Mulai dari rekrutmen karyawan yang seksis, buku teks pendidikan yang menormalisasi peran kaku gender, teknologi yang diciptakan untuk laki-laki meskipun penggunanya perempuan, hingga masalah administrasi yang mengunci akses perempuan dari layanan keuangan–perempuan dan minoritas gender lain di Indonesia masih sering mengalami bias berbasis gender.
Bias-bias ini dipelihara dan hidup di sekitar kita, di masyarakat, tempat kerja, lembaga pendidikan, serta ruang dan layanan publik. Banyak dari bias ini yang tidak kita sadari, bahkan terinternalisasi dalam pemikiran dan tindakan kita. Padahal dampaknya sangat besar dalam menghambat upaya mencapai kesetaraan gender.
“Sebetulnya bias yang ada di dalam diri kita sifatnya bertumpuk dan tidak tunggal,” kata Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam Pesta Perempuan: Mendobrak Bias yang diselenggarakan Magdalene, Sabtu kemarin di MBloc Space, Jakarta. “Ketertindasan yang dialami perempuan tidak pernah tunggal dan tidak pernah sama dengan satu sama lainnya. Meskipun ada benang merah yang memungkinkan kita untuk berjuang bersama.
Baca juga: Masalah Besar di STEM: Representasi Perempuan dan Produk yang Bias
Pesta Perempuan sendiri adalah puncak kampanye #MendobrakBias yang dibuat Magdalene dalam rangka merayakan International Women’s Day yang jatuh pada 8 Maret setiap tahunnya. Acara ini dilaksanakan secara hybrid: offline dan online lewat lewat Zoom, Youtube dan Facebook Live.
“Bagian terpenting dari kampanye #MendobrakBias adalah mengupas tuntas bagaimana bias-bias berbasis gender masuk, menyelinap dan dilanggengkan di berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari pendidikan, layanan medis, teknologi, tempat kerja, sampai akses ke layanan keuangan,” ujar Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi Magdalene.co.
Kampanye ini bertujuan untuk terus menggaungkan pesan akan pentingnya bersama-sama berkontribusi mengakhiri bias dan diskriminasi. Sebelumnya, kami juga membuat serial laporan mendalam tentang bias-bias gender yang secara struktural tertanam di berbagai sektor, diantaranya: pekerjaan, medis, finansial, pendidikan, pembangunan kota, dan teknologi (STEM).
Baca juga: Misdiagnosis, Problem Laten yang Ancam Kesehatan Perempuan
“Ini kami lakukan tidak hanya lewat kerja-kerja jurnalistik, tapi juga dengan menciptakan ruang agar terjadi percakapan. Mendengarkan pengalaman dari pembaca kami dan merefleksikannya dalam berbagai bentuk, mulai dari artikel, news game, komik, kuis interaktif, diskusi, hingga kompetisi konten Instagram.”
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menambahkan, “Kita dituntut untuk selalu mawas pada bias gender yang mengarah pada pelanggengan stereotip, prasangka, dan subordinasi terhadap perempuan atau siapa pun yang dianggap tidak mengikuti norma gender itu.”
Andy menambahkan, “Ini adalah sebuah perjuangan tersendiri, sebab kita sedari kecil dididik untuk menginternalisasi bias itu. Kita mempelajarinya di semua pranata sosial, hukum, dan politik. Kita juga ditantang untuk menghadapi kuasa yang menghegemoni dan tak segan menggunakan kekerasan untuk memastikan status quo. Karenanya, menjadi bagian dari upaya mendobrak bias adalah aksi yang berani (courageous act) membangun peradaban dengan cita kemanusiaan yang sejati.”
Acara Pesta Perempuan sendiri meliputi tiga diskusi panel tentang bias di tempat kerja, teknologi, dan ekonomi dengan beragam narasumber yang datang dari berbagai bidang. Mulai dari sektor swasta, aktivisme, akademia, hingga pemerintahan.
“Kekerasan seksual adalah salah satu faktor yang berdampak sangat besar pada perempuan, terutama di tempat kerja,” ungkap Suzy Hutomo, Executive Chairperson The Body Shop Indonesia, salah satu panelis di acara Pesta Perempuan.
Baca juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan
“The Body Shop berkomitmen untuk mengangkat isu ini sejak akhir 2020, dan terus mendukung upaya untuk mengakhiri kekerasan seksual di Indonesia dengan mendorong pengesahan RUU TPKS dan juga melalui berbagai inisiatif yang dapat dilihat di www.tbsfightforsisterhood.co.id,” tambah Suzy.
Di teknologi, bias itu juga perlu dibongkar bahkan sampai ke kurikulum pendidikan kita.
Andi Pratiwi, Peneliti Pusat Riset Gender Universitas Indonesia menuturkan, "Bias gender pada teknologi harus dibongkar, sehingga perempuan dan kelompok marginal dapat mengubah technophobia (ketakutan dan peminggiran atas teknologi) menjadi technophilia (perayaan atas teknologi).”
Dalam acara yang sama, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengatakan, “Kalau negara memberi kesempatan yang sama kepada perempuan di dalam berpartisipasi di ekonomi, maka produktivitas negara itu akan meningkat.” Untuk itu, menurutnya, diperlukan komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perempuan yang menghalangi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang ekonomi.
"Kominfo melalui tugas dan fungsinya sebagai GPR terus berupaya untuk menyebarluaskan informasi terkait isu perempuan melalui berbagai chanel serta meningkatkan pemahaman penggunaan teknologi digital masyarakat Indonesia,” tambah Usman.
Acara yang dipandu Cindy Law ini juga turut menampilkan komika Priska Baru Segu dan Gamilla Arief, pertunjukan musik dari Reality Club dan Faye Risakotta, serta sesi KPop dance yang dipimpin instruktur Ritta Lestari K.
Pesta Perempuan dan kampanye #MendobrakBias terselenggara berkat dukungan Kementerian Komunikasi dan Informatika, The Body Shop Indonesia, Meedan, Pos Indonesia, dan UNDP.
Comments