Hari Ayah Nasional yang dirayakan setiap 12 November mestinya memiliki makna dan tujuan utama yang lebih mulia, yaitu membongkar maskulinitas toksik yang mengungkung para laki-laki, ayah, dan suami.
Jika kita menelusuri sejarah kemunculan Hari Ayah Nasional yang ternyata belum genap lima tahun dirayakan di Indonesia (berbeda dengan Hari Ayah Internasional yang usianya sudah hampir dua abad), maka kita akan menemukan kerancuan dan sumber yang tidak cukup terverifikasi. Sebuah situs dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan tajuk “Sahabat Keluarga” memuat satu artikel di laman mereka. Artikel yang mengutip “diolah dari berbagai sumber” tersebut mengisahkan bagaimana Hari Ayah Nasional ditetapkan di Solo sejak 2016 yang awalnya berasal dari sebuah sayembara.
Saya menduga, dasar penetapan Hari Ayah Nasional tidak serta-merta menjawab persoalan utama relasi kuasa di dalam rumah tangga atau bahkan masyarakat yang lebih luas. Budaya patriarkal yang telah mengakar kuat tidak hanya berdampak bagi perempuan, tapi juga laki-laki, suami, dan para ayah.
Tidak ada yang salah dengan selebrasi hangat merayakan Hari Ayah, mengingat kenangan bersama ayah, petuahnya, semangat, bahkan sampai luka serta trauma yang menyertainya. Namun, pesan Hari Ayah Nasional setiap tahun idealnya berupaya membongkar maskulinitas toksik yang dihadapi oleh banyak laki-laki dan keluarga di Indonesia. Ini penting untuk menciptakan relasi yang sehat, adil, dan setara. Adalah tugas kita, generasi hari ini dan berikutnya untuk mengikis maskulinitas toksik itu perlahan-lahan.
Beberapa konsep toksik itu di antaranya:
-
Ayah/ suami adalah kepala keluarga, semua keputusan harus selalu atas izin/ restu mereka
Tidak semua dan bahkan tidak harus selalu keputusan seseorang diambil atas izin/restu ayah atau suaminya. Adalah mimpimu untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. Adalah kesempatanmu untuk mengukir prestasi yang lebih gemilang. Adalah cita-citamu untuk mencapai karier yang luar biasa. Para anak perempuan, pasangan, dan istri memiliki otoritas atas dirinya.
Kemampuan dan keberdayaan untuk mengambil keputusan adalah sebuah privilese, dan mungkin tidak semua perempuan bisa mengaksesnya dengan mudah. Oleh karena itu, kepada mereka, para perempuan yang lebih punya keberdayaan tersebut, penting sekali untuk mendorong, mengupayakan, serta menciptakan dampak perubahan.
Baca juga: Ayah Saya Ternyata Feminis
-
Ayah/ suami mesti bekerja di luar rumah dan menghasilkan pendapatan yang besar
Tidak besar, tapi cukup. Kalau boleh saya memutar waktu, dan itu mustahil, saya ingin ayah yang merasa cukup. Cukup pada cinta dan kasih istri serta kami anak-anaknya, semua yang ada di dalam keluarga. Sayangnya tidak, ayah saya yang saat itu terbilang sukses, dan kemudian tidak merasa cukup dan terus ingin lebih, tersandera dalam racun maskulinitas, mengalihkan perhatiannya dari kami. Sebuah pengkhianatan yang tentu jika diingat kembali akan sangat menyakitkan. Tidak hanya menorehkan luka, namun juga trauma. Butuh bertahun-tahun pulih, bahkan mungkin hingga hari ini.
-
Menjadi bapak rumah tangga berarti gagal
Tidak sama sekali! Saat seorang ayah atau suami berada di rumah, dan berdasarkan kesepakatan dengan pasangannya semua tanggung jawab dijalankan secara adil dan setara, maka menjadi bapak rumah tangga tidak berarti lemah apalagi gagal.
Pekerjaan domestik tidak kalah beratnya dengan pekerjaan di kantor atau ruang-ruang publik lainnya. Bahkan jika dikalkulasi, mengurus pekerjaan domestik seperti tidak pernah habis dalam satu hari.
Terkadang, sebagian besar dari kita sulit melepas diri dari upaya menganggap peran di ruang publik lebih hebat dan mendapat pengakuan. Tapi percayalah, kita juga harus mulai membongkar pemikiran bahwa peran domestik lebih remeh daripada ruang publik. Hal ini merupakan peran luar biasa yang membutuhkan tidak hanya kesabaran, tapi juga keahlian dan penghargaan yang layak.
Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi
-
Ayah selalu tegar, kuat, dan tangguh
Tidak selamanya demikian. Data yang dimuat dalam sebuah artikel The Atlantic bahkan menunjukkan kerentanan depresi yang dialami laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Laki-laki dituntut tidak boleh menangis, harus menahan ekspresi sedih, dan merepresi semua perasaan lemah. Maskulinitas toksik menahun yang dialami laki-laki inilah yang tidak jarang mendorong mereka mesti menampilkan sosoknya yang kuat, tangguh, bisa diandalkan, dan tidak pernah menyerah. Padahal, ada kalanya –bahkan mungkin lebih sering dibandingkan perempuan, laki-laki perlu lebih ekspresif, menangis, menunjukkan emosi sedihnya, meminta bantuan, dan bahkan mencari pertolongan.
-
Penghasilan suami harus lebih besar dan memenuhi semua kebutuhan rumah tangga
Tidak harus dan bahkan racun itu harus dimusnahkan. Tidak jadi soal saat istri berpenghasilan lebih besar dari suami. Tidak masalah juga semisal karier istri lebih gemilang daripada suami. Kita harus biasa saja menerima saat istri menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Bagaimana pun, segala upaya tersebut dilakukan untuk kebaikan individu dan upaya meningkatkan kualitas di dalam keluarga.
Daftar toksik di atas bisa lebih panjang dan tentu para pembaca bisa menambahkan praktik maskulinitas toksik yang dihadapi para ayah, suami, atau pasangannya. Narasi dan diskursus untuk mengikis semua racun tersebut penting untuk terus dilahirkan sehingga perayaan Hari Ayah Nasional mestinya melampaui gerak seremonial. Upaya untuk mewujudkan adil dan setara di dalam relasi bukanlah hal yang mustahil, sepanjang kita sanggup memahami apa yang sebetulnya menjadi persoalan mengakar selama ini: patriarki.
Comments