Women Lead Pendidikan Seks
December 06, 2022

‘Rent: the Musical’, Cerita di New York yang Relevan di Jakarta

Rent akhirnya diproduksi di Indonesia. Pesan menyentuhnya menusuk tajam karena ditayangkan di pekan sebelum peringatan Hari AIDS sedunia datang.

by Aulia Adam, Editor
Culture // Screen Raves
Share:

Dua sahabat, Mark Cohen (Gerardo Tanor) dan Roger Davis (Nino Prabowo), adalah seniman kere yang tinggal di East Village, Manhatan, New York. Mereka berdua bergulat untuk tetap hangat di Malam Natal, seraya melahirkan karya-karya seni.

Latar waktunya, antara 80-an akhir dan 90-an awal—puncak era seniman susah menyambung hidup jika mengandalkan karya belaka. Mark bercita-cita bikin film, sementara Roger ingin bikin lagu.

Benny Coffin (Aldafi Adnan), mantan teman sekamar mereka kini sudah kaya raya dan jadi pemilik tempat itu, menagih uang sewa pada Mark dan Roger yang sudah nunggak sejak tahun lalu. Dua seniman kere tentu saja tak mampu bayar, sehingga Benny mematikan listrik di gedung itu.

Baca juga: RENT The Musical, Broadway Legendaris Hadir di Ciputra Artpreneur

Narasi itu dibuka dengan monolog dari Mark memperkenalkan kawannya, Roger, dan situasi hidup mereka yang susah. Nadanya mengejek dan penuh humor, alih-alih sedih belaka. Di sela-sela itu, ia bahkan ditelpon sang Ibu yang mengirimkan ucapan “Selamat Natal” sembari mengingatkannya tentang Maureen, pacar—mantan pacar—yang telah mencampakkan Mark.

Sepenggal adegan pembuka itu hadir di atas panggung Ciputra Artpreneur Theater, 25 November kemarin. Untuk pertama kalinya, adaptasi Rent: The Musical, pertunjukan Broadway legendaris karya Jonathan Larson hadir di Indonesia. Semua dibawakan dalam bahasa Inggris, lengkap dengan lagu-lagu kenamaan yang populer dari pertunjukan musikal ini.

Buat penggemar lama Rent, seperti saya, pertunjukan malam itu adalah nostalgia hangat sekaligus momen haru mengenang ingatan tentang karakter-karakter legendaris di dalamnya.

Rent: the Musical Membawa Isu Penting yang Masih Relevan

Saya mengenal Rent pertama kali saat masih duduk di bangku SMP. Bukan dari pertunjukan Broadway, tentu saja. Pada 2005, pertunjukan ini diadaptasi jadi film musikal, dengan deretan pemain yang hampir semuanya pemeran asli karakter versi Broadway-nya.

Rent jadi istimewa bukan cuma karena lagu-lagu kerennya yang gampang tertinggal di kepala.

Five hundred, twenty five thousand, six hundred minutes

Five hundred, twenty five thousand moments so dear

Five hundred, twenty five thousand, six hundred minutes

How do you measure, measure a year?

Saya mengingatnya sebagai tontonan pertama yang pernah saya konsumsi, yang mengangkat tema HIV dengan sangat humanis. Semua karakter utama di dalamnya, kecuali Mark, Maureen, Joanne, dan Benny adalah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha). Hidup mereka memang tidak mudah dan penuh diskriminasi, bahkan kepayahan mendapat pengobatan, tapi juga bisa bahagia, penuh cinta dan tawa, hangat, dan bergairah. Sama seperti manusia pada umumnya.

Rent boleh dibilang salah satu film paling revolusioner yang saya tonton dan punya dampak besar. Selain Odha, mereka juga punya karakter-karakter LGBTQ, yang sama humanisnya. Buat anak kecil yang di usia segitu hanya diajarkan nilai-nilai patriarki, heteronormatif, dan religius, Rent adalah tontonan mengguncang iman, pemantik nalar, sekalian pemecah realitas.

HIV yang selama ini diajarkan sebagai penyakit menular mematikan, ternyata tidak lebih berbahaya dari stigma yang ditempeli pada orang-orang yang mengidapnya. Kesulitan mereka dapat obat juga berkelindan dengan permasalahan kemiskinan yang sistemik.

Sayangnya, tontonan ini masih relevan hingga hari ini. Pengobatan HIV yang jauh lebih canggih dari dua sampai tiga dekade lalu (saat pertunjukan ini pertama kali tayang di Broadway) ternyata masih tak diketahui banyak orang. Stigma pada Odha dan LGBTQ masih jadi momok besar, apalagi di Indonesia. Sehingga, meski latar Rent: the Musical terjadi di New York, ia tetap tontonan relavan buat kita di Jakarta.

Baca juga: Potret Bissu dalam Pameran Seni Tanarra di Jakarta Biennale

Mengenang Warisan Larson

“Kemiskinan, gelandangan, kehidupan gay yang berani, drag queens dan punk,” kata-kata ini digunakan Larson untuk menjelaskan naskah Rent yang dibikinnya.

Naskah itu terinspirasi dari sebuah pertunjukan opera bernama La Bohème, karya komposer Italia Giacomo Puccini. Ceritanya tentang sekelompok seniman miskin yang berjuang hidup di Paris, di tengah krisis Tubercolosis (TBC), sekitar tahun 1830-an. Larson menulisnya bersama penulis teater, Billy Aronson.

Wabah TBC kemudian diganti Larson dengan HIV dan AIDS, saat mereka menulisnya di tahun 1989. Sementara Paris diganti jadi East Village, New York.

Larson sendiri punya harapan ambisius buat Rent. Dalam interview pertama dan terakhirnya tentang pertunjukan ini, Larson bilang pada kritikus musik Anthony Tommasini dari The New York Times, bahwa mimpi terbesarnya adalah menulis sebuah opera rock yang “akan membawa pertunjukan musikal teater ke generasi MTV.”

Baca juga: ‘Tick, Tick… Boom!’: Kisah Sang Komposer Berpacu dengan Usia 30

Sehari setelah interview itu, pada 25 Januari 1996, Larson meninggal dunia dengan dugaan aneurisma auorta atau penggelembungan pembuluh darah. Padahal minggu itu adalah minggu pembukaan pertunjukan pertama Rent. Show mereka meledak karena review-review bagus dan menyentuh, sekaligus antusias orang-orang menonton pertunjukan yang ditinggal mati sang kreator sebelum betul-betul tayang. Kisah hidup Larson ini yang kemudian difilmkan jadi Tick, Tick... Boom! di Netflix dan dibintangi oleh Andrew Garfield.

Saya tak bisa tak terkenang kisah tragis hidup Larson saat menonton Rent: the Musical yang dibawa Teman Musicals. Terutama saat mereka menyanyikan lagu-lagu populer dari pertunjukan ini dengan lirik menyentuh, macam Seasons of Love.

In five hundred, twenty five thousand, six hundred minutes

How do you measure a year in a life?

Pertunjukan malam itu juga diisi stamina stabil para aktornya. Terutama dari Gallaby dan Louise Monique, yang berhasil membawakan pasangan lesbian favorit saya, Maureen dan Joanne. Suara mereka yang menggelegar berhasil bikin Take Me or Leave Me yang sudah dibawakan berulang-ulang kali oleh macam-macam artis jadi versi segar, tapi tetap menggairahkan dan penuh amarah seperti versi aslinya.

Penampilan lainnya yang konsisten membawa cerita stabil dari awal hingga akhir datang dari si karakter utama, Mark Cohen versi Asia, yang berhasil dibawakan aktor Gerardo Tanor.

Pesan-pesan tentang diskriminasi yang dirasakan Odha dan LGBTQ juga jadi makin tebal akrena pertunjukan kemarin diadakan di minggu terakhir menjelang peringatan tahunan Hari AIDS sedunia. Momen ketika Angel, salah satu karakter paling memorable di pertunjukan itu, harus menghadapi ujung tragis jadi salah satu momen paling haru.

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.