“Lulu”, pramugari sebuah maskapai penerbangan di Timur Tengah, diharuskan mengambil cuti tanpa bayaran setelah perusahaan menghentikan semua penerbangan sampai waktu yang belum ditentukan akibat pandemi virus corona (COVID-19). Fasilitas yang biasa diterimanya, seperti asuransi kesehatan, pun dibekukan.
“Mau enggak mau saya harus menerima kondisi ini karena maskapai pun rugi secara finansial. Asuransi kesehatan tidak dapat diakses karena selama masa unpaid leave, kami bukanlah active crew,” ujar perempuan berusia 30an itu kepada Magdalene.
“Unpaid leave sejauh ini diterapkan sampai 31 Mei, tetapi sepertinya ada kemungkinan diperpanjang kalau kondisi memburuk dan lockdown diperpanjang,” tambahnya.
Sementara itu, “Anika”, yang bekerja di maskapai penerbangan lain di Timur Tengah, diberi opsi tetap menerima gaji tetapi dikurangi 25 persen jika tetap tinggal di negara setempat, atau mengambil cuti tanpa gaji. Dia memilih unpaid leave selama sebulan.
Tak hanya perusahaan penerbangan Timur Tengah yang menerapkan kebijakan tersebut. “Alexandra”, 31, mengatakan bahwa maskapai Australia tempatnya bekerja menghadapi masalah yang sama.
“Pandemi COVID-19 sangat berdampak karena kami lebih banyak mengoperasikan rute internasional. Apalagi Australia sudah mulai lockdown. Pilot dan awak kabin disarankan untuk mengambil unpaid leave,” kata Alexandra.
Kendati demikian, dia masih mendapatkan gaji setidaknya hingga bulan April.
“Di jadwalku saat ini tertulis ‘suspended leave’ sampai bulan April dan Mei. Kami masih mendapatkan gaji bulan April dan asuransi, tetapi kalau (situasi ini) berkepanjangan, ada kemungkinan gaji kami akan dipotong atau dihapus,” tuturnya.
Pada 24 Maret lalu, Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) menerbitkan analisisnya mengenai dampak pandemi corona terhadap penerbangan global. Organisasi ini memperkirakan, jika penghentian atau pembatasan penerbangan terus diberlakukan, industri ini dapat mengalami penurunan pendapatan sebesar US$252 miliar, atau turun 44 persen dibandingkan tahun lalu.
Di Indonesia, banyak maskapai menghentikan penerbangan akibat pandemi ini. Awal Februari lalu, Kementerian Perhubungan menginstruksikan larangan penerbangan dari dan menuju Cina. Maskapai Indonesia juga terimbas kebijakan lockdown yang dilakukan pemerintah Malaysia (18-31 Maret) dan perintah penutupan bandara yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua (26 Maret-9 April) .
Baca juga: 5 Pekerjaan Paling Rentan Selama Krisis Corona
Pandemi COVID-19 berdampak besar bagi Garuda Indonesia. Seperti dilaporkan Beritasatu.com pada 25 Maret, Direktur Utama Garuda, Irfan Setiaputra mengatakan, ada penurunan jumlah penumpang maskapainya sebesar 30 persen untuk rute domestik, dan 40 persen untuk rute internasional.
Sementara itu, Humas Garuda Indonesia Dicky Irchamsyah saat dihubungi via Whatsapp mengatakan, tidak ada kebijakan yang mengharuskan pilot dan awak kabin untuk mengambil cuti tanpa bayaran.
Jacqueline Tuwanakotta, pramugari senior sekaligus Sekretaris Jenderal Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI), membenarkan hal itu. Namun, dia mengatakan bahwa perusahaannya tidak memperpanjang kontrak awak kabin yang telah berakhir.
“Ada awak kabin yang kontraknya habis dan tidak diperpanjang. Mau tidak mau perusahaan harus mengambil langkah itu. Kalau dalam kondisi normal, biasanya ada pertimbangan untuk memperpanjang kontrak jika mereka memenuhi persyaratan,” kata Jacqueline kepada Magdalene melalui telepon.
Lion Group, yang membawahi Lion Air, Wings Air, dan Batik Air, juga terdampak larangan terbang dari dan ke Cina, lockdown di Malaysia, dan penutupan bandara di Papua. Selain itu, akibat larangan umrah yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi, maskapai ini menghentikan sementara semua layanan penerbangan umrah.
Ketika ditanya mengenai rencana untuk merumahkan awak kabin dan pilot, Corporate Communication Strategic Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro mengatakan, perusahaannya masih memantau perkembangan.
“Terkait kebijakan strategis internal menghadapi situasi dan kondisi saat ini masih dibahas oleh manajemen internal. Sampai saat ini operasional masih berjalan normal,” katanya melalui Whatsapp.
Kesejahteraan rendah
Ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 membuat pramugari berpotensi kehilangan penghasilan. Selain itu, interaksi dengan penumpang dari berbagai wilayah menyebabkan mereka berisiko terinfeksi virus corona. Hal ini menambah kerentanan yang dialami awak kabin perempuan.
Lulu mengatakan, di tempatnya ada ketimpangan pendapatan antara awak kabin laki-laki dan perempuan, dengan pramugara mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Dia juga mengeluhkan kebijakan pengecekan berat badan yang lebih ketat untuk para pramugari.
Ada ketimpangan pendapatan antara awak kabin laki-laki dan perempuan, dan pramugari menghadapi kebijakan pengecekan berat badan serta aturan merokok yang lebih ketat.
“Saya melihat ada banyak pramugara senior laki-laki yang overweight. Namun, kalau pramugari mengalami overweight, maka dia akan diminta untuk menimbang berat badan secara rutin setiap bulan,” ujarnya.
“Sering kali nomor staf pramugari yang kelebihan berat badan diumumkan secara terbuka sehingga sesama kolega mengetahuinya. Menurut saya, hal itu adalah public humiliation dan tidak pantas,” Lulu menambahkan.
Nia, 23, mengatakan kesejahteraan awak kabin di maskapai di Indonesia lebih rendah dibandingkan misalnya di sebuah maskapai Timur Tengah, tempat ia pernah bekerja selama setahun.
“Di maskapai Timur Tengah ini, ketika status masih training pun saya mendapatkan gaji pokok. Di sebuah maskapai Indonesia, saya baru dapat gaji ketika sudah selesai training, itu pun besarannya di bawah UMR (upah minimum regional),” kata Nia, yang sekarang sedang tidak bekerja.
Selain itu, tambahnya, pihak perusahaan biasanya menahan ijazah karyawannya. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah bahwa masa kontrak yang ditetapkan maskapai menyalahi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang membatasi masa kontrak selama dua tahun.
“Ijazah SMK saya ditahan. Di maskapai ini, saya dikontrak selama empat tahun,” ujarnya.
Jika mengundurkan diri sebelum masa kontrak habis, awak kabin diminta membayar penalti. Pada 2018, Nia memerlukan ijazah untuk melamar kerja di sebuah maskapai Timur Tengah dan diharuskan membayar denda untuk menebus ijazahnya.
Di maskapai Australia tempat Alexandra bekerja, kebijakan membayar penalti bagi mereka yang mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir juga diterapkan. Namun denda ini jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan penalti di sebuah maskapai Indonesia.
“Ketika saya bekerja di sebuah maskapai Indonesia, denda bagi mereka yang resign dua kali lipat lebih besar dari maskapai Australia tempat saya bekerja sekarang,” ujarnya.
Rentan eksploitasi
Situasi kerja yang buruk juga dapat menguras fisik awak kabin. Jacqueline dari IKAGI mengungkapkan bahwa pada tahun lalu, ada peraturan yang tidak wajar, yaitu kebijakan menjalani penerbangan pulang pergi untuk beberapa rute jarak jauh, salah satunya Australia. Akibatnya, para awak kabin mengalami kelelahan.
“Jadwal yang semula tiga hingga empat hari di negara tujuan diubah menjadi pulang pergi. Kan enggak wajar apabila take off dari Jakarta jam 11 malam dan sampai di Sydney jam 7 pagi, lalu harus balik lagi ke Jakarta. Sementara perbedaan waktunya bisa 3-4 jam,” ujarnya.
Baca juga: Rentan di Berbagai Sisi: Nasib Perempuan di Tengah Pandemi
“Pernah ada beberapa pramugari yang diopname karena menjalani jadwal terbang seperti itu. Itulah yang kami kritisi dan masalah itu telah selesai setelah kami mengadu ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Perhubungan,” ujarnya.
Pembayaran gaji ketika cuti hamil dan melahirkan juga masih menjadi masalah.
“Ketika diketahui hamil, pramugari harus stop terbang. Totalnya bisa sampai 13 bulan. Artinya, sampai melahirkan, dia tidak mendapatkan gaji pokok. Dia akan kembali digaji setelah melahirkan untuk jangka waktu tiga bulan. Hal itulah yang sampai sekarang masih terus kami diskusikan di serikat pekerja,” katanya.
Selain aktif di IKAGI, Jacqueline juga menjabat sebagai Ketua Ketua Divisi Penerbangan Sipil Asia Pasifik Federasi Pekerja Transportasi Internasional (ITF). Divisinya pernah membuat penelitian mengenai kondisi pramugari di seluruh dunia dan menemukan adanya pelanggaran privasi yang dilakukan sebuah maskapai di kawasan Teluk.
“Saya punya teman pramugari di sebuah maskapai yang berbasis di kawasan Teluk. Ketika berencana menikah, dia harus meminta izin CEO-nya. Artinya, CEO-nya terlalu mengintervensi privasi pekerjanya,” ujarnya.
“Di apartemen mereka juga dipasang CCTV agar bisa dicek siapa saja yang datang. Kan enggak bener kalau perusahaan sudah mulai mengawasi pekerjanya seperti ini.”
Serikat pekerja dan perbaikan kondisi kerja
Anika dan Lulu mengakui adanya larangan di maskapainya untuk membentuk serikat pekerja. Sebaliknya, meskipun tidak ada larangan, Alexandra mengatakan bahwa tidak ada serikat pekerja di perusahaannya. Namun, dia menuturkan, perusahaannya mempunyai mekanisme penyampaian keluhan.
“Sejauh ini (jika ada keluhan) kami langsung menyampaikannya ke manajer. Manajer kami sangat suportif. Nanti mereka yang akan mengusahakan (penyampaiannya ke manajemen),” ujarnya.
Di Indonesia, sangat jarang maskapai yang memiliki serikat pekerja. Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, ada ketakutan di kalangan pekerja maskapai untuk membentuk organisasi profesi.
“Tidak hanya awak kabin saja yang banyak tak memiliki serikat pekerja. Asosiasi Pilot yang solid pun hanya ada di Garuda Indonesia,” ujarnya.
Penelitian mengenai kondisi pramugari di seluruh dunia dan menemukan adanya pelanggaran privasi yang dilakukan sebuah maskapai di kawasan Teluk.
“Undang-Undang Dasar dan UU lain menjamin kebebasan orang untuk berserikat. Namun, karena posisi tawar yang tidak berimbang, pekerja justru takut untuk membentuk serikat profesi. Ada para pilot yang pernah mencoba, setahu saya di Lion Air, tetapi kemudian mereka berkonflik dengan perusahaan dan akhirnya kehilangan pekerjaan,” kata Alvin.
Ia menambahkan, apabila awak kabin menemukan klausul kontrak kerja yang merugikan, mereka bisa melaporkannya secara kolektif ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Namun Alvin mengingatkan, meskipun laporan tersebut diproses, mengacu kepada kasus para pilot Lion Air, tidak mudah bagi para pekerja maskapai untuk mendapatkan penyelesaian terkait masalah tersebut.
Ketiadaan serikat pekerja di banyak perusahaan mendorong Jacqueline dan para awak kabin lintas maskapai untuk merancang pembentukan Ikatan Awak Kabin Indonesia.
“Kami sedang dalam proses pembentukan. Anggotanya adalah para pramugari dan pramugara yang bekerja di dalam dan luar negeri,” katanya.
Selama ini keberadaan IKAGI sangat bermanfaat bagi awak kabin Garuda Indonesia, ujar Jacqueline. Organisasinya hampir setiap bulan mengadakan pertemuan dengan manajemen dan direksi untuk membahas banyak masalah, salah satunya struktur penggajian awak kabin yang menurutnya perlu ditinjau kembali.
“Memang benar bahwa selain mendapatkan gaji, awak kabin mendapatkan tunjangan tetap atau uang terbang selama 60 jam setiap bulan. Namun garansi uang terbang itu bukanlah jaminan untuk masa tua,” ujarnya.
“Kalau gaji itu kan jaminan untuk masa tua. Bagi kami ini adalah hal yang sangat vital yang harus dibicarakan dengan pihak perusahaan. Tapi enggak sekarang ya karena kondisinya sedang seperti ini,” katanya.
Sementara itu, Lulu menginginkan adanya penerapan aturan yang adil di maskapainya terhadap semua orang tanpa memandang gender. Maskapai penerbangan memiliki aturan untuk menjaga citra, namun ia melihat hal itu hanya diberlakukan secara ketat untuk pramugari.
“Misalnya, ada larangan merokok bagi awak kabin meskipun mereka telah berada di bandara atau selesai tugas. Untuk pramugara, aturan ini agak longgar dan cenderung dimaafkan kalau melanggar. Tapi Kalau pramugari, langsung dapat surat peringatan atau hukuman,” katanya.
Ia juga menginginkan sistem rewards dan punishment yang jelas.
“Jika kru bekerja dengan baik, maka harus diapresiasi karena seseorang bekerja bukan hanya karena gaji, tapi karena merasa dihargai dan dipedulikan”, ujarnya.
Comments