Malam saat dia meregang nyawa, Fitri menggunakan jilbab putih. Bersih seperti rupa jiwa yang dia harapkan di hari raya setelah tuntas berpuasa. Dia ini muslimah yang salatnya tidak putus kecuali berhalangan. Kadang-kadang ditunaikan pula salat sunnahnya, cukup untuk membuatnya berdoa supaya tidak jumawa. Jilbabnya dilipat modis tetapi menutupi aurat, sesuai syariah sekaligus enak dipandang mata.
Hanya saja ada noda di karakternya yang dengan jujur dia acap kali akui: jika bicara, dia sering menyakiti hati. Namun buatnya, noda ini tak begitu berarti jika dibandingkan dosa yang dilakukan titisan kaum Sodom dan Gomorah itu; mereka tak termaafkan! Dia tahu kalau murka Tuhan akan datang menimpa pendosa-pendosa itu sebelum kematian mereka. Namun Fitri tidak mengira bahwa ajal akan menjemputnya lebih dahulu.
Horor dalam hidupnya yang Islami dimulai dari sebuah reuni. Auditorium sekolah tempat acara itu diadakan tidak banyak berubah tetapi hasrat orang untuk diperhatikan dan disukai agaknya tetap sama. Sudah tujuh tahun sejak dia dan teman seangkatannya di SMP 75 lulus. Sadar atau tidak, kebanyakan dari mereka menggunakan momen ini untuk ajang pamer pencapaian karier, pendidikan atau percintaan. Karena itu Fitri membawa suaminya yang religius, Abu. Nampak janggut laki-laki bertubuh semampai itu disisir rapi dan harum parfumnya semerbak di udara. Suaminya hobi memakai parfum mahal; ini sangat Fitri syukuri bukan saja menggunakan wewangian adalah sunah tetapi juga karena dia tidak tahan mencium kecut keringat laki-laki yang sering dia jumpai di angkutan umum. Jijik!
Fitri dan Abu bertemu di pengajian berkat jasa dua orang guru mengaji. Kepada Fitri, guru perempuan paruh baya dengan keriput meliputi senyum ramahnya itu menunjukkan foto Abu yang mempertontonkan janggut dan jambang yang proporsional, gigi putih dan tubuh yang ramping, alim dan tampan. Kemudian si guru menyampaikan bahwa laki-laki ini juga tertarik padanya; dia gembira bukan main!
Ketika mereka bertatap muka, bersama si guru mengaji perempuan dan seorang guru laki-laki sebagai perantara sekaligus penjaga, Abu menuturkan bahwa dia berasal dari keluarga pengusaha kecil keturunan Arab di daerah Surabaya. Tak lama setelah dia lulus dari universitas negeri, kedua orang tuanya meninggal. Sejak itu dia bekerja sebagai jurnalis di koran berbahasa Inggris di Jakarta dan meninggalkan usaha orangt ua untuk dilanjutkan adik-adiknya. Gajinya, menurut Fitri, sudah cukup untuk membiayai anak-anak mereka kelak!
Abu memiliki segala ciri-ciri suami muslim yang baik dan Fitri percaya bahwa dia telah menemukan lelaki impiannya. Tanpa ditunda-tunda lagi, dia mengabari orangtuanya dan memutuskan untuk menikah muda. Di acara reuni sekolah itu, pasangan yang kini sudah menikah itu tak segan saling menggenggam tangan. Fitri ingin menginspirasi teman-temannya agar segera menikah meskipun masih muda.
Di sisi lain auditorium, ada sepasang kekasih yang juga menarik perhatian orang yang hadir. Belum menikah, namun kisahnya bak dongeng Cinderella. Perempuan itu dulu si Upik Abu yang sekarang berubah menjadi Aphrodite dengan cardigan warna toska dan tank-top ketat. Tangannya digandeng oleh Adonis dengan torso terpahat indah dibalut kemeja eksklusif. Dulu, semua orang menghindari perempuan itu karena dia dikenal sebagai pemain basket lesbian dengan gaya kelaki-lakian. Tetapi kini semua orang terpesona dengan gadis berambut panjang bergelombang itu. Fitri tahu siapa dia. Sebenarnya mereka dulu teman dekat.
“Fitri!” panggil sang dewi. “Rika!” dia membalas. Belahan dadanya diumbar ke mana-mana dan wajah eksotisnya mengunci tatapan banyak laki-laki. Untung saja, ini tidak terjadi pada suaminya. Abu menundukkan pandangannya saat si perempuan setengah telanjang itu mendekat.
Rika memulai kereta obrolan yang tidak dinikmati Fitri. Dia tahu bahwa perempuan ini punya satu pertanyaan di kepalanya yang mengendap selama tujuh tahun. Benar saja.
Pertanyaan itu muncul dari mulut Rika, “Kamu ya dulu yang memulai gosip kalau aku lesbian?”
Fitri tidak segera menanggapi. Memang dia pelakunya. Dia membaca di sebuah majalah Islam bahwa penyakit ini menular. Orang-orang perlu diperingatkan!
“Dulu aku mungkin kelihatan seperti laki-laki dan enggak punya pacar laki-laki,” dia melanjutkan, “Tapi aku bukan lesbian.”
Fitri merasa bersalah, tapi melihat gaya berpakaian mantan sahabatnya ini, dia tidak nampak lebih sedikit dosanya dibandingkan seorang lesbian. Fitri tetap saja harus mengucap maaf, seorang muslim yang taat mesti melakukannya. “Maaf sekali ya, Rika. Jadi kamu bukan lesbian?”
Dia menggeleng.
“Aku pikir orang-orang harus tahu kalau kamu punya, maaf, penyakit. Supaya berhati-hati. Ternyata aku salah, aku mohon maaf.”
Kemudian hanya keriuhan orang-orang di sekitar saja yang terdengar. Entah bagaimana belahan dada Rika menginspirasi Fitri untuk berbicara.
“Kenapa kamu enggak mulai berhijab?” kata Fitri dengan suara yang dia anggap sekedar berbisik. “Jangan samakan diri kamu dengan pelacur. Jaga kecantikanmu untuk suamimu nanti.”
Fitri melirik ke laki-laki kekar yang berdiri di samping Rika, tetapi laki-laki yang tadinya sedang berbicara dengan Abu itu sekarang melempar tatapan tidak suka padanya. Rika meneguk sirup anggur dari gelas di tangannya.
“Aku sudah memaafkan kamu.”
Di mobil, Abu mengungkapkan ketidaksetujuan atas ucapan Fitri.
“Aku dengar percakapan kalian. Membandingkan dia dengan pelacur itu kasar, Fit.”
Fitri menatap suaminya, terbakar rasa cemburu. “Kamu diam-diam suka dia?”
“Tidak! Aku hanya mau kamu berbicara santun supaya sesuai dengan jilbabmu itu.”
“Bagus. Kalau kau sampai selingkuh, aku akan melaknatmu. Allah akan melaknatmu.”
Wajah suaminya memerah tetapi Fitri tahu kalau dia akan meredam amarahnya. Kesabaran suaminya lah yang membuat pernikahan ini bertahan. Fitri tahu dia sudah kelewat batas, hanya saja dia percaya bahwa ini saat penting untuk menunjukkan sikap tegasnya soal perselingkuhan.
Tidak lama setelah reuni itu, Fitri mengetahui bahwa suaminya mengundang pacar Rika ke apartemen mereka. Abu bilang namanya Bayu. Fitri tampak tak acuh karena dia tersinggung tidak dimintai izin. Abu mengatakan bahwa Bayu adalah orang yang tepat untuk membantunya membuat sebuah majalah daring Islami, mimpinya yang sudah diketahui Fitri sejak dulu.
Bayu adalah seorang staf teknologi informasi di sebuah biro iklan; Abu adalah seorang jurnalis yang fasih berbahasa Arab dan Inggris. Dia yakin mereka bisa bekerja sama membuat laman tersebut. Dia juga berpikir Fitri seharusnya bisa ikut serta dengan menuliskan catatan-catatan hasil mengikuti berbagai ceramah. Fitri tidak tertarik untuk bertemu Bayu, apalagi bekerja sama dengan orang yang kelihatannya terlalu mencintai hal-hal duniawi itu. Maka, malam saat Bayu datang, dia memutuskan untuk pergi dan mengunjungi rumah orangtuanya.
Bayu datang sekitar jam enam, memakai baju ketat yang mempertontonkan bukit-bukit ototnya. Pastilah itu hasil dari waktu yang diluangkan untuk berolahraga di gym; sebuah kemewahan yang tidak dimiliki Abu karena dia secara rutin berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain untuk meliput berita dalam negeri.
Bayu ternyata suka berbicara panjang lebar, berbeda dengan persona pertama yang dia tampilkan di reuni, dan seperti yang Abu harapkan, pengetahuannya sangat berguna untuk memulai laman yang dia mimpikan. Diskusi mereka di depan laptop sangat produktif, menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan mereka merencanakan pertemuan selanjutnya.
Sebagai sebuah wujud sopan santun, Abu meminta maaf atas perilaku istrinya di reuni.
“Aku mohon maaf karena istriku sudah berbuat kasar ke pacarmu.”
“Rika sudah memaafkan. Oh, dan aku cuma temannya, bukan pacarnya.”
“Kamu bukan pacarnya?” Abu terkejut.
“Bukan. Dia nggak tertarik laki-laki.”
“Jadi dia memang lesbian?”
“Dia punya hasrat meskipun dia enggak pernah berhubungan dengan perempuan. Ya, terima kasih, deh, buat istrimu.”
Bayu menjelaskan bahwa satu-satunya tujuan Rika datang ke acara itu adalah untuk mengkonfrontasi Fitri dan memaafkannya. Bagi Rika, dia perlu berdamai dengan masa lalu, melupakan semua amarah yang dia pendam. Dan Rika meminta Bayu mengantar ke acara reuni itu demi mencegah pertanyaan siapa pacarnya sekarang.
“Dia mau menyampaikan kalau dia bukan lesbian,” kata Bayu. “Ya. Bukan karena dia tidak memiliki hasrat tetapi karena dia berhasil menahan diri dari godaan dan tidak ‘menjadi’ lesbian.”
Tanpa diminta oleh Abu, Bayu bercerita apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Abu tidak menolak karena dia pun sebenarnya ingin tahu.
Dulu Rika adalah gadis yang periang dan atletis. Dia selalu dikelilingi teman. Berbeda dengan Fitri yang religius tetapi tidak mau membaur dengan gadis-gadis lain. Fitri mulai dekat dengan Rika karena kemiripan pandangan soal tidak berpacaran di sekolah. Rika tidak berpacaran karena memang aslinya dia tidak tertarik laki-laki, tetapi Fitri melakukannya karena menurut dia pacaran dilarang agama. Hanya Rika yang mau mendengarkan celotehan Fitri soal bahaya berpacaran. Gadis-gadis lain menganggap Fitri aneh dan mengganggu. Akhirnya karena kasihan Fitri selalu duduk sendiri, Rika memutuskan untuk duduk di bangku yang sama dengannya.
Suatu hari di jam istirahat, Rika pindah ke meja lain untuk bersenda gurau dengan beberapa teman laki-lakinya. Mereka tertawa keras sekali. Entah bagaimana, Fitri tiba-tiba melempar buku yang sedang dia baca ke arah kerumunan itu sampai mendarat di tengah meja di depan Rika dengan suara keras. Dia menghardik, “Perempuan normal harus mengecilkan suaranya. Kecilkan suara kamu!” Ironisnya, Fitri justru bicara dengan suara keras.
Rika yang merasa tersinggung membalasnya, “Aku lebih baik lahir jadi laki-laki daripada harus mengecilkan suaraku!”
“Oh! Pantas saja. Aku sudah curiga dari dulu.”
Rika tidak melanjutkan perdebatan ini dan dia pindah ke meja lain karena tidak suka diperlakukan seperti itu, apalagi oleh orang yang dia anggap teman. Disangkanya perseteruan ini akan berlalu dengan sendirinya. Namun, hubungannya dan Fitri tidak kunjung membaik. Justru di hari-hari berikutnya, Rika merasa teman-temannya menjauh. Termasuk teman sebangku barunya yang memutuskan untuk pindah dan duduk bersama Fitri. Cukup lama Rika bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi sampai akhirnya orangtuanya lah yang berbicara. Mereka memarahi Rika agar berperilaku seperti perempuan dan memaksa Rika keluar dari tim basket.
Ibunya mengatakan, “Ibu enggak akan pernah bisa menerima kamu kalau kamu jadi lesbian.”
“Aku marah sekali waktu dia menceritakan kisahnya itu,” ujar Bayu. “Kalau saja Rika tidak menyuruhku menghindari masalah di acara reuni itu, aku pasti sudah melabrak istrimu.”
Abu ada keinginan untuk membela istrinya tapi kemudian dia ingat istrinya itu memang membuat kesalahan. Bayu melanjutkan, Rika dan dia masuk ke jurusan yang sama di universitas. Di sana mereka berbagi pengalaman dan di ruang kelas mereka menemukan jalan-jalan baru dalam menyelidiki permasalahan sosial. Teori-teori membuka mata mereka untuk melihat bagaimana masyarakat menciptakan mitos-mitos dan menyingkirkan mereka yang mengancam keberlangsungan mitos ini; mereka yang dianggap berbeda.
“Rika bisa menerima bahwa hasrat yang dia miliki adalah alami bukan penyimpangan seperti yang dia pikir sebelumnya. Di sisi lain dia memutuskan untuk tidak mengikuti hasratnya ini dan bermimpi akan hidup selibat karena baginya pilihan itulah yang sesuai dengan ajaran Islam,” jelas Bayu.
“Aku pikir sikap yang dia ambil dilematis. Jika dia mau berkompromi soal berhubungan dengan perempuan karena tidak sesuai ajaran agama, bagaimana dengan tuntutan-tuntutan lain seperti menggunakan kerudung? Apa dia mau berkompromi juga? Dia bilang dia sudah tahu soal itu dan orang lain tidak perlu ikut campur dengan pilihan-pilihan pribadinya. Meskipun kita banyak tidak setuju tetapi dia berhak punya pendapat sendiri. Pada akhirnya, kami belajar saling menghargai bagaimana kami menghadapi permasalahan ini dengan cara yang berbeda,” tambah Bayu.
“Kamu ikut menghadapi masalah ini juga?”
“Aku gay.”
Kelopak mata Abu bergerak gugup. Bayu tahu apa yang dia sembunyikan. “Apa kamu juga?”
Abu nampak tak nyaman.
“Parfum yang kamu pakai di reuni itu DKNY Apple. Itu seharusnya untuk perempuan tetapi teman-temanku yang gay juga suka harumnya. Selain itu, aku melihat kamu berkali-kali memperhatikan dadaku.”
“Menyukai sesama jenis itu penyakit,” jawab Abu. Dia berdiri dari sofa tempat dia duduk, menghindari Bayu.
“Bukan,” Bayu menggeleng, “Itu bukan penyakit, Abu. Kalau kamu luangkan waktu untuk membaca kajian-kajian ilmiah dari lembaga-lembaga internasional, termasuk WHO, kamu akan tahu mereka tidak lagi menganggapnya sebagai penyakit. Aku yakin kamu sudah mencoba mengubah orientasi seksual kamu. Apa berhasil?”
Abu tampak resah, lengannya berpindah-pindah.
“Rika juga sempat menghabiskan waktu dengan ruqyah, mendatangi ulama dan bahkan psikolog, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Orientasi seksual itu bukan untuk disembuhkan! Kita percaya kalau gay adalah penyakit karena kita sudah diindoktrinasi sejak kecil. Kita tidak diberikan kesempatan untuk membaca penelitian-penelitian ilmiah.
"Kita selama ini percaya takhayul yang dipaksakan oleh masyarakat yang malas untuk mencari tahu kebenaran. Istrimu itu salah satu dari mereka. Kepercayaan dia terhadap takhayul itu sudah menyengsarakan hidup orang lain. Rika misalnya. Padahal Rika sudah berbuat baik pada Fitri tetapi perbuatan-perbuatan baik itu tidak diacuhkan hanya karena Rika berbeda dengan yang lain. Kita berdua juga korban dari Fitri-Fitri lain yang begitu banyak di lingkungan kita, Abu,” Bayu menarik nafas dan melihat raut wajah Abu yang sulit ditafsirkan, mungkin dia marah atau, justru, bingung,
“Maaf. Kita baru saling kenal. Aku malah bicara panjang lebar begini...”
“Aku sudah menikah dengan Fitri. Itu keputusanku.”
Bayu mengangguk mengerti. “Baik... tetapi bisnis kita tetap jalan, kan?”
Abu menjawab singkat, “Ya, tentu saja.”
Sesuai perjanjian yang mereka sepakati, mereka kemudian bertemu di sebuah kafe di dekat kantor Abu. Di hari lain di sebuah mall di depan kantor Bayu, di kesempatan berikutnya di gym yang sering dikunjungi Bayu dan Abu ikut masuk ke dalam gym untuk mencoba tempat sauna bersama Bayu. Mereka duduk berdekatan, bahu yang berkeringat bersentuhan. Abu menatap laki-laki tampan di depannya dan ia membalas dengan menyentuh wajahnya. Kemudian wajahnya mendekat. Bibir mereka bertautan. Tubuh mereka terasa panas, seperti dijilat api neraka. Abu berhenti, menghindari perzinahan yang bisa saja mereka lakukan di hari itu.
Ketika Bayu mengajak mereka bertemu di hotel, Bayu bermaksud datang hanya untuk urusan bisnis dan kemudian mengakhiri hasratnya. Abu tahu benar apa keinginan Bayu. Sesampainya di sana, naluri biologis Abu membuatnya tak kuasa menolak ajakan ke kamar hotel dan pada akhirnya melakukan hubungan seks yang selama ini dianggapnya tabu.
Malam itu, Abu mengirimkan pesan Whatsapp untuk Fitri bahwa dia harus lembur di kantor, meskipun kenyataannya dia sedang berbaring kelelahan di atas ranjang yang berantakan. Abu merasa bersalah, tetapi ini tidak membuatnya heran. Rasa bersalah ini sudah menghinggapi jiwanya sejak dia kecil, sejak dia sadar bahwa dia lebih tertarik dengan laki-laki. Dia berfantasi, jika saja dia tidak pernah diajarkan bahwa homoseksual adalah penyakit, mungkin dia tidak akan menikahi Fitri dari awal.
Dia pernah jatuh hati dengan seorang laki-laki di pengajian yang sama, tetapi dia segera menghindari laki-laki itu karena takut dengan rasa sukanya sendiri. Maka dia ceritakanlah masalah ini pada guru mengajinya. Si guru laki-laki yang usianya tidak begitu jauh diatasnya ini kaget bukan kepalang karena tidak melihat tanda-tanda gay pada perilaku Abu. Dia nampak seperti muslim biasa saja.
Abu menangis tersedu-sedu karena rasa bersalahnya, karena ketidakmampuannya untuk mengubah orientasi seksualnya itu. Guru mengaji itu menenangkan Abu dan kemudian mengingatkan bahwa kecenderungan ini adalah penyakit yang bisa disembuhkan dengan bertakwa kepada Allah. Guru itu juga menganjurkannya untuk segera menikah agar terhindar dari zina.
“Insya Allah, kamu bisa sembuh dengan cara menikahi perempuan.”
Jika Abu menolak tawaran itu, mungkin dia akan mencoba mendekati laki-laki yang sangat disukainya di pengajian. Bahkan setelah bertahun-tahun pun, dia masih bisa mengingat suaranya saat sedang membaca kitab suci. Tetapi andai-andai dan kenyataan memang tidak akan pernah bertemu. Kini Abu bertemu dengan laki-laki lain di saat sudah menikah dengan seorang perempuan.
Benar kata Bayu, kalau masyarakat sudah menjebaknya untuk menjalani hidup yang justru menyiksa dirinya sendiri. Fitri adalah bagian dari masyarakat yang tidak akan pernah mengerti pengalaman orang-orang seperti dirinya; dia justru membuat hidup mereka yang sudah rumit menjadi jauh lebih sulit. Dalam pemikiran itu pun akhirnya Abu menemukan pembenaran atas perselingkuhan yang dia lakukan, meskipun di sisi yang lain dia terlalu takut untuk menceraikan istrinya. Dia sudah terlanjur menikmati privilese seorang laki-laki heteroseksual yang sudah menikah, kenormalan yang tidak mau ditinggalkannya.
Suatu hari, Bayu dan Abu berkencan di gay bar dan hari itu mereka berniat untuk menunjukkan hubungan mereka kepada Rika. Menurut Bayu, Rika pun akan senang karena akhirnya Abu berani untuk menjadi dirinya sendiri. Selain itu, temannya itu tentu diam-diam masih mau Fitri mendapatkan ganjaran yang setimpal atas apa yang terjadi dulu.
Di meja itu, Bayu dan Abu duduk bersama sepasang gay lainnya yang kelihatan cukup terpelajar, Yoga dan Sani. Mereka sudah menjalin hubungan selama sembilan tahun dan setia meski tidak terikat tali pernikahan. Abu tidak menyangka hubungan gay bisa berlangsung selama itu.
“Kami sehidup semati,” kata Sani sambil mengenggam tangan pacarnya yang mungkin lima tahun lebih tua. Keduanya menggunakan jas yang berkelas, tentu posisi mereka tidak sembarangan di perusahaan tempat mereka bekerja.
“Kita juga sehidup semati ya, Abu?” tanya Bayu.
Tetapi Abu segan menjawab, sehingga Bayu berusaha menutupi situasi canggung ini dengan mencium bibirnya. Saat itulah Rika datang. Bayu melihat dia dari balik pundak laki-laki beristri yang tengah menempel di mukanya, “Surprise!”
Perempuan itu nampak terkejut, “Abu?”
“Dia baru aja coming out, Rika. Aku yang nyelamatin dia dari the evil witch.”
“Kamu masih nikah sama Fitri?” Rika tidak menggubris Bayu. Wajahnya masih terperangah.
Abu mengangguk.
“Kamu kasih tahu kalau kamu gay ke dia?”
Abu menggeleng.
Dia menudingkan telunjuknya ke kedua laki-laki itu. “Kalian berdua gila.”
“Perempuan itu yang gila. Dia yang dulu buat hidup lo sengsara dan dia juga buat hidup Abu sengsara. Kenapa lo harus mikirin dia?”
Yoga dan Sani yang duduk di sebelah Abu dan Bayu pun memperhatikan. Air muka mereka berubah, mereka tidak tahu kalau Abu sudah menikah dengan perempuan. Nampaknya mereka pun tidak suka.
“Fitri mungkin sudah bikin hidup gue susah, tapi itu bukan berarti gue mau dia juga jadi sengsara! Kalau api lo balas lagi dengan api, kita semua bakal terbakar! Lo udah tahu gimana cara orang berpikir soal orang-orang gay. Sekarang lo lagi selingkuh sama suami orang dan lo mengkhianati komitmen yang udah lo buat ke perempuan. Apa yang kalian lakukan ini justru membuat hidup kita dan orang-orang kayak kita lebih sengsara. Kalian membenarkan anggapan kalau gay itu orang-orang yang enggak bermoral!”
“I don’t give a shit,” kata Bayu santai saja.
“But I do,” kata Yoga yang duduk di sampingnya.
“Me too,” kata Sani. Mereka berdua meninggalkan Abu dan Bayu dari meja itu dengan wajah dingin.
“Sekarang lo mau balik ke rumah lo untuk minta maaf ke Fitri atau tinggal di sini?” tanya Rika, “Walaupun dia pernah jahat ke gue, dia tetep temen gue dan gue sudah maafin dia.”
Abu menatap mata Rika, dia menggeleng. “Mind your own business. Ini urusanku dan biar aku menyelesaikannya dengan caraku sendiri.”
Rika mengangkat bahunya dan meninggalkan mereka.
Ketika dia melangkah cepat meninggalkan bar itu, Rika meyakinkan dirinya untuk menolak menyerah begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan pengkhianatan yang dilakukan oleh Abu. Hatinya memerintahkan dia untuk melakukan hal yang benar. Dia kembali masuk ke dalam bar, mengawasi meja tempat Abu dan Bayu duduk, mengambil telepon genggamnya, kemudian dia mengambil foto kedua laki-laki yang tengah berciuman mesra itu. Terkirim. Ke Fitri.
Rika menuliskan caption: Abu dan Bayu selingkuh di Romeo Bar di Jakarta Selatan. Kesalahan terbesarnya adalah, Rika lupa mengisi ulang baterai telepon genggamnya dan dia terjebak macet di taksi selama beberapa jam.
Perselingkuhan adalah kesalahan besar, tetapi menjadi homoseksual adalah hal yang nista! Pipi Fitri basah oleh air mata. Dia baru saja menerima gambar yang terkirim lewat aplikasi Whatsapp dari Rika dengan gambar yang sangat jelas: suaminya mencium seorang laki-laki yang Rika bawa ke reuni; laki-laki yang dia sudah lupa namanya tetapi dia tahu sudah dijumpai beberapa kali oleh Abu.
Fitri mencoba menghubungi Rika tetapi nomor itu tidak bisa dihubungi. Dia pasti sedang tertawa terbahak-bahak karena sudah membuat hidupku sengsara! Fitri membatin. Ini cara dia membalas dendam. Dasar lesbian amoral!
Api amarah merayap sampai ubun-ubunnya. Fitri menghubungi kedua orang tuanya dan melaporkan perilaku bejat suaminya. Awalnya mereka tidak percaya sampai pada akhirnya mereka melihat foto kedua laki-laki berciuman itu. Perceraian adalah satu-satunya penyelesaian bagi Fitri. Kedua orang tuanya setuju dengan keputusan itu karena menurut mereka foto itu sangat menjijikkan.
Semua orang akan berpikir sama! Demi membalas kekejian temannya, Fitri menulis panjang lebar sebuah pesan tentang peranan Rika dalam rencana menularkan penyakit homoseksual kepada suaminya dengan tujuan menghancurkan pernikahan yang telah mereka bina. Dia kemudian mengirimkan pesan tersebut ke seluruh teman-teman sekolahnya. Tidak hanya itu, dia juga mengirimkan pesan tersebut pada sanak saudara dan kenalan-kenalan Abu. Tak lupa dia lampirkan fotonya.
Keesokan harinya, Fitri pergi ke Bandung dan tinggal di rumah saudara untuk menenangkan diri. Rumah dua tingkat dengan taman yang mungil itu terletak di daerah Geger Kalong, dekat dengan sebuah pesantren ternama.
Sesampainya di sana, Fitri segera membeli kartu SIM baru agar dia tidak bisa dihubungi. Fitri memang sudah mematikan telepon genggamnya setelah menyebarkan pesan singkat itu. Namun, untuk terakhir kalinya dia menengok beberapa pesan Whatsapp sejumlah teman yang menunjukkan simpati – pesan dari Abu dan Rika tidak digubrisnya.
Di antara teman-teman itu ada seseorang yang membuatnya penasaran: Fadil. Dulu perawakannya pendek tetapi wajahnya tegas. Fitri pernah berpura-pura suka dengannya karena ditanya oleh salah seorang teman gadis apakah dia menyukai anak laki-laki. Meskipun dulu Fitri sempat menghindari percakapan tentang laki-laki, tetapi sejak dia menyebarkan berita bahwa Rika lesbian, dan dia bergaul dengan teman-teman gadis lain di kelas, mau tak mau dia harus berkompromi. Biarlah anggapan perempuan lesbian melekat di Rika dan tidak di dirinya.
Setahu Fitri, Fadil sendiri hanya berpacaran dengan satu orang selama di SMP dan dia termasuk salah satu anggota marawis yang aktif. Fitri beranggapan bahwa Fadil pastilah cukup dekat dengan kegiatan masjid selama ikut mendendangkan musik-musik islami.
Fitri juga tahu bahwa dia adalah anak orang kaya, politisi sekaligus pengacara ternama. Di acara reuni kemarin nampak ada beberapa perempuan mendekatinya tetapi dia acuh saja. Dia justru sempat berpapasan mata dengan Fitri. Gadis itu hanya mengangguk dan melenggang pergi.
Fitri membaca pesan darinya: Semoga kamu diberikan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini, Fitri. Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, jangan segan-segan hubungi aku.
Fitri mencatat nomor telepon Fadil dan kemudian menghubunginya.
“Halo?”
Fitri mendengar suara asing itu. Dia tidak tahu apa yang sedang dia lakukan dan untuk apa dia menghubungi laki-laki ini.
“Halo? Ini siapa?”
Fitri membuka mulutnya tetapi yang terdengar keluar hanya sedu sedan. Air mata kembali mengalir di pipinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan.
“Fitri?”
Mendengar namanya disebut, dia tertegun.
“Fitri, bicara lah. Kita dulu pernah satu kelas dan aku tahu kita jarang ngobrol tetapi mendengar nasibmu yang seperti ini aku ingin membantumu, sebagai teman.”
“Terima kasih, Fadil,” ujarnya lirih. Fitri mulai menumpahkan perasaan dan kebingungan pada teman lamanya itu. Dia merasakan perlahan-lahan bebannya berkurang. Sedikit demi sedikit meski masih tetap berat dan menyesakkan.
Selama seminggu, jika tidak menelepon Fadil, Fitri hanya berbaring saja di atas tempat tidur. Bibi dan pamannya terkadang menemani, begitu pula keponakan-keponakannya. Tetapi rasanya dia lah yang melayani keinginan mereka agar bisa menghibur karena itu dia berpura-pura menjawab, mengerti dan tertawa.
Hanya Fadil yang bisa membuatnya merasa lebih baik, lebih berharga. Maka dari itu, setiap kali telepon berdering dia bangkit dan segera mengangkatnya. Namun, yang dia angkat sore hari ini bukan lah telepon dari Fadil, melainkan dari rumahnya. Ibunya yang berbicara tetapi dia tahu ada sesuatu yang berbeda akan disampaikannya hari itu.
“Di sini ada Abu, Nak,” katanya dengan lembut. Sayang kelembutan itu tetap terasa menusuk ketika nama laki-laki itu disebut.
“Kenapa? Aku tidak mau lagi berbicara dengan dia.”
Namun suara ibu sudah berganti dengan suara yang lebih sendu, seperti tidak ada sedikit pun semangat dalam setiap kata. Hampa.
“Fitri,” kata Abu, “Aku minta maaf...”
“Aku mau kamu menalakku. Kita harus cerai.”
“... Baik, Fit. Kalau itu permintaanmu, aku talak kamu. Kita bercerai. Tidak apa-apa. Aku mengerti kamu marah tetapi kenapa kamu harus membuat hidupku menjadi hancur seperti ini. Adik-adikku sekarang tidak lagi mau bertemu denganku, Fitri.”
“Kau lebih dulu menghancurkan hidupku!”
“Keluargaku membenciku, Fit.”
“Itu azab Allah untuk suami seperti kamu. Kamu menghancurkan pernikahan kita!”
“Kamu seharusnya mendengarkan penjelasanku dulu...”
“Aku tidak perlu alasan-alasan.”
“Aku punya kesalahan, Fit. Aku mengakuinya. Tetapi kamu menghukumku dengan cara yang tidak adil! Selama jadi suamimu, aku selalu sabar! Aku selalu berusaha mengerti kekuranganmu!”
“Kamu sekarang mau menyalahkan aku? Dasar iblis! Kamu tinggal tunggu azab Allah menimpamu dan pacar laki-lakimu itu. Asal kamu tahu, homoseksual punya kecenderungan menjadi pembunuh. Aku harap kalian akan saling bunuh.”
“Satu-satunya orang yang seharusnya aku bunuh adalah kamu.”
Di belakang suara Abu terdengar suara ibunya yang memanggil bapaknya dengan panik.
“Tetapi tidak akan. Kamu pernah menjadi istriku. Aku mencintaimu tetapi –“
Saat Fitri mematikan teleponnya, Abu menghela nafas panjang. Orang tua Fitri yang sudah setengah hati mengizinkannya untuk menelpon dan meminta maaf pada anak gadis mereka kini mengusirnya keluar. Wajahnya digampar dan matanya membiru. Dia linglung dan tak tahu harus pergi ke mana.
Hidupnya sudah hancur berantakan. Umpatan untuk dirinya sendiri termuntahkan dari mulutnya, berulang-ulang. Dia tidak mengenal siapa dia sekarang tetapi kemudian dia bertanya-tanya apakah dia pernah mengenal dirinya dalam hidup ini.
Istrinya meninggalkannya. Adik-adiknya menyumpahinya. Masyarakat mencibirnya. Sampah, dia sampah masyarakat! Dalam kekacauan jiwanya ini dia menemukan amarah yang merayunya untuk membunuh. Hidupnya sudah hancur lebur maka tidak ada salahnya dia melenyapkan nyawa si penyebab rentetan kekacauan ini. Lalu teriakan seperti binatang keluar dari mulutnya. Abu sudah tidak punya harapan untuk mengenal dirinya sendiri.
Fitri sadar tangan kanannya bergetar. Abu sudah mengancamnya dan dia membutuhkan perlindungan!
Adalah Fadil yang muncul sebagai jawaban setelah rasa takut bahwa Abu akan melakukan pembunuhan menggerayangi benaknya.
Jemarinya segera memencet tombol-tombol di layar sentuh telepon genggam. Setelah dering pertama, dewa pelindung itu langsung menjawab, dan mendengar suaranya saja sudah membuat Fitri merasa lebih aman. Fadil memintanya untuk berpikiran jernih dan menenangkan diri karena Abu tidak tahu dia ada di mana. Lalu dia mengatakan bahwa dia mau pergi ke Bandung untuk bertemu dengan Fitri. Tanpa berpikir dua kali, perempuan itu mengiyakan.
Tempat pertemuan mereka sangat klise, Starbucks. Ini pilihan Fitri, mungkin karena alam bawah sadarnya menginginkan pilihan yang tidak berisiko dengan bertemu di tempat yang familiar. Cihampelas Walk malam minggu itu cukup dingin dan Fadil muncul di antara rintik gerimis. Fitri bahkan tidak menyadari bahwa ini adalah pertemuan pertama mereka setelah acara reuni. Percakapan mereka dalam rentang waktu yang singkat itu membuat dia merasa begitu dekat dengannya.
Fadil yang ditemuinya secara langsung ini agak berbeda dengan yang dikenalnya dari telepon, dia nampaknya lebih kaku dan bossy.
“Kamu jangan bersembunyi di rumah kenalanmu,” katanya. “Abu lama-lama bisa tahu keberadaan kamu.”
Fitri kemudian menjelaskan bahwa dia tidak punya pilihan lain.
“Tidak ada yang aku bisa percaya selain kamu,” Fitri bicara dengan suara bergetar. “Aku merasa aman hanya dengan meneleponmu.”
Fadil mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan ekspresi prihatin.
“Kalau begitu kamu tinggal saja bersamaku.”
Fitri menggelengkan kepalanya. “Kita bukan muhrim! Aku pun merasa bersalah harus bertemu denganmu berduaan seperti ini.”
“Kalau begitu menikahlah denganku.”
“Apa?” Fitri tercengang mendengar tawaran yang tiba-tiba itu. Meskipun dia tahu bahwa Fadil mendekatinya karena dia punya perasaan, tetapi dia tidak percaya orang ini akan mengajaknya menikah di pertemuan pertama. Tetapi bukankah itu yang dulu dia lakukan dengan Abu?
“Aku tidak bercanda. Menikahlah denganku, Fit. Kamu tidak tahu kalau aku sebenarnya memendam rasa suka padamu saat kita masih sekolah dulu. Aku begitu senang saat aku tahu kamu juga menyukaiku dari teman perempuanmu, tetapi aku tidak berani maju dan kau pun tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun.”
Karena dulu Fitri hanya berpura-pura. Kali ini, entah apa. Fitri bergumul dalam hatinya: tentu keluarganya tidak akan menyetujui hubungan dadakan yang terjadi saat dia bahkan belum selesai bercerai. Di sisi lain dia membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk melindunginya. Tetapi apakah dia tidak belajar dengan hubungannya dengan Abu? Jika diingat-ingat, dia hanya melakukan hubungan seks sebulan sekali dan semakin lama semakin jarang. Kalaupun berhubungan terasa hampa dan dingin, nafsu birahinya tidak berbalas. Namun, Fitri dulu berusaha menyingkirkan keluh-kesahnya karena menyangka mungkin itu memang karakter suaminya.
“Jika kamu menikahiku, tidak akan ada yang menyakitimu, Fit,” Fadil memohon.
“Aku menikah dengan laki-laki yang tidak sepenuhnya aku kenal dulu. Ternyata dia bukan seperti yang aku kira.”
“Itu karena dia gay! Aku bukan gay!”
“Dia menjadi gay sejak bertemu dengan laki-laki jalang itu di acara reuni. Dia yang menularkannya,” bantahnya, meski dalam hatinya terbersit keraguan.
“Jangan membantah,” kata Fadil tegas, dia kemudian mengambil sebatang rokok dari kantong bajunya, mematikkan api, asap mengepul di wajahnya, terlihat sangat jantan.
“Gay itu tidak menular. Kamu saja yang sejak awal tidak tahu kalau dia itu gay.”
Fitri terbatuk.
Fadil segera mematikan rokoknya, “Abu tidak merokok ya?”
Fitri menggeleng.
“Kamu pikir ada kemungkinan kalau aku adalah homoseksual?”
Fitri diam saja, meskipun sebenarnya jawabannya adalah iya.
“Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku adalah laki-laki yang paling macho yang pernah kamu kenal,” kata Fadil sambil tersenyum.
“Sebelum kita menikah secara formal, kita bisa menikah siri dulu supaya kamu tahu performaku di atas ranjang. Kamu akan merasakan bagaimana seharusnya laki-laki normal memperlakukan perempuan. Kamu akan menjadi seorang ratu, Fitri.”
Fitri tidak tahu harus bereaksi apa, namun, bibirnya tersenyum tanpa diperintah. Dia butuh perlindungan dan hanya Fadil yang bisa memberikannya.
Pada akhirnya Fitri menyetujui tawaran ini dengan syarat dia harus melewati masa iddah. Fitri berharap keputusannya ini akan menjauhkannya dari Abu dan dia tidak akan merasa terancam lagi. Saat Fadil mengantarkan Fitri ke rumah saudaranya, dia mengembuskan nafas lega. Bulan demi bulan berlalu, Fitri masih dirundung rasa takut tetapi dia selalu menenangkan diri dengan menghubungi Fadil. Ragu yang dirasakannya semakin berkurang dan dia yakin bahwa menikahi Fadil adalah jalan yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
Sabtu malam itu Fitri dan Fadil pergi ke sebuah hotel mewah di daerah Puncak. Seorang kyai datang pukul tujuh malam beserta dua orang tidak dikenal yang ditugaskan sebagai wali. Jika si kyai ini tidak fasih berbahasa Arab dan mengucapkan ayat-ayat Al-Quran tentu Fitri tidak akan percaya bahwa ini adalah pernikahan Islam yang sah. Setelah prosedur pernikahan dilangsungkan si kyai memberikan wejangan kepada Fitri, “Hormatilah suamimu ini dan ikutilah kemauannya karena laki-laki ini adalam imammu.”
Kyai dan orang-orang asing itu pergi.
Fitri sudah merasa lelah tetapi Fadil sudah membuka baju dan celana lalu menaiki tubuhnya yang masih berhijab lengkap. Perutnya bergejolak ketika dia mencium bau ketiak Fadil yang menyengat. “Najis!” dia teriak, mendorong Fadil sekuat tenaga. “Mandi dulu sebelum kita berhubungan seks. Bau ketiakmu seperti babi!”
Fadil mengepalkan tangannya dan meninju kepala Fitri. Kemudian kepala perempuan itu membentur ujung meja di samping tempat tidur. Darahnya mengalir dari pelipis. “Psikopat!” Dia menghardik dan berusaha melarikan diri tetapi kepalanya menerima pukulan lagi, hantaman demi hantaman datang secepat hembusan nafasnya. Sebelum sempat dia merenungkan betapa ironisnya pilihan-pilihan hidup yang dia buat dalam ketergesa-gesaan. Fitri sudah terkapar di lantai, dicekik, kemudian mengembuskan nafas terakhir.
***
Sambil membawa payung, Bayu berjalan menuju Indomart. Wajahnya sedih. Dari seorang teman, dia baru saja tahu bahwa Rika dipaksa menikah oleh orang tuanya. Tidak bisa dia bayangkan Rika harus memenuhi nafsu laki-laki yang tidak dicintainya. Meskipun Bayu marah karena perempuan itu lah yang mengirimkan fotonya dan Abu di gay bar malam itu ke Fitri dan perbuatan ini justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, tetapi Bayu tahu dia melakukan ini karena prinsip-prinsip yang dia percaya. Bayu lebih menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja dia tidak mencoba menyelamatkan Abu! Bayu menghela nafas. Dia juga dengar Rika sudah hamil.
Sementara itu, dia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Abu. Beberapa hari yang lalu Bayu menerima telepon dari Abu, tetapi dia tidak bicara apa-apa. Firasatnya mengatakan dia akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Kemudian cepat-cepat Bayu pergi ke apartemen laki-laki yang tengah kebingungan itu. Sesampainya di sana, Bayu melihat Abu tengah berjongkok di depan beranda, menangis, menjambak-jambak rambutnya, seperti anak kecil kehilangan mainannya.
“Aku lah penyebab bencana dalam hidupku sendiri,” kata Abu. “Aku lah penyebabnya.”
Lalu Abu mengatakan bahwa ia ingin melompat tetapi dia tidak mau masuk neraka. Karena itu, Bayu kemudian mengingatkan dia supaya berdzikir. Bayu kemudian menuntunnya pergi ke masjid supaya bisa shalat berjamaan, karena itulah yang bisa menenangkan jiwanya.
Selama ini Abu sudah membiasakan agama menjadi obat biusnya, maka tak lama setelah salat dia kembali tenang. Bayu mendampinginya beribadah meskipun sebenarnya dia tidak percaya lagi omong kosong tentang agama. Tetapi bukankah solidaritas lebih penting daripada idealisme di saat-saat seperti ini? Bayu memutuskan untuk mengajak Abu tinggal di apartemennya agar lebih mudah diawasi.
Malam-malam, Abu masih sering menangis karena tiba-tiba saja teringat bahwa dia telah melakukan dosa besar pada istrinya. Pernah juga dia tidur berjalan menuju beranda, seperti hendak bunuh diri. Bayu menghentikannya dan malam itu mereka salat tahajud.
Di kasir, Bayu membayar belanjaan sehari-harinya. Saat itu lah dia melihat sebuah berita di koran:
SUAMI GAY SELINGKUH, ISTRI DIBUNUH
Bogor – Mayat perempuan yang ditemukan di sungai Ciliwung teridentifikasi sebagai Fitri Trihapsari (22). Satuan Reskrim Polres Bogor menyimpulkan bahwa Fitri adalah korban pembunuhan dan tengah menyelidiki pelakunya.
Menurut keluarga korban, Fitri adalah perempuan yang rajin beribadah. Tetapi hubungan dengan suaminya, Abu Hanafi (26) bermasalah karena perselingkuhan suaminya dengan seorang pria.
Tangan Bayu bergetar, koran itu terjatuh dari tangannya sebelum dia sempat membaca keseluruhan artikel. Dengan tergesa-gesa dia mengambil telepon genggamnya dan mengubungi nomor polisi.
Bibirnya bergetar.
“Saya tahu di mana pembunuh Fitri Trihapsari berada.”
Comments