Women Lead Pendidikan Seks
November 13, 2020

Peti Mati

Perempuan itu sadar yang bisa dilakukannya hanya berdoa sebelum jiwanya pergi meninggalkan tubuhnya seperti sang anak.

by Sebastian Partogi
Culture // Prose & Poem
Share:

Masa depan keluarga ini telah terbujur kaku di peti mati. Sebentar lagi, masa depan keluarga ini akan dikebumikan untuk hancur dimakan ulat dan digerogoti jasad renik di dalam tanah.

Nyaris tidak percaya Paula melihat jenazah Filip, yang berbalut jas hitam, celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel berwarna hitam. Tiada pernah ia menyangka bahwa anaknya itu akan berpulang di usia 25 tahun. Tiada pernah pula ia menyangka bahwa anak sulungnya tersebut akan menemui ajal dengan cara yang begitu ganjil.

Paula menatap leher puteranya tersebut. Tampaknya sang perias jenazah telah memoles luka memar tersebut dengan begitu baik. Luka memar yang diakibatkan jeratan tali yang dipakai Filip untuk membunuh dirinya sendiri.

Ketika Paula menemukan tubuh Filip tergantung di langit-langit kamarnya oleh seutas tali, dengan keadaan kaku dan mata melotot seolah menyampaikan kemarahan, ia tidak langsung pingsan seperti yang sering diperlihatkan di film-film saat seseorang mendapati anaknya bunuh diri.

Ia malah bertindak dengan sangat tenang, membangunkan suaminya, meminta saran apakah mereka sebaiknya memanggil polisi, ambulans, atau dua-duanya.

Paula bingung. Ada bagian dari dirinya yang seolah sudah menduga sejak lama bahwa putra sulungnya akan berakhir seperti ini. Namun, ada juga bagian lain yang meragukan bahwa sekelam apa pun kejiwaan putranya, anak itu tidak akan pernah mengambil tindakan sedemikian nekat: Mengakhiri nyawanya sendiri.

Di sekitar Paula, para pelayat–mulai dari kerabat keluarga hingga teman-teman kuliah dan rekan-rekan kerja Filip–silih berganti mengitari ruangan untuk melihat ke dalam peti mati sambil mengucapkan ungkapan bela sungkawa kepada Paula. Paula yang pikiran dan tubuhnya sedang berada di awang-awang tidak benar-benar mengindahkan keberadaan orang-orang tersebut di ruang tamu rumahnya.

Paula sudah tahu, ia takkan bisa tidur malam ini. Juga pada beberapa malam ke depan.

***

Beberapa bulan setelah pemakaman berlangsung, Paula dan suaminya masih kerap diganggu oleh mimpi buruk. Kejutan yang menyapa mereka pagi itu ketika mereka membuka pintu kamar Filip karena anak itu telah terlambat bangun untuk pergi bekerja, hanya untuk menemukan anak mereka terjuntai dari langit-langit kamar.

Matanya yang terbelalak lebar benar-benar mengerikan. Sayangnya, kenangan akan tatapan matanya itulah yang akan mereka bawa seumur hidup mereka tentang Filip, dan mereka pun tiada akan pernah mendapat kesempatan untuk bertanya mengapa atau apa.

Malam hari, setelah Paula selesai mengajar di perguruan tinggi negeri tempatnya mengabdikan diri sebagai dosen selama 30 tahun, ia akan segera duduk di depan televisi sembari menyetel suaranya sekeras mungkin. Namun sekeras apa pun suara banyolan para pelawak di layar kaca, suara itu tidak kunjung berhasil menenggelamkan suara-suara yang selalu membuat Paula gelisah.

Apa lagi yang kurang dari diriku sebagai orang tua? Apa yang kurang dari kami selaku orang tua? Kami memanjakanmu, kami memberikan apa segala yang engkau minta... Mulai dari telepon genggam terbaru sampai mobil Honda Jazz yang begitu engkau idam-idamkan....

Apa lagi yang kurang?

“Apa lagi yang kurang dari aku, Ma? Aku lulus summa cum laude dari universitas dalam waktu 3,5 tahun, setelah lulus langsung diterima bekerja dengan gaji yang besar... Tapi Mama selalu saja mengungkit-ungkit segala kekuranganku! Mulai dari lupa mengunci pintu rumah, malas mandi di akhir pekan, berantakan ketika makan, malas merapikan kamar dan melipat baju...”

“Percuma saja kamu bisa jadi lulusan terbaik. Apalah itu, karena semua prestasimu itu hanyalah bentuk egoisme semata, tidak ada gunanya bagi orang lain! Kamu tidak peduli pada orang lain! Kamu tidak peduli bahwa Mama dan Papa pusing melihat kamarmu yang berantakan itu, dengan baju-baju yang dilipat sembarangan... Memang kamu anak manja! Tidak ada gunanya jadi anak paling pintar sedunia kalau kamu cuma berakhir manja dan tidak ada manfaatnya buat orang lain!!!”

Baca juga: Aku Bohong pada Ibu

Seketika tubuh Paula dijalari panas yang menyengat. Peluh membasahi tubuhnya. Ingin ia berteriak namun tiada yang keluar dari kerongkongannya. Rasa sakit yang tumpul semacam ini begitu dibencinya. Ia lebih memilih rasa sakit yang membuat dirinya meraung-raung kesakitan dalam tangis.

Akhirnya ia menampar-nampar wajahnya sendiri agar rasa sakit yang tumpul itu berubah menjadi tajam dan ia betul-betul dapat merasakan penderitaannya.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

Percuma saja. Beberapa kali menampar pipinya sendiri, kulit dan kalbunya tetap mati rasa. Ia menampar pipinya dengan lebih keras.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

AAAAAARRGGGHHHH!!!!!!!!

“Mama! Mama kenapa?” Andre ketakutan melihat ibunya dengan pipi yang memerah dan hidung yang berdarah.

“Ayo, Ma, biar aku obati...”

Dalam hati Paula muncul kehangatan. Sedari dulu, Andre memang jadi anak kesayangannya. Anak itu begitu perhatian dan peduli pada orang lain. Siapa peduli anak itu tidak secerdas Filip? Tiada seorang pun yang menyukai anak egois yang kerjanya hanya mengurung diri untuk belajar, yang hanya peduli pada pencapaian akademiknya saja.

Seketika kehangatan itu berubah menjadi kecemasan yang lain. Aku adalah orang tua yang buruk. Bahkan ketika anakku sudah mati karena bunuh diri pun, aku tetap tidak bisa menyayanginya...

***

Apakah ini salahku? Apa aku telah tanpa sengaja menjadikan dia anak yang terlalu ambisius?

Paula mengenang sewaktu ia masih mahasiswa dulu, ia adalah anak yang begitu cerdas. Seperti Filip juga, ia menjadi lulusan summa cum laude, dengan IPK 3,9. Sejurus berselang tawaran untuk mengabdi di almamater pun disampaikan oleh dekan fakultas kepadanya.

Meskipun masa-masa kuliahnya begitu menjanjikan, karier Paula di kampus tidak kunjung naik. Dengan iri dan cemas ia lihat rekannya satu-satu menduduki jabatan-jabatan penting di kampus. Semua, kecuali dirinya.

Jauh di dalam lubuk hati Paula, ia tahu bahwa bekerja dengan segenap hati itu memang taik kucing. Ia menginginkan jabatan, ia menginginkan gaji lebih, apalagi ia memiliki kecerdasan yang cukup untuk meraih semua itu.

“Maaf, di kampus ini memang orang-orang non tidak diizinkan jadi kepala bagian ataupun menduduki jabatan-jabatan penting lain...”

Nonpribumi dan nonmuslim.

PLAK!

“Kamu jangan jadi anak pemalas! Bahkan ketika kita sudah jadi orang yang cerdasnya selangit pun, orang lain masih suka meremehkan kita, tahu!”

Filip menangis. Wajahnya merah oleh bekas tangan Paula yang barusan menamparnya. Paula berang karena anak itu baru bangun tidur jam 9 siang pada hari Minggu. Peristiwa itu terjadi ketika Filip masih berusia 16 tahun.

Nangis saja terus! Kamu mau jadi apa? Mau jadi babi? Mau jadi kerbau?”

Filip tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terlambat bangun karena semalam ia habis tidur larut malam untuk belajar Matematika. Nilai Matematika adalah yang akan menentukan apakah kamu akan jadi pemenang atau pecundang, begitu kata Paula selalu. Namun, dengan belajar Matematika, Filip malah bangun terlambat dan sebagai hadiahnya ia diberi ganjaran makian dan gamparan.

Jangan pikir Mama melakukan ini karena benci padamu, Nak. Mama melakukan semua ini, bahkan tetap menghina semua pencapaianmu meskipun mereka sudah setinggi langit, supaya kamu tetap terpacu. Supaya kamu memiliki nilai-nilai yang bagus, supaya kamu bisa jadi dosen, dan menjadi lebih hebat dari Mama karena kemampuanmu yang luar biasa! Kasih sayang itu terkadang harus ditunjukkan melalui sikap keras, Nak.

Semua itu diucapkan Paula di dalam hati saja.

Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua

***

Psikiater ternama pernah berkata, biasanya orang bunuh diri karena depresi.

Paula baru selesai membongkar kamar Filip, berharap dapat menemukan catatan ataupun buku harian anak itu–apa pun yang dapat mengurai rasa penasarannya. Sejak kapan anaknya ingin mati? Mengapa? Namun, tiada satu pun informasi yang menjawab pertanyaannya yang dapat ia temukan.

Seingat Paula, anaknya sama sekali tidak pernah menunjukkan gejala-gejala depresi, apalagi keinginan bunuh diri. Malahan, anaknya itu takut sekali mati.

Ketika ia masih berusia 10 tahun, Filip pernah masuk ke kamar Paula dan suaminya tengah malam. Anak itu ketakutan. Sorot matanya menunjukkan jelas bahwa ia baru saja diganggu oleh mimpi buruk.

Paula baru ingat, sorot mata Filip saat ia sudah tergantung tanpa nyawa menyerupai sorot mata yang ia pancarkan malam itu, ketika ia sedang ketakutan.

Filip bermimpi bahwa ia didatangi oleh Mister Gepeng. Mister Gepeng adalah legenda urban yang menyebar di antara anak-anak tahun 1990-an, mengenai setan lelaki yang menemui ajalnya setelah terjepit hingga tubuhnya hancur di pintu elevator gedung perkantoran yang sensornya sudah rusak.

Begitu termahsyurnya cerita tersebut, sampai-sampai beredarlah selebaran-selebaran yang menerakan nomor telepon Mister Gepeng. 021-7490651.

Teleponlah kemari dan engkau akan mati. Mister Gepeng akan datang dan mencekikmu hingga mati, demikianlah bunyi selebaran yang tersebar hingga sekolah dasar tempat Filip belajar.

“Mama, Mister Gepeng mau mencekik aku... Dia seram, tubuhnya remuk, lehernya patah dan terayun-ayun oleh angin... Dia akan mencekik leherku karena semalam aku habis menelepon ke nomor yang disebut di selembar kertas itu... Dan leherku juga akan patah, dan terayun oleh angin...”

“Sudahlah, itu hanya mimpi. Tidur lagi sana,” ujar Paula.

“Iya, itu cuma mimpi. Kembali ke kamar kamu. Kamu bukan anak kecil lagi,” ujar Edwin, suami Paula.

Seharusnya waktu itu ia bertanya pada anaknya, seperti apakah penampakan Mister Gepeng? Hal apa lagi yang dikatakan Mister Gepeng ketika mengunjunginya dalam tidur? Lalu, seharusnya ia memeluk Filip karena ia dan Edwin tidak pernah ada untuk anak itu. Pada akhirnya, Filip harus bergumul dengan ketakutannya sendirian.

Apakah mungkin, bahwa di saat terakhir hidupnya, Filip telah dijemput oleh Mister Gepeng?

Paula bergidik ngeri membayangkan hal tersebut.

Ah, tidak masuk akal. Namun kemiripan-kemiripannya terlalu kentara... Sorot mata mayat Filip yang melotot lebar, sama persis seperti malam di mana ia masuk ke kamarku dan Edwin lantaran takut dikejar Mister Gepeng. Belum lagi ajal yang ia temui akibat leher tercekik... meskipun lehernya dicekik oleh seutas tali dan bukan tangan Mister Gepeng...

***

Semakin hari Paula semakin mudah merasa lelah dan pusing. Langkahnya pun semakin gontai dan tak lagi semantap dulu. Sepuluh tahun setelah berlalu setelah Filip bunuh diri. Sepuluh tahun berlalu sejak dokter memvonisnya dengan penyakit Parkinson.

Apakah ini saatnya Mister Gepeng akan datang menjemput Paula juga?

Beberapa malam yang lalu, Paula bermimpi mengenai kematian. Bukan karena dicekik Mister Gepeng, melainkan karena penyakit yang ia derita. Penurunan jasmaniah yang ia alami dianggapnya sebagai pertanda hidupnya takkan lama lagi.

Baca juga: Menemukan Wajahku dalam Wajahmu

Dalam mimpi itu, Paula berjalan di setapak jalan sempit. Selama berjalan, benaknya dicekam ketakutan meski tak tahu pasti ke mana ia sedang bergegas. Tidak lama kemudian, ia melihat sebuah gereja. Ia masuk ke dalam gereja tersebut. Ada sebuah kebaktian penghiburan bagi seseorang yang baru saja meninggal.

Suara lagu-lagu rohani mengudara.

Tiap langkahku, ku tahu yang Tuhan pimpin... ke tempat tinggi, ku dihantar-Nya....

Paula terheran-heran ketika mendapati orang-orang yang berdoa di gereja tersebut adalah kerabatnya. Ia kemudian bergegas mendekati peti mati yang terdapat di dekat altar. Ia merapat ke sana untuk melihat siapa gerangankah yang baru saja wafat.

Ia melihat wajahnya sendiri.

“Berhenti! Berhenti! Aku masih hidup! Jangan tutup peti mati itu! Jangan kuburkan aku! Jangan!!!”

Percuma saja. Tiada seorang pun mendengar tangis dan jeritannya. Petugas menutup peti mati tersebut dan menguncinya dengan rapat. Paula baru menyadari bahwa ia belum mau mati, namun suka tidak suka ia sudah harus diseret ke alam baka. Apa pun bentuknya di sana.

Paula menjerit. Edwin berusaha menenangkan istrinya, namun upaya yang dilakukan lelaki itu tampak sia-sia.

***

Setelah berdoa tanpa putus, pada akhirnya Paula memutuskan untuk berziarah ke makam Filip. Mungkin sebentar lagi waktu Paula untuk pulang akan segera tiba dan itu artinya ia harus sering-sering berdoa, terutama di makam anaknya yang meninggal secara tidak wajar tersebut.

Saat ia tiba di kuburan, ia mendapati seorang lelaki sedang duduk berjongkok di tepi makam Filip. Lelaki itu tampak hampir memasuki usia 40, namun masih terlihat muda dan rupawan. Paula nyaris yakin bahwa ia sudah pernah bertemu dengan lelaki tersebut sebelumnya. Hanya saja, kalau ia benar adalah kawan Filip yang sudah pernah ia temui dahulu kala, Paula tidak bisa mengingat siapa namanya.

“Halo, Tante... Ingat saya?

“Kamu temannya Filip, ya?”

“Iya Tante, ini Jason, kawan Filip semasa kuliah...”

“Terakhir Tante lihat kamu sepertinya waktu kamu main ke rumah di semester tiga, ya? Mengapa setelah itu kamu tidak pernah lagi datang ke rumah? Filip juga sudah tidak pernah membicarakan kamu.”

“Filip tiba-tiba memusuhi saya, Tante...” ujar Jason, sembari menunjukkan raut muka sedih.

“Loh, memusuhi kenapa?”

“Ceritanya panjang, Tante... Namun, perlakuan Filip benar-benar menyakiti saya. Sampai sekarang pun saya masih mengingat-ingatnya... Yah, mungkin ini yang disebut mentalitas minoritas, Tante.”

 “Maksudnya?”

“Kami berdua sama-sama keturunan Tionghoa dan sama-sama gay, kebetulan sama-sama pintar, jadi mungkin kami saling bersaing supaya bisa dihormati orang... Dulu, tentu saja, kami melakukannya tanpa sadar. Tapi setelah banyak belajar soal politik selepas lulus kuliah dan jadi wartawan, pikiran saya banyak terbuka, Tante.”

Jason merasa gugup saat melihat wajah Paula menjadi pucat menyerupai hantu.

“Tante... tante kenapa?”

“Jadi... jadi... Filip itu gay?”

“Tante tidak tahu?”

Paula menggeleng-geleng sembari menggigit bibirnya.

***

Makin hari, batin Paula terasa semakin kelam. Bias-bias sinar jingga yang Paula amati di langit menjadi semakin pekat, semakin gelap, semakin mengancam setiap harinya.

Mungkin ini adalah pertanda, bahwa hidup telah memerangkapnya ke dalam ruang yang kian sempit?

Paula gemetaran selagi duduk di kursi rodanya. Kenangan tentang Filip menghantui dirinya. Inikah akhir hidup seorang gadis cerdas yang dulu pernah mendapat IPK 3,9? Ditinggalkan semua orang dan kariernya mandek? Kedua anak yang pernah ia harapkan akan meneruskan cita-citanya pun gagal memenuhi harapannya–yang satu sudah busuk dimakan ulat dan yang satu lagi ternyata hanya jadi makhluk korporasi?

Paula insaf bahwa yang dapat ia lakukan kini hanyalah berdoa. Hidup yang pernah ia angan-angankan tidak akan pernah mampu ia raih. Yang terpenting adalah menenangkan batinnya sebelum jiwanya pergi meninggalkan tubuhnya. Seperti Filip.

Sebastian Partogi adalah seorang penulis feminis yang tinggal di Jakarta.