Women Lead Pendidikan Seks
May 13, 2022

‘Queercoded’ dalam Anime 90-an: Bukti Anak Kecil Lebih Toleran

Aku menonton ulang anime tahun akhir 90-an dan 2000-an awal lalu tersadar, Jasmine kecil ternyata sudah terpapar media queer dan lebih mudah menerima perbedaan.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Lifestyle
‘Queercoded’ dalam Anime 90-an: Bukti Anak Kecil Lebih Toleran
Share:

Semua bermula dari perbincangan santai bersama salah satu teman kerjaku kala piket di hari Selasa. Selasa itu, aku dan temanku sedang asyik membicarakan anime yang kami tonton semasa masih kecil. Anime tahun 90-an yang membawa banyak kenangan tak terlupakan mengingat kami secara harfiah tumbuh bersama dengan anime-anime dalam ragam genre ini.

Dalam balutan nostalgia, aku pun merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menonton ulang ­­­anime­-anime ini. Buatku yang jarang sekali menonton ulang sebuah tontonan (kecuali comfort show) tentu dorongan ini tidak biasa. Dorongan ini pun semakin besar ketika temanku mengatakan dirinya sedang menonton Inuyasha dan bagaimana menonton anime jadul ini ketika sudah dewasa memberikan sensasi dan sudut pandang yang berbeda.

“Baiklah, aku mau mulai menontonnya!” batinku dalam hati. Maka malam itu juga setelah pulang dari kantor, aku tanpa ragu membuka akun Netflix dan langsung mencari anime tahun 90-an yang pada saat itu pilihanku jatuh pada dua anime Cardcaptor Sakura (1998) dan Yu Yu Hakusho (1992).

Butuh waktu sekiranya lebih dari satu minggu buatku untuk menamatkan 74 episode Cardcaptor Sakura dan 10 episode awal Yu Yu Hakusho (dibarengi menelusuri alur cerita dan karakternya di Google dan YouTube). Selama kurun waktu itu bisa dibilang aku mendapatkan sebuah pengalaman menonton yang luar biasa. Tidak hanya merasakan sebuah perasaan hangat dan sendu dari nostalgia, aku juga merasakan luapan rasa takjub serta kaget yang tidak terduga.

Baca Juga: Boys Love (BL) sebagai Budaya ‘Queer’ Baru: Bagaimana Kabar di Indonesia?

Anime Tahun 90-an dan Kentalnya Unsur Queer

Rasa takjub serta kaget yang kurasakan selama menonton dua anime ini hadir karena satu hal. Ternyata, Jasmine kecil yang dahulu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) sudah terpapar oleh media queer. Melalui tontonan anime-anime seperti Cardcaptor Sakura, Yu Yu Hakusho, atau Sailor Moon yang tayang di televisi nasional, Jasmine kecil sebenarnya sudah mulai mengenal ragam identitas gender dan orientasi seksual.

Dalam Cardcaptor Sakura saja misalnya aku baru menyadari bahwa anime ini begitu kental dengan unsur queernya. CLAMP selaku kelompok penulis perempuan dari Cardcaptor Sakura bisa dibilang mampu menyampaikan narasi queer yang begitu terang-terangan dalam tayangan yang dikhususkan untuk anak perempuan kala itu.

Hal ini misalnya terlihat dari empat karakternya, Tomoyo Daidoji, Yukito Tsukishiro atau Yue, Syaoran Li, dan Ruby Moon atau Nakuru Akizuki. Tomoyo, sahabat karib Sakura yang memendam rasa terhadap sahabatnya, Yukito atau Yue yang sama-sama mencintai sosok laki-laki yang berharga dalam hidup mereka, Syouran yang jatuh cinta pada Sakura dan Yukito, dan Ruby yang digambarkan sebagai perempuan dengan preferensi pakaian perempuan, tetapi secara biologis tidak berjenis kelamin dan memiliki identitas gender biner.

Kentalnya narasi queer dalam Cardcaptor Sakura menariknya tidak disensor oleh stasiun televisi nasional kala itu. Aku bahkan masih mengingat satu adegan legendaris di mana Yukito mengatakan perasaannya di depan Sakura bahwa orang ia sukai adalah kakak laki-laki Sakura, Touya dan Touya adalah orang nomor satu baginya.

Yu Yu Hakusho pun tidak kalah terang-terangan. Ketika menonton ulang di Netflix sembari mencari referensi anime ini di internet aku menyadari bahwa salah satu karakter favoritku dalam anime ini, Kurama, bisa dibilang seorang nonbinary. Ia lahir dengan jenis kelamin laki-laki tapi ia tidak pernah mengidentifikasikan dengan jelas dirinya adalah laki-laki.

Ia memiliki rambut yang panjang, paras yang cantik, sikap yang anggun, namun di satu sisi ia adalah sosok yang kuat dan maskulin. Kurama pun sepanjang serial digambarkan memiliki dinamika unik dengan karakter laki-laki, bernama Hiei yang bisa dibilang lebih dari bromance semata.

Selain penggambaran Kurama, Yu Yu Hakusho bisa dibilang adalah anime pertama yang kutonton yang menampilkan karakter transgender. Miyuki adalah karakter transpuan yang mengklaim bahwa dia memiliki hati seorang perempuan tetapi tubuh seorang laki-laki.

Dalam dubbing asli Bahasa Jepangnya Miyuki mengatakan bagaimana ia melakukan transisi termasuk operasi menambahkan implan walaupun tidak melakukan operasi pengangkatan alat kelamin laki-lakinya. Jujur, aku lupa bagaimana dialog Miyuki ini disampaikan dalam dubbing Bahasa Indonesia, tapi aku masih mengingat bagaimana dialog tentang dirinya yang seorang transgender lulus sensor.

Baca Juga: Liar dan Imajinatif: 6 Anime Ghibli yang Wajib Ditonton

Kebijakan Sensor yang Lebih Fleksibel dan Bagaimana Anak Kecil Lebih Mudah Menerima

Menonton ulang Cardcaptor Sakura dan Yu Yu Hakusho, jujur membuat aku semakin kepo apakah jangan-jangan anime tahun 90-an yang aku tonton kala kecil baik secara implisit atau eksplisit menampilkan karakter-karakter queer. Rasa ingin tahu ini pun berujung pada usahaku membuat daftar anime tahun 90-an favoritku dulu.

Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata ada anime-anime lain selain Cardcaptor Sakura dan Yu Yu Hakusho yang menampilkan karakter queer dan menariknya semua tayang di televisi nasional Indonesia pada tahun 90-an akhir hingga 2000-an awal. Anime ini antara lain adalah Ranma ½ yang jelas-jelas memperlihatkan fluiditas gender, Sailor Moon dengan Uranus dan Neptunus yang digambarkan sebagai sepasang kekasih dengan Uranus sebagai karakter nonbinary, dan Hunter x Hunter dengan karakter Kurapika sebagai nonbinary.

Pertanyaan pun muncul. Mengapa anime-anime yang kental dengan unsur queer ini dahulu bisa lulus sensor? Mengingat kini sensor di Indonesia sudah mencapai level tidak masuk akal. Bayangkan saja karakter Sandy si Tupai di kartun Spongebob Squarepants yang memakai bikini saja kena sensor.

Jawabannya ternyata cukup kompleks. Perlu digaris bawahi bahwa tumbangnya Orde Baru menandai perubahan dinamika sosial politik Indonesia. Di bawah rezim Orde Baru segala tayangan yang ada di Indonesia diawasi secara ketat yang tentunya membuat sistem sensor jadi salah satu bentuk kuasa mutlak pemerintahan. Dengan tumbangnya rezim Orba, maka konten budaya di Indonesia pun mengalami diverifikasi yang juga didukung oleh kemajuan teknologi.

Diverifikasi konten budaya pun semakin marak karena selama era 90-an hingga 2000-an awal, karena dinamika sosial politik kala itu masih belum terkristalisasi dengan politik Islam. Politik yang mengedepankan interpretasi agama sebagai pengikat norma dan moral masyarakat yang dijelaskan dalam penelitian Rising public piety and the status of women in Indonesia two decades after reformasi (2019) Dina Afrianty, peneliti Indonesia yang memainkan peran penting dalam tubuh masyarakat Indonesia beberapa tahun pasca reformasi.

Selain itu, pada tahun 90-an akhir hingga 2000-an awal Indonesia tidak memiliki lembaga khusus yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas penyelenggaraan penyiaran. Barulah pada 2002, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI dibentuk). KPI dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan menerbitkan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran.

Memang, sensor sebenarnya bukan tanggung jawab KPI namun lantaran khawatir melanggar aturan-aturan dalam pedoman KPI, banyak stasiun TV yang akhirnya memilih melakukan sensor secara manasuka.

Baca Juga: Tak Ada yang Lebih Sia-sia daripada Pembatasan Lagu KPI

Dari berbagai latar belakang kompleks ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa anime-anime yang kental dengan unsur queer bisa tayang bebas di televisi nasional dan ditonton oleh banyak anak Indonesia menandakan adanya fleksibilitas kebijakan sensor kala itu. Fleksibilitas kebijakan sensor ini pun menghantarkan kita pada satu hal penting lain. Bahwasanya aku juga baru menyadari bagaimana anak kecil lebih bisa menerima perbedaan dibandingkan orang dewasa.

Jasmine kecil yang dahulu sudah mengenal karakter bi, transgender, gay, dan nonbinary tidak melihat mereka dalam kacamata penuh kebencian. Namun, justru dalam kacamata cinta kasih bahwa walaupun mereka “berbeda”, tapi perasaan dan pengalaman mereka valid.

Baca Juga: Surat Cinta Buat Doraemon, Karakter Kartun Revolusioner

Hal ini misalnya bisa dilihat dalam penerimaanku terhadap karakter Syouran dan pada relasi Yukito dan Touya.

“Kok bisa ya anak cowok suka sama anak cewek tapi juga suka sama sesama anak cowok?”, mungkin begitulah kira-kira batin Jasmine kecil.

Kendati menjadi benci dengan karakter Syouran yang “berbeda” dari apa yang aku lihat dari lingkungan terdekatku, Jasmine kecil dulu menganggap bahwa toh perasaan Syouran valid, dia berhak suka dengan siapa saja yang dia mau karena menurut Jasmine kecil perasaan suka tidak bisa memilih.

Hal yang sama juga terjadi ketika Jasmine kecil melihat relasi Yukito dan Touya.  Jasmine kecil melihat bagaimana relasi Yukito dan Touya begitu tulus, murni, dan indah. Relasi keduanya bisa dibilang adalah manifestasi “relationship goalspertama buat Jasmine kecil sampai-sampai Jasmine kecil dahulu senang sekali setiap melihat adegan yang terdapat interaksi antar dua karakter ini.

Pengalaman masa kecil inilah mengantarkanku pada kesimpulan bahwa kebencian adalah sesuatu yang dipelajari dan diajarkan kepada anak-anak oleh orang dewasa. Hal ini sejalan dalam pemaparan Brenda Berger, Ph.D,  Asisten Profesor Klinis Psikologi Medis dalam Psikiatri dan Direktur Senior untuk Psikologi di Universitas Columbia dalam artikel Psychology Today. Ia mengatakan bahwa tiap manusia yang penuh kebencian sebenarnya dibentuk oleh budaya. Baik dari konten media yang dikonsumsi atau ajaran yang diberikan oleh orang tua atau sekolah.

Namun, untuk menjadikan keduanya sebagai sebuah kebencian adalah perkara keinginan manusia sendiri untuk pasrah terjebak dalam apa yang diajarkan oleh masyarakat atau justru mengubahnya pada tindakan penerimaan berdasarkan cinta kasih dengan berusaha membuka prasangka dan bias itu sendiri.

Karena Jasmine kecil tidak pernah satu kali pun dilarang menonton anime dengan karakter queer. Pun, orang tua dahulu tidak pernah memperlihatkan kebenciannya terhadap kelompok LGBTQIA lewat justifikasi interpretasi cerita kaum nabi Luth, maka Jasmine kecil tumbuh dengan cinta kasih sebagai kacamatanya dalam melihat dunia. Bahwa setiap orang apapun identitas gender dan orientasi seksualnya adalah valid dan perlu dihargai.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.