Muhammad”, ujar Nailah. Dalam propaganda itu juga dijelaskan, mereka yang pindah ke wilayah ISIS dijanjikan hidup di negara berkeadilan, gaji besar, bebas dari pajak, mendapatkan layanan kesehatan, gas, dan air gratis. Propaganda itu dan ajakan untuk pindah kemudian disebarkan si adik kepada orang tua dan kakak-kakaknya, serta keluarga besar mereka.
“Ada om saya yang punya banyak utang. Saat itu perusahaannya akan bangkrut. ISIS menjanjikan untuk membayari utang-utangnya asalkan dia pergi ke sana,” kata Nailah, dalam wawancara dengan Magdalene baru-baru ini di Depok, tempat asal keluarganya.
Meski sempat ragu, Nailah, orang tua, kedua adik perempuannya serta beberapa kerabat kemudian berangkat ke Suriah pada Agustus 2015. Setibanya di sana, banyak hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi, ujar Nailah, terutama bagaimana ISIS menjadikan perempuan sebagai objek.
“Perempuan single dan janda didata dan informasi itu diberikan kepada kombatan ISIS. Mereka memilih perempuan tanpa tahu backgroundnya. Misalnya, melamar pada pagi hari, minta jawaban sore harinya,” ujarnya.
“Adikku pernah beberapa kali dilamar, untungnya dia bisa menolak. Ada juga (kombatan ISIS) yang ingin menambah istri padahal seminggu sebelumnya baru saja menikah,” ia menambahkan.
Baca juga: Bagaimana Propaganda Teroris Meradikalisasi Perempuan
Tantenya juga pernah menjadi korban razia, diseret ke dalam mobil polisi dan dibawa ke sebuah gedung, akibat pakaian yang dianggap tak sesuai syariat Islam. Sang tante diminta melepas dan membeli baju baru.
Setelah menyadari bahwa semua hal yang dijanjikan ISIS hanyalah kebohongan belaka, Nailah dan keluarganya berusaha mencari jalan keluar. Setelah 1 tahun 10 bulan, mereka berhasil keluar dari wilayah ISIS. Pada Agustus 2017, mereka kembali ke Indonesia.
Lain keluarga Nailah, lain lagi Dian Yulia Novi, perempuan yang mengalami radikalisasi secara daring ketika menjadi buruh migran di Taiwan. Dia meyakini bahwa aksi bom bunuh diri adalah bagian dari perang suci (jihad). Seorang kenalan di Facebook kemudian menghubungkannya dengan Nur Sholihin, seorang pendukung ISIS, yang kemudian dinikahinya.
Pernikahan adalah bagian dari strategi Dian untuk melegitimasi aksi terorisme karena, berdasarkan ajaran yang dipahaminya, perempuan memerlukan izin dari suami untuk melakukan kegiatan apa pun di luar rumah. Tiga bulan setelah menikah, pasangan suami istri tersebut akan melakukan serangan bom di depan Istana Presiden di Jakarta, namun terendus polisi, yang menangkap keduanya di Bekasi pada Desember 2016.
Transformasi keterlibatan perempuan dalam terorisme
Peran perempuan dalam terorisme bukanlah fenomena baru. Sebelum kemunculan ISIS, perempuan-perempuan di lingkaran Jamaah Islamiyah (JI)-kelompok teroris yang berafiliasi dengan organisasi teroris internasional Al-Qaeda-menjalani peran pendukung.
“Dalam sejarahnya, terutama di Perang Afghanistan (pada 1980an), perempuan terlibat sebagai pendukung bagi para jihadis Indonesia yang berangkat ke sana, entah sebagai ibu atau istri,” kata Lies Marcoes, ahli kajian Islam dan gender yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).
Pada masa peralihan dari JI ke ISIS, perempuan ikut serta dalam terorisme dengan cara “dilelakikan”, ujarnya.
“Ketika kebijakan Amerika Serikat terhadap terorisme semakin keras, JI semakin sulit bergerak. Akibatnya, mereka mengizinkan perempuan untuk ikut terlibat dengan ‘memaskulinkan’ mereka, misalnya, sebagai intel atau peretas bank,” kata Lies.
“Keterlibatan keluarga dan perempuan dilihat sebagai anomali oleh negara. Alat baca mereka gagal karena, di antaranya, tidak menggunakan perspektif gender dan feminisme sehingga tidak melihat realitas bagaimana perempuan bisa terlibat.”
ISIS memiliki pandangan berbeda mengenai keikutsertaan perempuan. Pada Januari 2015, beredar manifesto di internet yang dirilis Brigade Al Khansaa, milisi ISIS yang beranggotakan perempuan. Meskipun dokumen itu menyebutkan bahwa peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan melayani suami, tetapi mereka dibolehkan mengangkat senjata dalam situasi tertentu.
Peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Dyah Ayu Kartika mengatakan, Bahrun Naim, salah satu petinggi ISIS asal Indonesia, pernah memiliki misi untuk menggerakkan perempuan agar menjadi pengebom bunuh diri.
“Pertimbangannya, pertama, perempuan enggak dicurigai dan punya efek publikasi yang besar. Orang enggak akan mengira perempuan akan terlibat,” ujarnya.
Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Kajian Gender di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga, Yogyakarta, mengatakan kelompok radikal telah berusaha menggunakan stereotip gender di masyarakat, bahwa perempuan dianggap pasif dan tidak mungkin melakukan kekerasan.
“Bagi mereka, menggunakan perempuan akan lebih efektif untuk melakukan amaliyah (aksi teror),” kata Alimatul, yang juga Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat bahwa jumlah perempuan yang terlibat aksi terror meningkat dari 13 orang pada 2018 menjadi 15 orang pada 2019, termasuk kasus peledakan diri oleh istri Abu Hamzah di Sibolga, Sumatra Utara pada Maret 2019.
Hasil penelitian IPAC pada 2017 yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” menunjukkan bahwa selain menjadi calon pengebom bunuh diri, perempuan Indonesia juga kerap menjadi pengumpul dana untuk terorisme. Ika Puspitasari ditangkap tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia beberapa hari setelah Dian diamankan. Pada Oktober 2017, dia divonis karena mendanai beberapa rencana aksi teror yang dikoordinasi suaminya.
Bom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018, yang melibatkan pasangan suami istri Dita Oepriarto dan Puji Kuswanti bersama empat anaknya, menunjukkan perubahan pola aksi teror karena ISIS dianggap mulai menarget keluarga.
Lies Marcoes mengatakan, perubahan peran-peran perempuan dalam aksi terorisme ini kurang dipahami banyak pihak, sehingga mengabaikan kemungkinan keterlibatan perempuan.
Baca juga: Perempuan Korban Terorisme: Rentan Terpapar Doktrin Tapi Luput dari Catatan
“Keterlibatan keluarga dan perempuan dilihat sebagai anomali oleh negara. Mereka berpikir bahwa violent extremism is men’s world. Alat baca mereka gagal karena, di antaranya, tidak menggunakan perspektif gender dan feminisme sehingga tidak melihat realitas bagaimana perempuan bisa terlibat,” jelasnya.
Rehabilitasi dan permasalahannya
Kekhalifahan ISIS tak bertahan lama. Serangan dari berbagai pihak menyebabkan wilayahnya berkurang dan akibatnya, banyak orang kembali ke negaranya masing-masing, baik sebagai returnee atau deportan.
Istilah returnee mengacu pada orang-orang yang berhasil masuk ke wilayah Suriah dan kembali secara sukarela. Sementara itu, deportan adalah mereka yang tidak berhasil memasuki Suriah karena ditangkap oleh otoritas Turki dan dideportasi. Mereka yang dipulangkan ke Indonesia (kebanyakan dari Singapura dan Hongkong) karena aktivitasnya sebagai pendukung ISIS juga digolongkan sebagai deportan.
Ada kurang lebih 500 deportan dan returnee yang pulang ke Indonesia sejak Januari 2017 hingga pertengahan 2019. Data ini dikumpulkan oleh Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE), jaringan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu terorisme, dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani dan Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus,
Dari jumlah tersebut, 78 persen deportan dan returnee adalah perempuan. Alasan keberangkatan mereka bervariasi, mulai dari kepercayaan agama sampai mencari kehidupan yang lebih baik.
“C-SAVE mengidentifikasi 10-15 persennya adalah buruh migran perempuan yang direkrut di luar negeri. Kebanyakan dari mereka menjadi TKI untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau konflik keluarga. Mereka kesepian sehingga ingin mencari ketenangan dalam beragama. Sayangnya, mereka terjebak di kelompok yang salah,” ujar Mira Kusumarini, Direktur Yayasan Empatiku dan mantan Direktur C-SAVE yang pernah mendampingi deportan dan returnee.
Program pemerintah untuk deradikalisasi dan rehabilitasi sosial bagi para deportan dan returnee di bawah Kementerian Sosial (Kemensos). Perempuan dan anak-anak ditempatkan di BRSAMPK Handayani, sementara laki-laki dewasa ditampung di RPTC Bambu Apus. Program rehabilitasi dan deradikalisasi ini juga melibatkan Kementerian Agama, BNPT, dan psikolog.
Baca juga: Ahli: Ketaatan Mutlak pada Suami Salah Satu Faktor Perempuan Terlibat Terorisme
Banyak deportan perempuan dan anak yang berasal dari luar Jabodetabek. Namun, pemerintah pusat memusatkan kegiatan rehabilitasi sosial di Jakarta karena fasilitas dan skill pekerja sosial dinas sosial daerah belum memungkinkan untuk melakukan program itu.
Mira dari Yayasan Empatiku mengatakan, dalam proses reintegrasi, C-SAVE berusaha menerapkan pengarusutamaan gender dengan mempertimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan serta bagaimana relasi mereka. Pendampingan juga dilakukan untuk para returnee perempuan yang mencari sumber pendapatan setelah suami mereka dipenjara karena membantu pendanaan terorisme.
Proses reintegrasi Nailah juga cenderung mulus dan dia mengatakan merasakan manfaat dari pendampingan organisasi masyarakat sipil.
“Aku dilibatkan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk mengisi acara bertema pencegahan terorisme di sekolah-sekolah,” ujarnya.
“Kami menyadari telah melakukan kesalahan, tetapi lembaga-lembaga ini tidak menghakimi. Aku menjadi lebih percaya diri dan mendapatkan pengetahuan baru. Aku juga lebih berempati karena berinteraksi dengan korban bom,” katanya.
Nailah mendapatkan pekerjaan dari kegiatan dia dan adiknya di beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO). Dia direkrut untuk menggambar komik setelah sang adik memberitahu mengenai bakatnya kepada sebuah media digital. Di sebuah acara dengan CSO, Nailah berkenalan dengan seorang distributor produk-produk lebah yang kemudian mengajaknya berwirausaha.
Namun reintegrasi tak selalu mudah karena stigma terhadap deportan, seperti yang terjadi di sebuah sekolah yang menerima anak seorang deportan perempuan.
“Kepala sekolah mengabari bahwa pendaftaran murid berkurang karena institusinya dicap sebagai sekolah teroris,” ujar Mira.
Pengarusutamaan gender perlu ditingkatkan
Pelibatan perempuan dalam terorisme seharusnya ditanggapi dengan kebijakan yang lebih sensitif gender, namun hal ini belum diterapkan secara meluas. Misalnya, dalam proses penyidikan sebagai saksi, Nailah mengatakan bahwa dia dimintai keterangan oleh polisi laki-laki.
“Proses interogasi seharusnya berperspektif gender. Kalau perempuan diinterogasi polisi laki-laki, dia bisa terintimidasi,” kata Mira.
Tak hanya minimnya jumlah polisi perempuan yang selalu menjadi alasan ketiadaan mereka dalam proses pemeriksaan. Kalaupun ada polisi perempuan, mereka tidak diberi kesempatan untuk turun ke lapangan karena pola pikir patriarkal seperti, “Perempuan kok menjaga tahanan malam hari?”, ujar Mira.
“Absennya perspektif gender dalam proses deradikalisasi akan menyulitkan dalam disengagement, atau proses ketika seorang atau sekelompok pelaku teror tidak lagi melakukan kekerasan, meninggalkan kelompok teroris, atau berganti peran.”
Padahal, keberadaan polisi perempuan sangatlah penting. Allison Peters, dalam policy brief berjudul “Countering Terrorism and Violent Extremism in Pakistan: Why Policewomen Must Have a Role”, berpendapat bahwa merekrut lebih banyak perempuan dan mempromosikan mereka ke posisi pengambil keputusan haruslah menjadi prioritas institusi penegak hukum dalam kerangka kerja penanggulangan terorisme.
Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menepis anggapan bahwa lembaganya tidak sensitif gender. Dia mencontohkan penanganan Minhati Madrais, istri Omar Khayam Maute, pemimpin kelompok pro-ISIS yang tewas pada saat operasi militer di Marawi, Filipina.
“Banyak yang tidak memahami penanganan Minhati, yang dideportasi dari Filipina. Jadi bisa saja mereka katakan (program deradikalisasi kami) kurang (berperspektif gender),” kata Irfan kepada Magdalene melalui pesan WhatsApp.
Namun pada kenyataannya, BNPT masih didominasi laki-laki yang mayoritas berasal dari sektor keamanan.
“Tidak ada perempuan di level deputi maupun direktur. Posisi tertinggi yang dijabat perempuan adalah Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat, yang dipegang Ibu Andi Intang,” kata Ruby Kholifah, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah.
Absennya perspektif gender dalam proses deradikalisasi akan menyulitkan dalam disengagement, atau proses ketika seorang atau sekelompok pelaku teror tidak lagi melakukan kekerasan, meninggalkan kelompok teroris, atau berganti peran.
“Apabila BNPT tidak mengetahui personal trajectory (perempuan), maka mereka akan kesulitan untuk membedakan penanganan laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan engaged dengan terorisme karena mengalami ketidakadilan gender. Dengan mengetahui penyebab radikalisme, akan diperoleh cara untuk melakukan disengagement,” ujar Ruby.
Lies Marcoes dari Rumah KitaB mengatakan, deradikalisasi yang dilakukan negara masih seragam, lewat pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan, dan kewirausahaan.
“Analisis gender dan feminisme menjelaskan bahwa ada motif yang sangat beragam dan hal itu tergantung pada berbagai situasi. Lakukan riset dulu dan jangan bikin program tanpa dasar. Risetnya harus berperspektif feminis agar kacamatanya tidak buram dalam melihat perempuan,” katanya.
Baca juga: Perekrutan Teroris Lewat Keluarga Lebih Sulit Dideteksi
Masalah lainnya adalah tidak dilibatkannya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam penanganan deportan dan returnee.
“KPPPA seharusnya bukan sekedar pelengkap karena kementerian ini menjadi leading sector pengarusutamaan gender. Tanpa KPPPA, Kementerian lain akan lemah perspektif gendernya dalam melihat violent extremism,” ujar Ruby.
KPPPA memiliki infrastruktur Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang seharusnya dapat berfungsi sebagai pusat rehabilitasi.
“Rehabilitasi yang dilakukan BRSAMPK Handayani itu tidak lama. Sangat jarang orang yang perspektifnya kembali kritis setelah terpapar radikalisme. Rehabilitasi tak cukup hanya dilakukan di pusat,” ujar Ruby.
Sejumlah pihak terus mengadvokasi peraturan-peraturan agar memiliki perspektif gender, salah satunya dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE). Masalahnya, dalam RAN PE, perspektif gender hanya dilekatkan dengan peran pencegahan.
“BNPT mengaitkan gender dengan pencegahan, which is totally wrong. Bicara tentang gender berarti mengacu kepada konstruksi power relation yang ada dalam sebuah kasus. Dalam isu violent extremism, penting untuk memahami bahwa menjadi perempuan dalam konteks ekstremisme berbeda dengan konteks biasa,” ujar Ruby.
Ruby menekankan, setelah Rancangan Perpres ini disahkan Presiden, harus ada minimal 30 persen keterwakilan perempuan di kelompok kerja. Tanpa itu, akan sulit mengawal perspektifnya, ujarnya.
Liputan ini didanai oleh hibah “Peace Journalism Fellowship” dari Harmoni yang diselenggarakan Search for Common Ground Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Comments