Lebih dari 63 juta penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori Milenial. Dengan jumlah tersebut serta fakta bahwa mereka menempati 45 persen dari total jumlah pemilih untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa mereka mempunyai pengaruh besar di dalam ranah politik Indonesia ke depannya. Hal ini memperlihatkan bahwa memenangkan hati dan kepercayaan mereka harus menjadi salah satu prioritas penting bagi politikus di zaman ini.
Namun, apakah para politikus Indonesia benar-benar telah menggunakan pendekatan yang tepat untuk merebut hati generasi yang dinilai sangat kritis ini?
Menurut Tsamara Amany Alatas, calon anggota legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), apa yang masyarakat Indonesia bayangkan ketika mendengar kata “Milenial” saja hanya merepresentasikan sebagian kecil dari generasi ini. Baginya, usaha yang dilakukan oleh politikus dalam mendekati Milenial hanya berdasarkan asumsi mereka sendiri yang sebenarnya sudah salah kaprah.
“Sudah saatnya kita (para politikus) berhenti berusaha untuk mengajari dan menceramahi generasi Milenial, dan mulai untuk terus mendengarkan mereka. Dengarkan apa yang mereka inginkan, yang mereka harapkan dan isu apa yang menarik perhatiannya.” ujar Tsamara, 23, dalam diskusi From Vlogs to Votes yang diselenggarakan oleh Kedutaan Australia di Jakarta bersama dengan IDN Times hari Selasa (28/1).
Tsamara mengatakan, yang harus dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Milenial adalah untuk mengerti isu-isu yang sebenarnya penting untuk mereka.
“Mereka ini bukannya apatis dengan politik. Mereka justru sangat tertarik dengan isu tertentu. Namun mereka jenuh karena tidak pernah menemukan apa yang mereka cari di setiap kampanye repetitif yang dilakukan para politikus,” ujarnya.
Menurut Tsamara, kelelahan Milenial dalam menanggapi isu-isu politik yang terkesan membosankan inilah yang berujung kepada meningkatnya jumlah pemilih yang golput atau tidak memilih dalam Pemilu.
Peneliti dari Australian National University, Ross Tapsell mengatakan, apa yang pemerintah dan media arus utama pahami tentang generasi Milenial saja sudah sangat keliru.
“Apa yang kita ketahui tentang Milenial adalah mereka terobsesi dengan Instagram, belanja online, nongkrong di kafe, travelling ke luar negeri, selfie sana sini. Tetapi sebenarnya itu adalah suatu miskonsepsi yang ditimbulkan dari citra Milenial perkotaan di media sosial,” ujarnya.
Menurutnya, citra generasi Milenial saat ini sudah terlalu identik dengan (dan terbatas pada) Milenial perkotaan atau warganet kota-kota besar seperti Jakarta yang sudah terpapar teknologi canggih serta akses internet yang memadai.
“Milenial yang ada di media sosial tidak mampu merepresentasikan seluruh generasi Milenial Indonesia,” ujar Tapsell. “Nyatanya ada jutaan Milenial daerah rural dan semi-rural yang baru dapat mengakses internet. Itu pun hanya untuk menggunakan WhatsApp dan aplikasi chat lain supaya bisa selalu terkoneksi dengan keluarga atau teman-temannya.” sambungnya.
Menurut data survei IDNTimes, intensitas Milenial mengikuti berita politik masuk ke dalam kategori cukup rendah, yakni 23,4 persen, dibandingkan dengan ketertarikan terhadap berita-berita ringan yang berkutat seputar topik gaya hidup, film, dan teknologi. Survei ini berlangsung pada 20 Agustus 2018 sampai 6 September 2018 terhadap 1.400 responden di 12 kota besar Indonesia.
Survei tersebut juga menunjukkan, ada beberapa isu yang dikhawatirkan Milenial karena ketidakpuasan yang mereka rasakan terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Isu-isu tersebut adalah kondisi ekonomi (59,5 persen), kesejahteraan tenaga kerja (58,6 persen), kemudahan lapangan kerja (49,1 persen), pengentasan kemiskinan (49,7 persen), hingga stabilitas harga kebutuhan pokok (46,4 persen).
Bagi Tsamara, mendengarkan Milenial, berbicara dengan bahasa yang mereka mengerti, serta memberikan jalan keluar pada isu-isu yang mereka khawatirkan adalah kunci utama dalam menyentuh hati mereka.
“Mulailah untuk merangkul mereka dengan berdiskusi tentang isu-isu sosial yang sedang menjadi kekhawatiran terbesar mereka. Bisa dimulai dengan membahas lowongan pekerjaan atau bahkan isu yang lebih spesifik seperti isu pelecehan seksual,” ujarnya.
Riset menunjukkan terdakwa hukuman mati di Indonesia belum mendapat proses peradilan yang adil.
Comments