Aku bangun saat matahari baru setengah muncul. Pada jam sepagi ini, sudah berisik suara ayam dan bebek yang kandangnya hanya berjarak satu kamar dari kamarku. Saat aku keluar menuju teras, terlihat beberapa perempuan sudah mulai melakukan aktivitasnya. Ada yang menyapu, ada yang memberi pakan hewan, dan ada yang mondar-mandir membawa tatakan menyiapkan sarapan.
"Mbak Nita, sini makan dulu!" teriak Bu Muti dari sebelah kanan tempatku berdiri. Ia juga memanggil suaminya yang tengah membersihkan lapangan dari daun-daun yang berserakan.
Tidak enak hati aku sebenarnya. Bu Muti dan keluarganya mau menerima aku yang bukan siapa-siapa, hanya kenalan dari seorang teman. Aku kemari untuk mengerjakan tugas akhir kuliah.
"Tidak perlu siapkan sarapan segini banyak, Bu," kataku tulus, merasa tidak nyaman sendiri.
Bu Muti menyergah, "Tamu adalah rezeki. Harus dilayani, bukan beban bagi kami, Mbak."
Ia menyendokkan telur bebek dan ikan laut bumbu merah yang terlihat nikmat sekali ke piringku. Aku dan keluarga Bu Muti sarapan bersama.
Demi mendukung pengerjaan tugasku, aku ditemani Mala, anak ketiga Bu Muti. Mala berusia satu tahun lebih muda dariku. Dia sudah pernah menikah dan punya satu anak balita.
Setelah keluar berkeliling desa, kami memutuskan untuk makan siang di warung bakso. Sembari sibuk memotong bola-bola daging, dia melihat wajahku, lalu tanpa basa-basi bertanya, "Mbak heran ya, karena tidak melihat suamiku di sekitar rumah? Kenapa tidak ada laki-laki selain Bapak? Bingung ya, Mbak?"
Aku cukup terkejut dengan perkataannya. Tentu aku tidak punya pertanyaan sejauh itu. Jika memang ada yang membuatku bingung, itu adalah soal bakso di warung ini. Tapi kubiarkan saja Mala melanjutkan.
“Aku ditalak suami setelah delapan bulan anak kami lahir. Aku kira, dia laki-laki baik karena dia adalah guru mengajiku dulu. Ternyata tidak juga,” kata Mala dengan wajah santai.
“Ibu sampai marah betul karena aku ditinggalkan begitu saja, tidak diberi apa-apa. Buat anak kami saja dia tidak mau kasih uang. Bapak lebih geram lagi, menyalahkan ibu yang mendukung hubungan kami karena terlalu percaya pada orang yang pandai mengaji. Jadi, suamiku bukan merantau di luar kota seperti anggapan orang-orang desa. Dia pergi begitu saja dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya,” sambung Mala.
Ia lantas bercerita soal kakak pertamanya, Rina, yang tadi pagi kulihat tengah memberi pakan hewan.
Baca juga: Puan Pulang Petang
“Mbak Rina juga sudah menikah. Suaminya merantau di Jakarta. Dua anak Mbak Rina memang tidak mirip karena mereka beda bapak. Pernikahan pertamanya gagal karena dia dipukul terus katanya. Padahal, semua orang suka dengan suaminya karena di luar, ia terlihat ramah dan seperti punya sifat bijak yang tidak dibuat-buat. Tutur katanya juga selalu baik,” ucap Mala.
Sebelum melanjutkan, Mala meneguk habis es tehnya.
"Nah, kalau Mbak keduaku, Mai, dia belum bersuami. Tapi, sepertinya akan. Dia belakangan ini rajin keluar pacaran. Berbunga-bunga wajahnya jika sudah membahas lelaki yang disukainya itu. Ibu dan Bapak juga sudah tahu, sih,” kisah Mala.
Aku hanya menyimak dan mengangguk saja. Balasan apa yang dia harapkan dariku, aku tidak tahu. Aku juga tidak mau bersikap berlebihan. Yang jelas, aku patut merasa beruntung karena Bu Muti membiarkan Mala yang membantuku. Dia cakap dan seru sekali saat bercerita.
Sejak obrolan panjang di warung bakso, hubungan kami jadi lebih dekat. Mala bisa dengan mudah cerita apa saja tanpa aku bertanya. Menurutnya, ekspresi wajahku seperti selalu penuh tanya. Katanya wajar, sebab aku ini orang kota. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tetapi kelihatannya, dia selalu merasa perlu untuk menjelaskan ini-itu tentang banyak hal.
Pernah dia bercerita soal masa sekolahnya yang menyenangkan, lalu disambung dengan kisah sedih karena harus berpisah dengan banyak kawan yang memutuskan merantau. Ada juga soal perayaan orkes yang ramai dan menghibur warga desa, saluran air tersembunyi yang jadi tempat bermain kesukaannya dulu, atau soal cuaca yang makin hari makin tidak menentu sehingga panen gagal, dan banyak lainnya.
Beberapa kali dia bercerita soal anaknya. Mala merasa tidak begitu dekat dengannya karena ibunyalah yang lebih sering mengurus sang anak. Tapi dengan air muka yang serius, cerita selalu ditutupnya dengan ungkapan betapa dia menyayangi anaknya itu.
Pada dasarnya, Mala selalu mencoba menjawab pertanyaan yang ia asumsikan ada di pikiranku. Begitu mendalami, terkadang disampaikan dengan penuh emosi. Sempat tebersit bahwa sepertinya ini bukan lagi soal aku dan “pertanyaanku”, tapi soal isi kepala dan perasaan Mala sendiri.
Suatu malam, dia datang mengetuk kamar. Pukul 8 malam di desa sudah gelap, namun Mala bersemangat sekali mengetuk pintu kamarku. Dia baru saja pulang dari acara hajatan yang cukup meriah. Karena kami sudah cukup akrab, malam itu ia tidak segan mengganggu tidurku. Sambil duduk di pinggiran dipan, ia tersenyum menatap wajahku yang masih kusut.
“Ada apa?”
“Aku bertemu lagi dengan Malik,” jawab Mala dengan senyum mengembang.
“Siapa lagi Malik ini?”
Baca juga: Doa yang Terjawab oleh Corona
Ternyata setelah bercerita panjang, dapat kutarik kesimpulan bahwa Malik adalah lelaki yang Mala sukai dulu di masa sekolah. Tapi entah bagaimana, Malik tidak kelihatan lagi setelah masa sekolah selesai dan Mala akhirnya menikah dengan guru mengajinya itu. Hidup berjalan, lalu dia lupa juga soal Malik. Sampai malam ini tiba, di hajatan pesta pernikahan anak kepala desa yang ramai dan meriah itu, Mala akhirnya dapat bertemu Malik lagi.
“Dia masih tampan rupanya. Saat kami bercakap, dia pun tahu jika aku sudah punya anak. Menurutnya, aku tetap cantik. Membantu hajatan di rumah kepala desa ada untungnya juga buatku. Mungkin ini adalah takdir!” lanjut Mala kelewat bersemangat.
Melihat Mala girang, aku ikut tersenyum juga. Aku sangat setuju dengan Malik. Mala memang cantik. Wajahnya masih sangat muda, sedang tubuhnya telah matang dan berisi. Malam itu dia seperti baru saja bertemu pangeran berkuda putih.
***
Keesokannya, aku bangun terlalu siang. Mengingat tugasku sudah hampir berakhir, wajar saja kalau waktu-waktu ini akan aku manfaatkan untuk benar-benar menikmati kehidupan di desa. Rencananya aku akan mengajak Mala bersepeda menyusuri sawah nanti sore. Namun, sebelum aku benar-benar di depan kamar Mala untuk membicarakan rencana tersebut, terdengar suara percakapan yang sepertinya dilakukan oleh tiga orang. Ada suara isak tangis pula.
“Ini adalah keputusanmu, tapi kita akan kesulitan jika kau menolaknya. Dia yang sering memberi kita uang untuk mencukupi kebutuhan,” terdengar suara Bu Muti.
“Dia itu kurang ajar. Mana bisa buat anak kita memilih padahal sebetulnya tidak ada pilihan? Pemaksaan ini namanya! Karena dia banyak uang dan kuasa saja akhirnya dia dapat berlagak seperti itu. Harusnya kamu tidak perlu datang ke hajatan itu agar tidak dilirik olehnya,” suami Bu Muti berbicara lebih keras.
“Aku juga tahu kalau kita tidak punya pilihan, Pak,” balas Bu Muti.
“Maafkan Ibu, Mala. Jika tidak mau dengan dia, tidak apa-apa. Akan Ibu dan Bapak coba sampaikan. Soal bagaimana nasib kita ke depannya, biar Tuhan saja yang tentukan.”
Baca juga: Jatuh Cinta dalam Mimpi dan Rambut Panjang Galvarena
Setelah beberapa waktu, Mala akhirnya berbicara dengan tersendat-sendat karena diselingi tangis, “Saya terserah Ibu dan Bapak saja. Apa yang baik buat Ibu dan Bapak, baik juga buat saya. Saya tidak sedang menyukai lelaki lain, itu akan baik untuk anak saya jika akhirnya dia punya bapak yang sungguh dapat membiayainya.”
Rencanaku hari itu kubatalkan. Aku juga memutuskan untuk pulang lebih cepat dari jadwal seharusnya, ketika suasana rumah Bu Muti masih terasa canggung sekali. Sebenarnya, aku merasa tak nyaman karena tidak bisa membantu apa pun.
Hari berikutnya, di depan pintu mobil yang terbuka, Mala memelukku erat. Tidak lagi dia bercerita seperti yang sudah-sudah. Soal takdir baik saja yang dia sebutkan terus-menerus sejak obrolan yang kudengar di depan kamar waktu itu. Masa depan anak perempuannya saja yang dia harap-harapkan. Kami berpisah dan aku berdoa untuk kebahagiaannya.
***
Setelah tiga tahun, tidak kusangka kami dapat bertemu kembali di kotaku. Mala menunjukkan kebahagiaannya ketika akhirnya dapat melihat wajahku. Kami duduk berhadapan di sebuah rumah makan yang cukup terkenal. Mala yang kutemui kali ini kembali seperti saat di warung bakso dulu. Setelah obrolan ringan tak tentu arah, ia merasa perlu menjelaskan apa yang terjadi pada hidupnya.
“Aku menikah lagi dengan lelaki yang tidak aku sukai hingga hari ini. Tapi berkat uang dan martabatnya, kondisi keluargaku semakin baik. Tiga bulan setelah Mbak Nita pulang, Mbak Rina berangkat ke Jakarta untuk membantu suaminya. Mbak Mai dapat menggelar pernikahan. Anakku lebih pintar dariku karena dapat sekolah yang bagus. Memanfaatkan cinta suamiku, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan mulai berdagang sejak satu setengah tahun lalu,” Mala menyeruput cangkir teh hangatnya lalu menatapku dalam sambil tersenyum penuh arti.
“Aku tidak mau lagi terjebak pada keputusan yang dipaksakan. Pilihanku harus lebih banyak dari yang lalu, Mbak Nita.”
Comments