Sentimen anti-feminisme di Korea Selatan kembali menjadi sorotan setelah tersebarnya percakapan di forum daring khusus laki-laki yang mengkritik atlet memanah An San sebagai megal feminist atau feminis radikal berbahaya karena berambut pendek.
Forum tersebut menyatakan An San memenuhi semua kriteria menjadi seorang feminis bukan karena rambut cepaknya saja, tapi karena dia juga penggemar grup idola MAMAMOO, dan menempuh pendidikan di kampus khusus perempuan Gwangju Women’s University. Selain itu, An San juga dituduh menggunakan ucapan yang menghina laki-laki di media sosialnya.
Akun Twitter solidarity.kr_ yang mengangkat isu sosial di Korea Selatan dalam cuitannya menyatakan tuduhan menggunakan retorika menghina laki-laki itu merupakan taktik yang sering digunakan para anti-feminisme untuk memobilisasi publik agar menghujat An San secara besar-besaran.
“Terganggu oleh keberanian An dan penolakan dia terhadap ekspektasi akan ‘perempuan yang baik’, para laki-laki ini membuat strategi kampanye online untuk menjatuhkan An,” ungkap solidarity.kr_ dalam salah satu cuitannya.
Atlet berusia 20 tahun ini telah memboyong tiga medali emas untuk kategori olahraga panahan campuran, women’s individual, dan women’s team dalam Olimpiade Tokyo 2021, namun alih-alih bangga terhadap prestasinya, para anti-feminis mengirimkan ratusan pesan ke situs Korean Archery Association untuk meminta pencabutan kembali emas yang diraihnya.
Baca juga: Bagi Kelompok Anti-Feminisme Ketertindasan Perempuan adalah Ilusi
Sebelum An San, kasus anti-feminisme di Korea Selatan meruak ketika anggota grup idola Red Velvet Irene diserang oleh penggemar laki-laki karena membaca novel sarat feminisme Kim Ji-young Born:1982 pada 2018. Mereka membakar foto Irene sebagai bentuk protes terhadap gestur Irene yang mengasosiasikan diri dengan feminisme. Padahal, selebritas laki-laki yang membaca buku yang sama, seperti komedian Yoo Jae Suk, tidak pernah menerima kecaman publik.
Di tahun yang sama, Naeun dari grup idola APink dirundung secara daring karena mengunggah foto dirinya dengan casing ponsel bertuliskan “girls can do anything”, yang dianggap meresahkan publik karena mengindikasikan nilai feminisme. Perisakan publik yang ekstrim sampai menerima komentar body dan slut shaming juga dialami Sulli, mantan anggota grup idola (f)x, yang secara terang-terangan menunjukkan dukungan untuk kesetaraan gender di Korea Selatan. Sulli meninggal karena bunuh diri pada tahun 2019.
Kebencian pada feminisme juga ditunjukkan rapper SanE dengan lagu “Feminist” yang sarat akan miskonsepsi bahwa feminis adalah kelompok radikal yang ingin menindas laki-laki. Konsep feminisme yang disalahartikan tersebut juga menjadi bahan riset yang dilakukan Korean Women’s Development Institute, lembaga riset isu perempuan yang bergerak di bawah kantor Perdana Menteri Korea Selatan, pada 2019.
Riset tersebut menemukan laki-laki di usia 20-an terlibat dalam aksi diskriminasi gender dan tidak menyukai feminisme mencapai 50.5 persen. Sementara laki-laki di usia 30-an mencapai 38.7 persen, usia 40-an 18.4 persen, dan 50-an 9.5 persen. Total responden dari riset tersebut mencapai 3.300 orang.
Mengutip media Foreign Policy, anak muda Korea Selatan memiliki perilaku seksis dan misoginis karena melihat diri mereka sebagai korban dari feminisme. Laki-laki tersebut melihat perempuan sebagai ancaman karena menilai mereka mendapat perlakuan istimewa. Belum lagi ada isu tentang wajib militer untuk laki-laki yang dianggap menghambat karier mereka.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Feminis yang Benci Feminisme Religius
Melihat situasi tersebut, Korea Selatan menjadi sebuah paradoks. Ketika konten hiburannya, seperti drama dan film melek tentang kesetaraan gender maupun diskriminasi yang dihadapi perempuan, masyarakatnya masih terjebak dalam kebencian pada perempuan akibat miskonsepsi tentang feminisme.
Misandri Wajah Feminisme di Korea
Gerakan perempuan di Korea Selatan kebanyakan berbasis pada pembebasan dari tatanan nilai patriarki yang diwarisi ajaran Konfusianisme. Kritik dari feminis menyebut Konfusianisme memiliki pengaruh besar pada kepatuhan perempuan pada laki-laki. Sebelum menikah perempuan harus patuh pada ayah, setelah menikah pada suami, sementara di hari tua mereka harus tunduk kepada anak laki-laki mereka.
Dosen Pendidikan Bahasa Korea di Universitas Pendidikan Indonesia, Ashanti Widyana mengatakan, pengaruh ajaran Konfusianisme tersebut sangat kental di era Joseon (1392-1910) dan berdampak pada penghilangan hak perempuan secara pribadi untuk berkembang.
“Kalau balik ke sejarah di Kerajaan Goryeo (918-1392) dan Silla (668-935) tidak separah Joseon karena perempuan masih bisa menjadi pemimpin. Jadi untuk menghilangkan kebiasaan karena hierarki dan nilai patriarki Konfusianisme ini perlu waktu dan pelan-pelan,” ujarnya kepada Magdalene April lalu.
Selain melawan nilai Konfusianisme itu, gerakan perempuan di Korea Selatan juga tidak luput dari gerakan politik, seperti pembebasan dari kolonialisme Jepang dan menggulingkan pemerintah diktator atau minjung feminism, menurut penelitian Mapping South Korean Women’s Movement During and After Democratization: Shifting Identities oleh Hur Song-woo dari Sungkonghoe University, Seoul.
Tahun 2000-an gerakan perempuan Korea Selatan kemudian semakin berkembang dan beragam, seiring dengan munculnya feminis muda yang menggarisbawahi keberagaman pengalaman perempuan.
Salah satu yang cukup berpengaruh adalah situs Megalian yang menyediakan forum untuk mengkritisi perilaku seksis dan misoginis. Kerap dikiritisi di forum ini adalah situs Ilbe, yang sering menyerang dan merendahkan perempuan. Namun Megalian yang mengklaim diri sebagai feminis radikal sering kali dibanjiri komentar yang menunjukkan sentimen anti-laki-laki atau misandry. Lama-lama kelamaan komunitas ini dianggap telah menimbulkan keresahaan masyarakat.
Baca juga: 10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme
Perpecahan mulai terlihat ketika Megalian mengeluarkan peraturan yang melarang diskriminasi terhadap pria gay pada 2016. Dilansir dari situs Real Koreans, beberapa pengguna meninggalkan situs tersebut dan mendirikan Womad, sebuah forum yang juga ditujukan untuk feminis radikal. Forum tersebut juga tidak lepas dari kontroversi karena ungkapan kebencian ekstrim terhadap laki-laki di dalamnya. Misalnya, seorang anggota forum mengaku telah membunuh seorang pria. Ada juga yang mengaku telah memperkosa seorang anak laki-laki dari Australia.
Selain Womad, beberapa pengguna Megalian juga pindah ke forum Ladism yang disebut tidak ‘se-ekstrim’ Womad. Setelah menerima banyak kritikan dari public, pada 2017 situs Megalian resmi ditutup.
Aktivisme dan feminisme radikal secara online tersebut kemudian menjadi perwajahan feminisme bagi masyarakat Korea Selatan, yang mempersepsikan misandri sebagai bagian dari feminisme. Karenanya, laki-laki dan perempuan enggan mengasosiasikan diri dengan feminisme akibat takut dicap membenci laki-laki, meskipun mereka ingin melawan tatanan masyarakat yang diskriminatif pada perempuan.
Perempuan Korea Selatan Balik Melawan
Gerakan perempuan dan feminisme di Korea Selatan memiliki perjalanan yang kompleks dan penuh penolakan. Ketika gerakan perempuan menerima perundungan, laki-laki dengan komentar seksis dan misoginis masih berkeliaran bebas di forum online maupun media sosial. Belum lagi ada tantangan dari kelompok fundamentalis keagamaan Korea Selatan yang menilai feminisme sebagai keegoisan perempuan.
Walaupun menghadapi tantangan tersebut, gerakan perempuan dan feminisme juga semakin gencar. Pada 2016 gerakan feminisme semakin diperkuat dengan solidaritas melawan seksisme dan misogini, setelah kasus pembunuhan perempuan berusia 23 tahun yang ditusuk di kamar mandi Stasiun Gangnam, Seoul. Pelaku (34) mengaku meskipun dia tidak mengenal korban, dia membenci perempuan pada umumnya karena merasa sering tidak dihiraukan oleh mereka. Masyarakat yang mengutuk pelaku dan nilai-nilai misoginis kemudian meninggalkan pesan turut berduka cita yang ditempelkan di pintu keluar 10 Stasiun Gangnam.
Dua tahun kemudian masyarakat Korea Selatan ikut demonstrasi #MeToo dan pada Mei di tahun yang sama, 12 ribu perempuan melakukan demonstrasi di Stasiun Hyewa melawan molka (spy cams) atau kamera kecil yang disembunyikan di kamar mandi publik untuk merekam perempuan secara diam-diam. Tuntutan kepada pemerintah untuk menindaklanjuti kasus molka dan memberikan hukuman yang berat pada pelaku terus berlangsung selama tiga bulan dan berhasil menghimpun lebih dari 70 ribu orang.
Pada 2019 gerakan 4B yang didalangi feminis radikal Korea Selatan mengajak perempuan melawan dominasi laki-laki dan ekspektasi tradisional dengan menolak berhubungan seksual, mengandung, berpacaran, dan menikah dengan laki-laki. Gerakan perempuan juga memulai gerakan escape the corset untuk melawan standar kecantikan yang mencekik dan menampilkan diri mereka apa adanya.
Para feminis radikal ini menggunakan kekuatan mereka untuk menutup situs porno terbesar Korea Selatan, Soranet, yang diindikasikan sebagai wadah untuk prostitusi anak di bawah umur. Selain itu, mereka juga menggalang dana untuk memasang iklan melawan spy cams yang meresahkan perempuan di setiap kendaran umum di Seoul.
Meskipun upaya kelompok-kelompok feminis Korea telah membawa dampak, namun stigma “pembenci laki-laki” terus menempel pada mereka, dan media termasuk yang melanggengkan ini sehingga menenggelamkan apa yang telah mereka capai.
“Para feminis direpresentasikan sebagai pendukung misandri agar usaha mereka mencapai kesetaraan juga distigma,” ujar akademisi dari Changwon National University, Yun Kim Ji-yeong, dalam wawancaranya dengan Vice.
“Masyarakat seharusnya fokus pada perubahan positif yang dibawa para feminis gelombang baru ini.”
Comments