Dalam liputan media massa Indonesia, ia dijuluki “Ratu Heroin”, walau sebenarnya perjalanan hidup Merry Utami menuju hukuman mati tidak pernah bergelimang harta atau kemewahan.
Kisah hidup Merry sebetulnya adalah sebuah tragedi. Bekerja sebagai asisten rumah tangga di luar negeri untuk melepaskan diri dari kekerasan dalam rumah tangga, Merry kemudian menjadi korban sindikat narkoba internasional.
Sabtu lalu, perempuan yang telah menjadi nenek di usia 42 tahun itu dipindahkan dari penjara di Tangerang ke Nusakambangan, di mana “gelombang ketiga” eksekusi hukuman mati kasus narkoba kian dekat. Pihak berwenang belum mengukuhkan, namun diperkirakan 14 pengedar narkoba akan dieksekusi oleh regu penembak pada Jumat malam, dan bahwa Merry akan menjadi satu-satunya perempuan di antara mereka.
Pada jam-jam terakhir sebelum mereka dieksekusi, terpidana hukuman mati di Indonesia dapat membuat permintaan terakhir – seperti makanan khusus, doa atau waktu bersama orang terdekat.
Permintaan terakhir Merry adalah agar Presiden Joko Widodo meninjau permohonan grasinya.
Pengacara-pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengajukan permohonan mendesak pada hari Selasa, disertai sebuah surat pendek dengan tulisan tangan Merry yang sederhana.
“Bapak, saya sangat menyesal atas kebodohan yang saya perbuat hingga membuat pelanggaran hukum,” tulisnya.
"Semoga Bapak Jokowi dengan kemurahan hati bisa mengampuni semua yang pernah saya lakukan."
Pengacaranya mengatakan, Merry seharusnya tidak dapat dieksekusi hingga permintaan tersebut terjawab; dikabulkan atau ditolak.
Perjalanan Merry menuju hukuman mati
Dalam pemberitaan yang meluas, dilaporkan bahwa Merry ditangkap dengan 1,1 kg heroin di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Oktober 2001. Pada 2003, ia kalah pengadilan banding untuk menangguhkan hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Dan seiring dipindahkannya ia ke Nusakambangan, ia memperoleh kabar bahwa permintaan peninjauan kasusnya juga ditolak.
Merry ditempatkan di sebuah sel isolasi dan diberikan dukungan rohani dalam persiapan menuju hukuman mati.
Bagaimana ia bisa sampai pada titik ini?
Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Merry pada awalnya dipaksa oleh suaminya untuk menjadi pekerja domestik di luar negeri.
Ketika perempuan dari Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut bekerja banting tulang di Taiwan dan mengirimkan gajinya ke rumah, suaminya menghabiskan uangnya dan malah melakukan kekerasan. Pada usia 27, ia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya, namun ia kembali bekerja ke luar negeri untuk membiayai hidupnya dan anaknya.
Sendirian dan rentan, Merry sedang berada di Jakarta, mempersiapkan berkas-berkas, ketika ia bertemu dengan seorang pria asal Kanada, “Jerry”, yang menghujaninya dengan hadiah dan kasih sayang dalam hubungan asmara selama tiga bulan. Jerry mengajak Merry berlibur di Nepal, dan setelah tiga hari pria itu mengatakan padanya bahwa ia harus kembali ke Jakarta lebih awal untuk urusan bisnis.
Berlagak dermawan, Jerry mengatakan seorang teman akan memberinya sebuah tas baru untuk dibawa pulang, karena tas Merry sudah jelek. Ketika diberi tas tersebut, Merry bertanya, mengapa tasnya sangat berat. Teman Jerry berkata padanya dengan santai bahwa tas itu berat karena kulitnya berkualitas bagus.
Merry kembali ke Indonesia, membawa serta tas barunya sebagai barang bawaan di kabin. Ia meninggalkan bandara dan hampir sampai di antrean taksi ketika ia ingat ia belum mengambil bagasinya. Ia kembali ke bandara dan menemukan bagasinya, lalu meninggalkan bandara untuk kedua kalinya sambil menyerahkan barang-barang bawaannya untuk pemindaian X-Ray – tidak menduga sama sekali ada sesuatu yang disembunyikan dalam tasnya.
Narkotika ditemukan, dan Merry ditangkap di bandara.
Mimpi buruk baru bermula
Tentu saja, orang pertama yang Merry coba hubungi untuk pertolongan adalah Jerry. Namun, nomor telepon Jerry sudah tidak aktif dan Merry sadar ia baru saja ditipu.
Menurut pengacara-pengacara dari LBH Masyarakat, Merry mengalami sejumlah pemukulan ketika ditahan polisi, disiksa dan dipaksa mengakui bahwa heroin tersebut adalah miliknya. Dia bahkan dibawa dari kantor polisi dan diinterogasi lebih jauh di sebuah hotel, tempat ia diancam akan diperkosa.
Hingga saat ini, Merry telah hidup dalam bayang-bayang eksekusi selama 13 tahun.
Pengacara LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan Presiden Jokowi memiliki semua informasi tentang kehidupan Merry untuk memutuskan nasib Merry selanjutnya. Ia mengatakan, eksekusi harus ditunda dulu hingga petisi grasi dipertimbangkan. Namun pengalaman sebelumnya menunjukkan Jokowi kemungkinan tidak akan mempertimbangkan keadaan Merry.
Ketika ia menolak grasi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran – dua warga Australia yang termasuk dalam delapan tahanan yang dieksekusi April tahun lalu – ia tidak melihat dokumen-dokumen yang menunjukkan proses rehabilitasi keduanya selama 10 tahun dalam penjara. Namun dalam kasus lain, di saat yang sama, Jokowi mengabulkan penangguhan hukuman mati untuk Mary Jane Veloso, warga negara Filipina yang berada pada situasi yang mirip dengan Merry.
Mary Jane, orang tua tunggal dan pekerja rumah tangga, mengatakan ia diperdaya untuk membawa 2,6 kg heroin ke Yogyakarta enam tahun silam. Sekarang pasangan yang merekrutnya diadili di pengadilan Filipina dan Mary Jane tetap hidup untuk memberikan bukti.
Kenyataan pahit pekerja domestik
Komnas Perempuan mengatakan situasi buruk yang menimpa Merry menunjukkan bagaimana pemerintah Indonesia masih belum belajar dari kasus Mary Jane.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyati Chuzaifah mengatakan, informasi tentang kasus keduanya, Mary Jane dan Merry, telah dikirim langsung ke Jokowi.
“Jika Presiden membacanya, ia seharusnya mengerti,” katanya.
“Terdapat indikasi bahwa MU adalah korban perdagangan... ada kemungkinan di sini hukuman mati akan diberlakukan pada seorang korban.”
Komnas Perempuan meminta Presiden untuk menanggulangi faktor-faktor sebenarnya yang menyebabkan perempuan-perempuan ini dipenjara: kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan seringkali, kekerasan dalam rumah tangga.
Pembantu rumah tangga adalah target ideal sindikat narkoba yang ganas. Mereka memiliki paspor dan putus asa ingin segera terbebas dari kemiskinan. Mereka jauh dari keluarga, teman dan bantuan hukum. Setidaknya empat perempuan lain yang sedang menunggu hukuman mati di Indonesia ada dalam situasi ini, kata Komnas Perempuan.
Merry menghabiskan jam-jam terakhirnya bersama anak perempuan dan cucunya, kata pengacara Merry. Jika permohonan grasi Merry gagal, ia akan langsung dibawa dari selnya, terborgol dengan mata tertutup lalu ditembak di sebuah tanah lapang di Nusakambangan. Keluarganya telah berjanji untuk mengurus jasadnya setelah kematiannya.
*Diterjemahkan oleh Ayunda Nurvitasari. Artikel asli dapat di baca di sini.
Perkembangan Terbaru: Jumat dini hari (29/7), eksekusi berlangsung di Nusakambangan. Hanya empat dari 14 terpidana yang dihadapkan pada regu tembak, dan Merry bukan salah satu dari mereka. Pihak berwenang tidak memberikan alasan mengenai hal ini. Merry masih termasuk daftar penerima hukuman mati.
Comments