Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang jadi buah bibir tahun ini memicu perdebatan tentang penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia. Di antara debat itu lantaran beberapa pasalnya melarang sosialisasi alat kontrasepsi – dari pil KB hingga kondom – kepada anak dan remaja di bawah umur jika tidak dilakukan petugas yang berwenang.
Pekan lalu, Komnas Perempuan mengritik pasal RKUHP tersebut. Sebab, pasal ini dapat menjerat petugas non-pemerintah, sehingga makin membatasi informasi bagi banyak remaja dan anak muda yang membutuhkan alat kontrasepsi.
Sebenernya bagaimana penggunaan alat kontrasepsi pada kelompok tersebut?
(Flourish/TCID), CC BY
Kami meninjau beberapa data dan riset berdasarkan hasil Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) tahun 2017 – suatu survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan ICF International dari Amerika Serikat (AS), untuk melihat kondisi kependudukan dan kesehatan masyarakat Indonesia.
Data dan riset tersebut menunjukkan, ada banyak remaja perempuan yang sudah menikah maupun belum menikah yang tidak menggunakan alat kontrasepsi, dengan angka yang lebih kecil lagi pada laki-laki.
Data IDHS pada 2017 menunjukkan, dari 35.681 responden perempuan di Indonesia yang telah menikah, penggunaan alat kontrasepsi modern, termasuk sterilisasi, pil, suntik, dan spiral (IUD), yang paling rendah (43,8 persen) justru ada pada rentang usia 15-19 tahun – salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kehamilan berisiko.
Angka ini pun masih lebih rendah dari rata-rata penggunaan kontrasepsi di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Amerika Latin untuk perempuan di kelompok usia yang sama.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran laki-laki.
Berbagai akademisi mengatakan, fokus layanan KB yang berat sebelah pada perempuan merupakan diskriminasi gender dan berpotensi mengekang perempuan di ranah domestik.
Sayangnya, data terkait penggunaan kontrasepsi pada laki-laki di Indonesia cukup terbatas dan jumlah sampelnya pun jauh lebih sedikit dari perempuan.
Namun, menurut IDHS maupun riset-riset terkait, penggunaan kontrasepsi di antara laki-laki muda yang sudah menikah, baik pada data terbaru maupun selama 15 tahun terakhir, sangat rendah – tidak mencapai 5 persen dan bahkan bisa mendekati 0 persen untuk kategori 15-19 tahun.
Baca juga: Implementasi KB Masih Timpang Gender dan Diskriminatif pada Perempuan
Pada remaja yang belum menikah, rasionya jauh lebih rendah lagi.
Meski penulis belum menemukan data untuk remaja laki-laki, studi pada 2021 yang mengambil sampel hampir 8.000 perempuan dari data IDHS 2017 menunjukkan penggunaan kontrasepsi pada remaja perempuan yang belum menikah hanya mencapai 0,2 persen.
Tentu angka ini bisa jadi tidak menggambarkan realitas. Banyak remaja bisa saja mengaku tidak berhubungan seksual pra-nikah atau menggunakan kontrasepsi akibat stigma di masyarakat.
Studi memperkirakan persentase usia tersebut yang melakukan hubungan seks pra-nikah berkisar antara 9-33 persen, atau bahkan lebih banyak lagi.
Namun, angka penggunaan kontrasepsi untuk kelompok ini tetap mengkhawatirkan. Menurut riset pada 2020 yang mengulas riwayat seksual anak muda Jakarta, hanya 40 persen dari responden lajang yang aktif secara seksual rutin menggunakan kontrasepsi selama berhubungan seks dalam sebulan terakhir.
Apalagi, penelitian di 2017 menunjukkan larangan layanan kontrasepsi dan KB bagi orang yang belum menikah di Indonesia semakin menutup akses bagi banyak remaja dan anak muda yang rentan.
Baca juga: Kontrasepsi untuk Laki-laki: Mengapa Banyak yang Ogah Pakai?
Apa yang Harus Dilakukan?
Data penggunaan kontrasepsi pada remaja di Indonesia masih terbatas, dan perlu lebih banyak lagi riset dan kajian yang kaya.
Tapi, Mutiara Riani, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menjelaskan kemungkinan yang dapat menyebabkan banyak pasangan muda yang sudah menikah enggan menggunakan kontrasepsi – mulai dari interpretasi ajaran agama, larangan suami, hingga edukasi yang rendah mengenai risiko kelahiran yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak, baik secara kesehatan maupun konsekuensi ekonomi.
“Kalau pada kelompok yang belum menikah, masih banyak stigma masyarakat mengenai penggunaan kontrasepsi, baik kondom atau pil KB. ‘Kok anak gadis belum menikah, sudah pake kontrasepsi, ini pasti anak nggak bener’ misalnya,” katanya.
Sementara menurut akademisi, rendahnya penggunaan pada laki-laki muda bisa diakibatkan terbatasnya jenis kontrasepsi untuk mereka yang ditawarkan dalam layanan KB pemerintah, hingga berbagai mitos tentang kontrasepsi dan seksualitas.
Mutiara menekankan pentingnya sosialisasi dan pendidikan tentang alat kontrasepsi pada anak sejak dini.
“Mungkin sejak SD mulai bisa diajarkan pentingnya kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual. Keluarga pun harus lebih terbuka mengenai masalah ini,” katanya
“Harus ditekankan, seksualitas dan kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan alat kontrasepsi, itu bukan hal tabu. Bukan berarti melegalkan seks bebas, tapi bahwa hubungan seksual tanpa proteksi bisa berisiko, seperti risiko hamil di luar nikah dan tanpa persiapan, risiko terhadap penyakit menular seksual.”
“Hamil kan bukan sekadar hamil, melahirkan anak lalu semua masalah selesai begitu saja. Tapi proses membesarkan dan mendidik anak itu lebih menantang, dibutuhkan kesiapan secara fisik, materi dan mental,” pungkasnya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments