Angka pernikahan anak yang berpotensi terus meningkat menjadi ancaman global selama pandemi. Organisasi non-pemerintah, Save The Children dalam laporan Global Girlhood Report 2020 memperkirakan bahwa jumlah anak perempuan yang berisiko menjadi korban perkawinan anak naik menjadi 2,5 juta dalam lima tahun mendatang. Selain itu, kehamilan remaja juga ikut meningkat menjadi lebih dari satu juta anak perempuan dalam setahun.
Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan, Indonesia juga mengalami ancaman peningkatan tersebut. Ini tidak lepas dari masalah edukasi kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja yang masih rendah, bahkan sebelum pandemi. Pengabaian atas hak informasi maupun pendidikan tersebut, imbuhnya, dipengaruhi oleh persepsi masyarakat bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksual merupakan hal yang tabu.
“Cara berpikir itu harus diubah dan perlu dipikirkan bahwa pengenalan edukasi kesehatan reproduksi dan seksualitas bukan mengajarkan tentang [berhubungan] seks, melainkan mengenai organ reproduksi dan cara menjaganya agar bisa tumbuh menjadi generasi yang sehat,” ujarnya dalam webinar Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi oleh Rutgers, sebuah organisasi non-profit yang bergerak di isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (30/6).
Ia mengatakan, edukasi tersebut menjadi misi penting karena mampu menghindarkan generasi muda dari hal-hal negatif, seperti kehamilan yang tidak direncanakan, kekerasan seksual, dan untuk menjamin masa depannya. Misi untuk membentuk generasi yang berkualitas itu semakin mendesak karena saat ini mayoritas penduduk Indonesia merupakan remaja dan masyarakat dewasa muda, ujarnya.
Baca juga: Pendidikan Seksual di Usia Dini Bisa Cegah Kekerasan Seksual pada Anak
Menurut analisis sensus kependudukan Indonesia oleh WIlliam H.Frey, demograf asal AS, Juni tahun lalu, 173,31 juta jiwa penduduk merupakan anak dan remaja generasi Z serta orang muda generasi Millenial. Sementara, 94,69 juta penduduk berasal dari generasi X, baby boomers, dan pre-baby boomers, kutip Hasto.
“Kita harus menyadari pembangunan keluarga berencana dan kependudukan dipengaruhi oleh posisi generasi muda dan remaja yang dominan. Masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas menjadi isu besar karena populasinya [remaja] juga banyak,” ia menambahkan.
Ninuk Widyantoro, pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan mengatakan, remaja berpotensi untuk diberdayakan mengedukasi masyarakat lain tentang isu kesehatan reproduksi dan seksual. Maka dari itu, persepsi mereka yang belum ‘terkontaminasi’ pandangan negatif dan mitos menjadi penting.
“Remaja memiliki potensi besar yang harus diberdayakan karena mereka belum memiliki banyak stigma tentang edukasi kesehatan reproduksi dan seksual yang mampu menghambat cara mereka berpikir tentang isu itu,” ujarnya dalam rangkaian webinar yang sama (29/6).
Edukasi Harus Berkelanjutan
Hasto mengatakan, jika pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual masih belum dikuatkan dampak berbahaya lainnya ialah meningkatnya jumlah kematian ibu dan anak karena usia yang belum matang untuk melahirkan. Tulang panggul remaja yang belum mencapai ukuran 10 centimeter membuat proses persalinan sulit, pendarahan, dan merobek rahim.
Selain itu, Hasto menambahkan, edukasi juga mengajak remaja mengenal dan mengidentifikasi tubuh, khususnya organ reproduksi, untuk mengetahui apakah ada gejala khusus yang harus diperhatikan seperti hipospadia, kelainan penis bawaan di mana lubang pembukaan uretra tidak berada di ujung penis.
Baca juga: Pentingnya Membentuk Keluarga Berperspektif ‘Sex Positive’
“Banyak organ yang harus diperkenalkan karena banyak kasus yang tidak mengidentifikasi gejala sejak kecil, akhirnya terlambat untuk mengetahui itu kanker. Harus ada sinkronisasi dari masyarakat tentang edukasi ini, khususnya pendidikan di sekolah,” ujarnya.
Diana Teresa Pakasi, sosiolog dari Universitas Indonesia mengatakan, salah satu bentuk upaya pemberian edukasi kesehatan reproduksi dilakukan lewat program SETARA (Semangat Masa Remaja) untuk siswa SMP oleh Rutgers. Dari program tersebut, banyak remaja yang mengatakan tidak lagi menganggap ‘saru’ isu tentang pubertas, ujarnya.
“Bagi siswa SMP, SETRA memberikan pengetahuan dan soft skill tentang pubertas dan bagaimana mengontrol emosi. Untuk isu gender dan ketertarikan afeksi mereka ikut dipengaruhi faktor lain, seperti keluarga, teman, atau media sosial,” kata Diana.
Baca juga: Remaja di 7 Daerah Dorong Kampanye Lawan Perkawinan Anak
Sementara itu Ninuk mengatakan, edukasi dan pemberdayaan tidak dapat dilakukan hanya dengan dua jam pembelajaran, tetapi harus berkelanjutan dan memberikan dorongan agar masyarakat, khususnya remaja, sadar bahwa mereka berhak menerima informasi dan pengetahuan tersebut.
Selain itu, usaha mendidik secara komprehensif harus ada kerjasama dari pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. Untuk pemerintah, harus ada penyelarasan visi dan misi tentang isu hak kesehatan reproduksi dan seksual agar program perencanaan tidak berubah ketika ada pergantian kepala daerah, ujarnya.
“Pemberdayaan dan edukasi juga tidak harus secara besar-besaran, bisa kelompok kecil agar lebih efektif. Pemberdayaan ini juga bertujuan agar orang yang menerima edukasi mampu membuat keputusan (isu kesehatan reproduksi),” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments