Women Lead Pendidikan Seks
July 24, 2019

Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama

Lucu rasanya jika kita ingin mengadopsi gaya negara Arab yang kaya dalam hal poligami, sementara kondisi kantong kita sendiri adalah negara berkembang.

by Pratiwi Juliani
Issues // Politics and Society
Kekerasan_Poligami_KDRT_Selingkuh_KDP_SarahArifin
Share:

Perempuan yang sedang menunggu pengesahan status resminya sebagai orang tua tunggal itu membagikan ceritanya tadi malam. Kisah dimulai ketika ia menolak permintaan suaminya untuk berpoligami (sebenarnya poligini, namun di sini dan selanjutnya tetap saya tuliskan poligami sebab istilah demikian lebih populer di masyarakat kita meski pengertian mengacu pada pengertian poligini). Alasan suami di awal adalah dia merasa perlu menolong seorang janda dengan cara menikahinya. Penolakan itu berhasil, pernikahan suaminya gagal. Namun, petakanya tidak selesai.

Sang suami mulai kerap melakukan perselingkuhan, dan tentu saja itu memerlukan uang yang tidak sedikit. Ekonomi keluarga mereka mulai morat-marit hingga ke tingkat prihatin; jangankan untuk membeli pakaian anak, makan saja seadanya. Atas kejadian itu dia menyalahkan istrinya, bahwa ketiadaan izin poligami-lah yang menyebabkan dia harus menyalurkan nafsunya dengan cara yang tidak patut.

Si pencerita mengadu pada ibunya. Ia mendapatkan petuah agar bersabar. Demikian terucap sebab ternyata si pencerita juga berasal dari keluarga poligami; ibunya adalah istri pertama.

Si pencerita mengadu kepada ibu mertuanya dengan maksud agar turut campur tangan menasihati. Celakanya, ia justru membenarkan tindakan anak lelakinya. Menurutnya, sebagai menantu, seharusnya dia diam saja, sebab adalah kewajiban istri sebagai penutup aib suami. Jika perselingkuhan itu sampai terjadi dan tersebar, berarti itu adalah merupakan cermin kegagalan seorang istri semata.

Situasi di atas terus menekan pencerita selama dua tahun. Kesabaran sikapnya ternyata tidak bisa menyadarkan siapa-siapa. Ia melawan pada akhirnya; mempertanyakan dengan suara keras saat ia mengetahui suaminya meminjam uang puluhan juta tanpa persetujuannya. Si suami tidak terima digugat, ia memukul dan menendang, di hadapan anak mereka yang masih belia. Anak mereka meminta pertolongan tetangga. Ia pergi ke rumah sakit diantarkan tetangganya untuk divisum dan menandatangani berkas laporan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).

Cerita aslinya tidak sesingkat itu, tapi jauh lebih rumit. Saya saring agar cakupannya lebih luas dan tidak personal.

Sehari sebelum mendengar ini, saya membaca artikel tentang poligami di Afrika. Di sana dijabarkan bagaimana pelaku poligami menjadi salah satu menyumbang terbesar untuk angka kemiskinan. Hitung-hitungannya sederhana; setiap perempuan bersuami akan melahirkan anak. Dengan pendapatan kepala keluarga yang pas-pasan untuk keluarga kecil, ketika jumlah anggota membengkak maka kebutuhan harus dipangkas, salah satunya kebutuhan anak akan pendidikan. Tanpa pendidikan yang memadai, kemiskinan sulit ditaklukkan.

Baca juga: De-romantisasi Poligami

Saya kira, sebagai warga negara Indonesia yang masih masuk dalam tahap negara berkembang, pada kasus poligami kita patut bercermin pada Afrika, bukan negara Arab yang kaya. Sadar diri sajalah jika berangan, jangan ingin memeluk gunung dengan tangan. Di sini, media sosial masih penuh dengan pertanyaan mencari di mana servis mobil yang bagus dan murah. Di negara Arab, banyak mobil mewah ditinggalkan pemiliknya begitu saja di tepi jalan karena rusak, dan tidak ada seorang pun yang berniat memungutnya. Ini hanya pengibaratan. Jadi lucu rasanya jika kita ingin mengadopsi gaya Arab dalam hal menjadikan poligami sebagai gaya hidup, sementara kenyataannya kondisi kantong kita sendiri lebih dekat pada masyarakat Afrika pada umumnya.

Menilik sejarah, sebelum Islam hadir, poligami adalah hal yang telah terjadi di negara-negara Eropa,  Timur, juga Afrika dan Jepang. Namun mengapa Islam yang akhirnya identik dengan hal ini? Sebab Islam yang memiliki aturan jelas terkait hal ini, bahkan tercatat dalam kitab suci, hingga ia lebih abadi dibandingkan kebudayaan.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, poligami (berdasarkan budaya) mulai ditinggalkan, sebab telah tidak lagi berkesesuaian dengan konsep kesetaraan manusia. Sedangkan poligami berdasarkan agama, di mana nilainya telah ditetapkan sekaligus dicontohkan dalam teladan nabi dan orang-orang saleh, memiliki fokus yang nyata dalam upaya melindungi dan memenuhi hak kemanusiaan. Itu terlihat dalam riwayat-riwayat penceritaan di mana nabi dan orang-orang saleh memperistri janda-janda tua yang ditinggal mati suaminya berperang, misalnya. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah nilai-nilai itu bisa dipertahankan dalam kasus-kasus poligami masa kini?

Apa yang terjadi di Afrika dalam praktiknya, sebab aturan adil dan sejahtera (syarat yang telah diatur dalam Islam) tidak terpenuhi, bahkan justru menjadi sumber dari banyak kasus buruk. Maka disimpulkanlah bahwa poligami yang terjadi di sana adalah budaya yang menunggangi agama. Budaya poligami yang telah ada sejak dulu, yang kemudian seharusnya perlahan dihilangkan sebab tidak lagi relevan dengan zaman dan semangat kesetaraan, terus dipaksa dipertahankan dengan tameng agama.

Baca juga: Anak dalam Keluarga Poligami, Unsur yang Terlupakan

Dalam kasus pencerita sendiri, dengan suami yang awalnya mengaku ingin menolong seorang perempuan dengan cara menikahinya, akhirnya justru mengumbar nafsunya dengan membabi buta setelah izin poligami itu ditolak. Saya kira polanya sama dengan yang terjadi di Afrika dalam skala yang lebih sempit; yang terjadi di kasus ini adalah nafsu menunggangi agama.

Yang menyedihkan adalah ketika ibu meminta anaknya bersabar menerima hal demikian (bukan menjadi wanita satu-satunya di rumah tangga), sebab beliau juga telah menjalani, tanpa beliau menanyakan apakah anaknya berkenan menerima situasi ini atau tidak. Pun tidak juga ditimbang lebih jauh, apakah si anak memandang kejadian ini sebagai pembuktian cinta ikhlas pada suami atau justru sebagai rentetan pengkhianatan. Sebab dalam perkara seperti ini, sudut pandang sangat penting kiranya. Demikian adalah salah satu pemikiran tertutup; bahwa seorang anak berhak atau tidak berhak atas sesuatu dinilai berdasarkan dari lingkungan dia berasal. Ini tidak ada ubahnya seperti sistem kasta namun dalam benang lebih halus, yaitu justifikasi klan keluarga yang harus ditanggung turun temurun.

Hal tersebut saya kira bertentangan dengan hak asasi seseorang yang mutlak ia dapatkan begitu ia dilahirkan. Seorang anak dari keluarga miskin, misalnya, tidak memiliki kewajiban untuk meneruskan kemiskinan dari orang tuanya. Hanya karena orang tuanya sanggup hidup dalam kemiskinan, bukan berarti dia tidak berhak menuntaskan kemiskinan itu sendiri. Dia memiliki hak untuk menjadi kaya, bahkan orang tuanya berkewajiban untuk mendukungnya sesuai dengan kemampuan mereka, bukan lantas memengaruhi si anak untuk terus hidup dalam kemiskinan yang sama.

Sikap ibu mertua yang menuding bahwa semua kesalahan suami terletak pada perempuan, dan istri haruslah “membersihkan semua kesalahan suami”, tidaklah patut dan jauh dari rasa keadilan. Apakah beliau hanya menyuarakan apa yang telah beliau jalani selama bertahun-tahun sebagai seorang istri selama ini? Bisa jadi, sebab sudut pandang sering kali adalah cerminan kebiasaan hidup. Lagi-lagi budaya patriarki meminta korban; korban hati, korban perasaan, yang justru dilegalkan dan diterapkan oleh perempuan korban patriarki itu sendiri kepada perempuan lainnya.

Ketika kita telah terjebak dalam satu hubungan yang buruk, menjalani atau meninggalkannya adalah dua hal yang sama menyakitkan. Hanya saja jika memilih bersama, kesakitan itu belum tentu berhasil membawa kebahagiaan. Namun jika kita pergi, sudah pasti kelak ada kebahagiaan menanti jika luka telah pulih.

Anak berkembang jika ibu bahagia

Kesabaran kadang bisa menjadi jebakan pada akhirnya. Kebanyakan orang memilih diam untuk menghindari konflik atau rasa malu. Namun jika kebenaran tidak pernah boleh disuarakan dengan alasan menjaga nama baik keluarga, lambat laun maka kebenaran itu yang kelak akan menjadi kesalahan, sebab ia seolah garis putih yang mencoret deretan sistem hitam. Melulu mentoleransi kesalahan hanya akan menjadikan kesalahan kecil itu sebuah sistem yang kebal, yang kelak akan diwariskan turun temurun di keluarga.

Jika kita ingin melihat cerminan sistem birokrasi negara yang bobrok dalam skala kecil, kita bisa mencermatinya dalam kasus-kasus keluarga seperti ini; di mana ketika kesalahan sudah mendarah daging, maka tugas masing-masing anggota keluarga adalah bahu membahu melanggengkan dan menutupi kesalahan itu, bukan memperbaikinya.

Bagi saya sendiri, sulit rasanya memberi saran andai mereka belum berpisah. Beruntung, si pencerita sudah dalam proses pengesahannya hari ini. Setiap orang adalah yang paling berhak menentukan hidupnya, sebab itulah kita sebagai pendengar sebaiknya membatasi diri hanya dalam batas memberi pandangan, bukan memaksakan saran. Namun ada satu pelajaran yang pasti bisa kita petik dari semua ini; ketika kita telah terjebak dalam satu hubungan yang buruk, menjalani atau meninggalkannya adalah dua hal yang sama menyakitkan. Hanya saja jika memilih bersama, kesakitan itu belum tentu berhasil membawa kebahagiaan. Namun jika kita pergi, sudah pasti kelak ada kebahagiaan menanti jika luka telah pulih.

Hanya orang dewasa yang stabil yang bisa menolong seorang anak, kita telah belajar itu dari simulasi pertolongan ketika tekanan udara kabin berkurang di pesawat, di mana ibu atau ayah harus memasang masker oksigen untuknya terlebih dahulu sebelum menolong anaknya. Saya dan pencerita menyepakati bahwa tumbuh kembang anak akan sempurna jika ia dibesarkan oleh ibu yang bahagia, bukan oleh ibu yang penuh dengan kesedihan. Ia adalah contoh itu sendiri.

Ia sangat menghormati kegigihan ibunya dalam membesarkannya dalam lingkungan poligami, dan ia tidak henti mengatakan betapa ia mencintainya. Namun, ini sekaligus juga membuatnya menahan penderitaan terlalu lama di rumah tangganya, sebab ia terbiasa dengan potret seorang ibu yang menganggap biasa suatu kesedihan. Yang terlambat disadari adalah, bahwa tidak ada seorang pun yang wajib menerima kesedihan; semua orang berhak mengupayakan untuk mengusirnya.

Baca juga: KDRT Tinggalkan Trauma Panjang Bagi Penyintas

Keputusan yang luar biasa ketika ia mengatakan bahwa ia sanggup mendidik dan melindungi anaknya seorang diri. Saya tidak sangsi, banyak orang tua tunggal lainnya yang telah membuktikannya. Baik lelaki atau perempuan, bisa saja kehilangan kemampuannya sebagai orang tua karena dorongan negatif atau kendala yang lain, dan itu menuntut pasangannya untuk menjadi figur ibu sekaligus ayah. Orang-orang demikian adalah mereka yang pandai berfokus; harus tegas untuk hidup lebih baik.

Yang sering terjadi ketika anak terbengkalai adalah ketika orang tua tidak bisa memilah antara kebutuhannya akan pasangan dan kebutuhan anak terhadap kesehatan fisik dan psikis orang tua yang membesarkannya. Banyak yang berkeras bertahan dalam kondisi rumah tangga yang buruk  dengan dalih bahwa anak merekalah membutuhkan itu, padahal itu hanya tipuan dari ketidakmampuannya sendiri berpisah dari kekasihnya yang dia cintai. Yang harus ditimbang bahwa jika terus bersama, maka ia akan terus terganggu secara mental yang bisa menghabisi kemampuannya menjadi orang tua yang baik, bahkan dalam kasus di atas, anak menjadi saksi mata kasus KDRT.

Sering saya temui di masyarakat kita, anak menjadi sasaran kemarahan salah satu orang tua dalam rumah tangga yang bermasalah. Biasanya, ini adalah masalah pihak orang tua yang tidak punya kuasa. Ia ditekan pasangannya, dan tekanan itu ia teruskan pada anaknya. Seorang teman saya yang tidak menangis ketika ibunya meninggal, bercerita pada saya bahwa ia selalu dipukuli ibunya jika ibunya menemukan bahwa ayahnya menginap di rumah kekasihnya yang lain. Ia katakan, seandainya ibunya bercerai, tentu kakinya tidak akan penuh bekas luka yang membuatnya minder hingga dewasa. Ia lebih senang andai ibunya mencintai banyak pria namun membesarkannya dengan bahagia, daripada terlalu mencintai ayahnya hingga kehilangan akal sehat.

Satu hal yang lucu di akhir cerita, ia katakan bahwa petugas konseling di pengadilan yang menangani kasusnya, yang seharusnya menganjurkan para pasangan yang ingin bercerai agar rujuk saja, justru berbisik, "Aku sangat mendukungmu untuk bercerai. Jangan sampai kau rujuk."

Saya tidak tahu apakah menyetujui seseorang untuk berpisah itu bisa menjadikan seseorang menjadi terlaknat atau tidak. Yang jelas saya merasa bangga mendengar kata petugas konseling itu; setidaknya di antara tugas dan kemanusiaan, seseorang telah menegaskan bahwa dirinya memilih berdiri untuk kemanusiaan.

Pratiwi Juliani lahir di Kalimantan Selatan, memiliki taman baca gratis yang bergerak dalam misi mengenalkan dan meningkatkan minat baca untuk anak dan perempuan di desa-desa terpencil di provinsi tersebut. Telah menerbitkan dua buku “Atraksi Lumba-lumba dan Cerita Lainnya” (KPG) dan “Dear Jane” (KPG). “Dear Jane” menjadi satu-satunya naskah novel yang lolos kurasi Ubud Writers and Readers Festival 2018.