Empat anak perempuan di Papua diduga diperkosa oleh politisi Gerindra dan pejabat setempat. Baik korban dan keluarga yang berniat melaporkan pelaku, justru diganjar dengan intimidasi. Kasus ini sendiri viral usai eks tahanan politik Papua Ambrosius Mulait menceritakan kronologinya melalui akun Twitter pribadi @Mulalt_.
"Ajak korban ke Jakarta tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga pada pertengahan bulan April 2021 lalu, dan modus hanya mau kasih uang pada bulan Juni, tetapi berubah menjadi aksi penculikan terencana dengan pemaksaan memberikan minuman alkohol, mengajak ke bar, menganiaya," cuit Ambros.
Kasus ini kembali memunculkan pertanyaan berulang: Apakah kita perlu menerapkan pendekatan penyelesaian restorative justice (keadilan restoratif) untuk kasus pidana yang melibatkan kekerasan fisik macam pemerkosaan? Lalu bagaimana cara menerapkannya agar tak sesembrono klaim Menteri Mahfud MD beberapa waktu silam?
Baca juga: Polisi Pemerkosa, Kepada Siapa Lagi Perempuan Cari Pertolongan?
Apa Itu Restorative Justice?
Pendekatan yang muncul ke permukaan sejak 1977 ini diperkenalkan oleh Albert Eglash. Pada dasarnya, restoratif yang dimaksud pada kala itu adalah prinsip restitusi yang diperluas dengan cara melibatkan korban dan pelaku. Tujuannya, agar penyelesaian perkara dilakukan dengan mengamankan pemulihan bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku. Seiring dengan berjalannya waktu, pendekatan keadilan restoratif kemudian mengubah paradigma pemidanaan dari fokus pembalasan terhadap pelaku kepada fokus pemulihan terhadap korban.
Pemulihannya seperti apa? Bukan hanya pemulihan secara ekonomi, tapi juga fisik dan psikis, melalui rehabilitasi medis, mental, dan sosial. Seharusnya, dengan berbagai regulasi yang telah berubah dari tahun ke tahun ini, hubungan restorative justice dengan kasus kekerasan seksual bisa semakin dekat, karena pemulihan yang merupakan jantung dari restorative justice seharusnya bisa jadi rumah bagi korban kekerasan seksual.
Sayangnya, kecocokan itu pula yang jadi masalah dalam pelaksanaan restorative justice kasus kekerasan seksual. Prinsip pelaksanaan restorative justice yang sering dikaitkan dengan mediasi penal (proses mediasi dalam penyelesaian perkara pidana) agaknya sangat sulit untuk diterima dari sisi korban. Begitu pula dalam persepsi masyarakat mengenai penanganan kasus kekerasan seksual: “Bagaimana mungkin perdamaian bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual?”
Komnas Perempuan mencatat, kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 adalah sebesar 299.911 buah, didominasi kekerasan di ranah pribadi atau privat. Hasil penelitian Komnas Perempuan terhadap kekerasan di ranah privat (termasuk kekerasan terhadap anak perempuan) menyebutkan, banyak kasus yang mandek di tahap pengaduan ke kepolisian dan tidak sampai ke tahap persidangan di pengadilan. Muasalnya tak lain karena banyak kasus yang diselesaikan melalui penerapan restorative justice--yang diterjemahkan secara tekstual sebagai mediasi atau upaya dama.
Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
Ini jelas keliru. Sebab, pencabutan perkara maupun penyelesaian secara damai tersebut tidak serta merta menghentikan kasus kekerasan. Sebaliknya, itu dapat memberikan dampak berulang dan lebih parah. Kedudukan korban kekerasan seksual dalam pelaksanaan restorative justice melalui mediasi juga berpotensi memberikan tekanan berlapis baginya: Pelaksanaan mediasi yang harus bertemu dan berkomunikasi dengan pelaku, pun opsi perdamaian yang belum tentu dapat memberikan rasa keadilan bagi korban.
Lalu Apa Solusi Terbaiknya?
Saat ini belum banyak aparat penegak hukum yang telah melaksanakan pemberian pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Ini diperparah dengan persyaratan yang ketat untuk dapat dikabulkannya bentuk pemulihan bagi korban, proses pengajuan pemulihan yang belum tentu dipahami bahkan diketahui oleh korban, posisi pemulihan yang belum menjadi fokus utama dalam penyelesaian perkara kekerasan seksual, hingga belum jelasnya ketentuan teknis dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses pemulihan korban.
Tidak heran, banyak korban kasus kekerasan seksual kemudian hanya diperlakukan sebagai ‘saksi kunci’ dalam membuktikan suatu perkara pidana terkait kekerasan seksual, bukan sebagai ‘subjek’ yang seharusnya diperhatikan nasibnya setelah proses penuntutan dan pemeriksaan selesai dilakukan.
Padahal, dalam proses pemeriksaan korban sebagai saksi saja sudah barang tentu memberikan tekanan psikis untuk korban mereka ulang kejadian yang dialaminya. Takk jarang, saat diperiksa sebagai saksi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun masih mengarahkan kondisi ketidakberdayaan korban sebagai hal-hal yang ‘mungkin’ dapat menjadi celah dalam membuktikan kejahatan pelaku.
Baca juga: Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sulit Cari Keadilan Hukum
Meskipun telah ada ketentuan penanganan kasus terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum dalam internal instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun peradilan, tapi hal-hal demikian masih kerap terjadi dalam proses pemeriksaan korban sebagai saksi.
Selain itu, praktik penyelesaian dengan pelaksanaan pemulihan yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual biasanya dilakukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dengan anak pula sebagai korbannya. Sementara, bagi korban yang telah berusia dewasa, pelaksanaan pemulihan lebih sering dilakukan atas inisiatif korban atau keluarga korban sendiri.
Singkatnya, dengan persepsi yang masih menganggap korban hanya sebagai ‘saksi kunci’ dalam tindak pidana kekerasan seksual, tentu saja persepsi ‘pemulihan’ sebagai jantung dari restorative justice akan sulit diwujudkan. Ini tak hanya soal pemerkosaan di Papua, tapi juga kekerasan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia, pun pemerkosaan lain yang terjadi di Tanah Air.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments