Pertengahan Agustus lalu, Joy, salah seorang anggota grup idola K-pop Red Velvet, dihujat sejumlah warganet laki-laki karena mengunggah foto dengan kaus bertuliskan “We all Should be Feminist” di akun instagram pribadinya. Mereka kebakaran jenggot karena idolanya mengenakan pakaian bertema feminisme. Ada yang bilang Joy bersikap egois karena mengenakan baju yang bisa membuat Red Velvet turun pamor. Ada juga yang mengancam akan pindah ke fandom lain hanya karena Joy pernyataan sikapnya “bermasalah”. Media memandang aksi Joy sebagai sebuah kontroversi.
Meski demikian, para penggemar perempuan Red Velvet, atau disebut Reveluv, tetap memberikan dukungan serta mempertanyakan mengapa perkara harus dibesar-besarkan sebagai hal negatif. Tidak ada yang salah dengan kaus itu, ujar mereka.
Para Reveluv perempuan ini lebih lanjut mempertanyakan laki-laki yang menghina Joy hanya karena mengenakan kaus bertuliskan feminis. Mereka mengatakan, Joy bebas mengenakan apa pun yang diinginkannya, dan jika ingin protes lakukan ke Dior sebagai produsennya. Tidak sedikit pula di antara Reveluv yang meminta para penggemar laki-laki toksik untuk meninggalkan fandom karena Joy masih akan tetap mendapatkan dukungan dari penggemar setia.
Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif
Joy bukan satu-satunya idola Korea yang pernah memakai baju dengan tulisan feminis. Sebelumnya, dua anggota BTS, Jimin dan Jin, tertangkap kamera mengenakan kaus lengan panjang bertuliskan “Gender Equality” dan “Radical Feminist”. Tapi tidak ada hujatan sedikit pun dari publik, berbeda dengan yang dialami Joy. Respons masyarakat menunjukkan adanya bias pendapat terhadap suatu isu yang melibatkan idola laki-laki dan perempuan.
Peristiwa serupa lain yang menunjukkan kembali ketimpangan yang melibatkan anggota Red Velvet dan BTS.
Pada 2018, Irene Red Velvet dicerca warganet karena kedapatan membaca Kim Ji Young, Born 1982, novel sarat pesan feminisme karya Cho Nam Joo (2016). Diangkat ke layar lebar dengan judul sama pada 2019, buku itu mengkritik budaya Korea Selatan yang masih sangat patriarkal. Ketika mengetahui Irene membaca buku itu, warganet laki-laki mengecam bahkan sampai merobek dan membakar fotonya.
Kecaman yang sama juga dialami Sooyoung dari Girls Generation dan Yeeun dari Wonder Girls setelah ikut mempromosikan buku serta film Kim Ji Young, Born 1982. Tetapi respons berbeda kembali muncul ketika tokoh publik laki-laki yang melakukannya. Komedian Yoo Jae Suk hingga rapper dan leader BTS RM juga telah membaca buku yang sama. Tapi mereka tidak menerima hujatan seperti yang dialami selebritas perempuan. Hal ini memperlihatkan adanya bias publik ketika perempuan menyuarakan isu kesetaraan gender. Banyak laki-laki tidak suka ketika idola perempuan berasosiasi dengan feminisme, bahkan jika itu hanya membaca buku, menonton film, atau mengenakan kaus.
Pembenci laki-laki
Di Korea Selatan, stigma negatif selalu mengikuti gerakan feminisme. Jika seseorang melabeli diri sebagai seorang feminis, maka akan dicap sebagai perempuan pembenci laki-laki. Pandangan buruk publik tentang feminis salah satunya karena media menyamakan feminisme dengan misandri. Ditambah lagi dengan pandangan misoginis serta budaya patriarki yang sudah mengakar.
Baca juga: 5 Alasan Absurd Laki-laki Benci Bintang K-Pop
Budaya patriarki juga menjadi alasan mengapa komentar pedas dan kasar lebih sering ditujukan kepada idola perempuan. Masyarakat patriarkal menentukan bagaimana seharusnya mereka berperilaku, bahwa idola perempuan harus pasif, submisif, dan imut-imut. Ketika mereka berada di luar spektrum ekspektasi tersebut, atau menunjukkan kuasa akan tubuh dan pikiran, maka mereka akan menerima celaan dari publik. Tidak ada salahnya menjadi atau membawakan lagu secara cute, tetapi ekspektasi tersebut mengerdilkan dimensi menjadi seorang perempuan, terutama untuk seorang idola.
Contoh standar ganda yang dilekatkan kepada perempuan dialami oleh Hwasa dari grup MAMAMOO. Pada perhelatan musik MAMA 2018 dan SBS Gayo Daejon 2018, Hwasa mengenakan pakaian yang dinilai sangat kontroversial karena menunjukkan terlalu banyak kulit dan dianggap sangat ketat. Ketika idola perempuan merasa nyaman dan percaya diri akan tubuh mereka sendiri, warganet akan mempermalukan mereka. Komentar bernada body shaming juga ditujukan kepada Hwasa. Lain hal jika idola lelaki tampil di atas panggung memamerkan tubuh dengan gerak tari sugestif. Kritik pedas atau ungkapan untuk menutup badan tidak dilontarkan. Hal ini menunjukkan adanya konservatisme pilih kasih dari warganet.
Meskipun begitu, Hwasa bersama ketiga anggota MAMAMOO lainnya tetap berkarya bahkan merilis “HIP”, lagu yang menyampaikan pesan untuk percaya diri dan tidak mengacuhkan ucapan orang lain yang membuat diri kita merasa kecil. Selain itu, dalam musik video “HIP”, MAMAMOO menyampaikan urgensi mengenai perubahan iklim, dukungan untuk komunitas LGBTIQ+, hingga perempuan di posisi pemimpin.
Komentar bias juga dirasakan ITZY, grup idola beranggotakan lima perempuan dengan rentang usia 17-20 tahun. ITZY terkenal dengan konsep teen-crush, lagu yang konsisten menunjukkan perempuan muda nyaman menjadi diri sendiri, dan dengan koreografi energik nan rumit. Mereka sering menerima pujian berbalut nilai misoginis. Pada sebuah video bertajuk “A Letter to MIDZY” yang diunggah 17 Agustus di kanal YouTube ITZY, salah satu anggotanya, Ryujin, mengatakan mereka sering menerima pujian berbunyi “Performance yang sulit untuk girl group” atau “Terlalu keren untuk girl group”.
Baca juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian
“’For a girl group’ feels like it’s implying we’re a little better than they expected,” ujarnya dalam video tersebut.
Grup idola perempuan sangat diharapkan menjadi lemah lembut dan ceria. Ketika menunjukkan penampilan powerful dengan koreografi yang sukar untuk diikuti, mereka keluar dari pengotakan tarian girl group yang sederhana. Hal itu merendahkan penampilan mereka sebagai sesuatu yang mudah dan tidak seharusnya kompleks sebagaimana koreografi grup laki-laki, dan bahwa perempuan lebih lemah secara fisik. Ryujin berharap publik memuji ITZY karena tampilan mereka yang memang ciamik tanpa embel-embel merendahkan yang disisipkan secara halus.
Red Velvet, MAMAMOO, maupun ITZY memang tidak langsung mengumumkan diri sebagai feminis. Namun tindakan mereka menunjukkan bahwa sebagai perempuan mereka memiliki agensi atas tubuh, emosi, dan pikiran mereka sendiri. Tidak ada campur tangan masyarakat patriarkal di dalamnya. Mereka menyuarakan ketimpangan akan ekspektasi tak adil yang dilabeli kepada mereka, dan ini menjadi bahasa feminis mereka masing-masing sebagai idola K-pop.
Comments