Women Lead Pendidikan Seks
August 09, 2022

Review ‘Darlings’: Aksi Balas Dendam Istri Korban KDRT

Darlings membawa perspektif perempuan korban KDRT yang akhirnya memutuskan balas dendam atas kekerasan yang dilakukan suaminya

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Screen Raves
Review Darlings
Share:

Peringatan pemicu: Artikel ini mengandung konten kekerasan dalam rumah tangga, jika kamu dalam keadaan tidak siap, kami menyarankan untuk tidak lanjut membaca.

Baru-baru ini sebuah film India rilisan Netflix sedang jadi perbincangan hangat para warganet. Film ini berjudul Darlings, rilis pada 5 Agustus lalu dan dibintangi oleh Alia Bhatt serta disutradarai oleh sutradara perempuan, Jasmeet K. Reen.

Di Indonesia, Darlings banyak mendapatkan respon positif dari para warganet baik laki-laki ataupun perempuan. 

Namun, respons berbeda alias negatif juga datang dari negara lain. Dilansir dari IndiaTVNews, sebelum film ini resmi dirilis pada 5 Agustus lalu, tagar #BoycottAliaBhatt dan #BoycottDarlings sudah masuk dalam trending di Twitter India.

Aksi pemboikotan ini pun semakin gencar dilakukan setelah film resmi rilis dan dipenuhi dengan cuitan para aktivis atau pembela hak laki-laki atau disingkat MRA (Men’s Right Activist). 

The Swaddle, media independen di India melaporkan, MRA merasa Darlings telah menormalisasi kekerasan domestik terhadap laki-laki. Bahkan memberikan panduan bagi para perempuan untuk melakukan kekerasan terencana pada pasangan laki-lakinya.

MRA kemudian menyalahkan feminisme atas penangguhan kesadaran kolektif masyarakat tentang masalah kekerasan yang dilakukan terhadap laki-laki. Sehingga, kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada laki-laki tak pernah jadi sorotan publik.

Mereka juga merasa feminisme harus bertanggung jawab karena telah memberdayakan perempuan dan memberikan perempuan agensi untuk melawan ketertindasan. Sehingga menyisakan sedikit ruang untuk hak-hak laki-laki dalam melakukan apa pun yang mereka mau.

Sumber: IMDB

Baca juga: ‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri

Realitas Pahit KDRT yang Dialami Perempuan

Respons MRA tentang Darlings jelas sangat konyol. Masalahnya, Darlings mengangkat tema kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang sudah jadi realitas jamak bagi perempuan seluruh dunia. KDRT sendiri adalah epidemi kekerasan terhadap perempuan dan kasusnya tercatat terus meningkat tiap tahun.

Dalam Darlings, Jasmeet K. Reen mengangkat tema KDRT dengan perspektif perempuan dan tak sungkan menggambarkan realitas perempuan dengan begitu blak-blakan tanpa ada pemanis sedikit pun. Hal yang jarang ditemui dalam film dengan tema serupa, sehingga efek dari menonton 1 jam awal film ini memberikan efek emosional cukup kuat bagi penontonnya.

Film ini membuat penonton tidak nyaman, tapi menyajikan tontonan yang dibutuhkan. Terutama, agar penonton setidaknya bisa memahami kondisi perempuan korban KDRT yang terperangkap dalam hubungan abusif.

Melalui karakter Badru yang dibintangi Alia Bhatt, Jasmeet misalnya secara terang-terangan memvisualisasikan kekerasan berulang yang dilakukan Hamza Shaikh (Vijay Varma), suami Badru. 

Badru dipukul, dibenturkan kepalanya ke tembok dan lemari, dijambak dan ditarik kepalanya. Bahkan tangannya dilukai dengan sepatu heels. Semua luka ini harus ia terima kebanyakan karena alasan-alasan konyol atau karena tidak mau menuruti kemauan suaminya.

Intensitas kekerasan yang dialami Badru pun semakin tinggi kalau Hamza sedang mabuk. Ketika Hamza sudah terbangun dari hangover-nya, ia akan buru-buru memberikan kasih sayang pada Badru. Memeluk, mencium, memberikannya pujian, dan berjanji tak akan mengulanginya. Pola begitu umum dilakukan oleh pelaku pada korbannya.

Cara Jasmeet menuturkan cerita Badru yang tetap bertahan, walau disiksa habis-habisan suaminya terasa begitu dekat dengan realitas yang dihadapi korban-korban KDRT. Sikap Badru ini bisa saja bikin penonton geram dan bertanya-tanya, kenapa bisa begitu naif?

Dalam memahami sikap Badru, tentu kita harus memahami kompleksitas kondisi para korban kekerasan domestik. Dalam penelitian Why I stayed/left: An analysis of voices of intimate partner violence on social media (2015), Jason B. Whiting, Ph.D., LMFT, Profesor Terapi Pernikahan dan Keluarga di Texas Tech University mencatat

setidaknya ada delapan alasan mengapa perempuan memutuskan untuk bertahan dalam hubungan abusif. Alasan ini antara lain adalah pikiran yang terdistorsi, harga diri yang rusak, ketakutan, keinginan untuk menjadi penyelamat, anak-anak, harapan dan pengalaman keluarga, kendala keuangan, dan isolasi.

Dalam Darlings, Badru memutuskan untuk bertahan dengan Hamza karena kedelapan alasan ini. Ia merasa pantas mendapatkan kekerasan dari suaminya, dia merasa semua ini salahnya. Ia takut pada Hamza melukai ibunya bahkan membunuh dirinya jika ia memutuskan pergi.

Ia juga merasa perlu jadi penyelamat Hamza, Badru percaya ia bisa menyembuhkannya.  Ia misalnya percaya jika ia hamil, Badru pastinya akan berubah jadi sosok yang penuh cinta kasih. Namun, sayangnya harapan Badru sirna ketika Hamza melakukan kekerasan saat ia hamil dan harus mengalami keguguran.

Badru juga tumbuh dalam keluarga dengan ayahnya yang abusif, sehingga harus dibesarkan ibu tunggal. Pengalaman ibunya ini membuat Badru punya persepsi bahwa pernikahannya harus berhasil dan kalau bisa didasari cinta. Semua trauma itu diikat dengan ketidakberdayaan karakter Badru yang merupakan ibu rumah tangga tanpa penghasilan, selain dari suaminya.

Hamza juga tak suka jika Badru terlalu sering bergaul dengan ibunya sendiri dan bergaul dengan warga rusun lainnya. Kekangan rantai tak kasatmata di kaki Badru benar-benar kencang.

Melalui Darlings, Jasmeet juga menghadirkan realitas tentang pembiaran kekerasan terhadap perempuan dan budaya victim blaming yang terjadi di masyarakat patriarki. Dalam hal ini, Jasmeet menggambarkannya lewat aparat penegak hukum, yaitu polisi.

Ketika Badru dan ibunya, Shamshu Ansari (Shefali Shah) sudah muak dengan perilaku abusif Hamza, mereka berdua memutuskan untuk melaporkan kekerasan domestik yang dilakukan Hamza.

Dalam sebuah adegan singkat, tapi mengena, Shamshu bermonolog di depan polisi tentang mengapa laki-laki bisa menjadi monster apalagi jika sudah candu minum alkohol. Polisi laki-laki yang saat itu duduk tepat di depan Shamsu langsung menyeletuk tanpa empati, “Semua itu karena perempuan yang membiarkan mereka (laki-laki)!”.

Adegan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kita memiliki tendensi untuk menyalahkan perempuan korban setiap ada kekerasan yang terjadi. Hal pertama yang dilakukan banyak orang adalah menyalahkan dan menghakimi korban.

Mendaftar kesalahan-kesalahan yang mungkin perempuan lakukan sampai mereka bisa mengalami kekerasan. Bukannya langsung menyalahkan perilaku pelaku.

Maka tak heran, kekerasan domestik jadi kekerasan sunyi. Perempuan kerap bungkam atas kekerasan yang pasangan mereka lakukan, karena mereka tahu bahkan ketika melaporkan merekalah yang justru disalahkan.

Sumber: IMDB

Baca juga: ‘Maid’: Cerita Jatuh Bangun Ibu Lepas dari KDRT

Alternatif Realitas Perempuan Korban KDRT

Kasus KDRT ibarat penjara dengan rantai yang membelenggu kaki serta tangan perempuan korban, sehingga jalan keluar sering kali terasa jauh sekali. 

Dalam banyak kasus KDRT, sering kali perempuan korban berakhir tetap terperangkap relasi abusive yang menjeratnya. Bahkan sering menghadapi situasi membahayakan nyawa dan kesehatan mental mereka.

Belum lagi dengan pembiaran dan budaya victim blaming, perempuan jadi kesusahan mendapatkan keadilan atau pertolongan dari orang terdekat mereka. Di tengah keputusasaan perempuan korban yang serasa tak punya harapan, maka melalui Darlings, Jasmeet memberikan alternatif realitas perempuan korban KDRT.

Dalam Darlings, Badru sebagai korban KDRT memiliki orang terdekat dan terkasihnya, sang ibu sebagai support system-nya. Shamshu adalah sosok ibu yang tak segan mengomeli dan memarahi Badru jika Badru ngeyel untuk tetap bertahan dengan perilaku si suami. Ia tanpa lelah berusaha menyadarkan Badru tentang perilaku suaminya yang kemungkinan besar tak akan berubah.

Ia bahkan mengumpamakan laki-laki seperti kalajengking. Menurutnya, laki-laki akan mengatakan kekerasan adalah bagian dari diri mereka, diri yang penuh amarah dan penuh kekerasan. Layaknya kalajengking yang menyimpan racun dan suka menyengat, sebagai respon pertahanan diri mereka. Maka buat Shamshu, perempuan seperti Badru harus tahu kapan sebaiknya mereka lari dan menghindar dari jeratan ini.

Sebagai support system yang baik, Shamshu juga adalah sosok di balik keberanian Badru untuk melaporkan suaminya dan jadi alasan bagi Badru untuk balas dendam. Karenanya, Shamshu, menjadi figur yang sangat penting dalam kelangsungan cerita dan alternatif segar dalam kasus KDRT.

Fakta lapangannya, korban KDRT jarang mendapatkan support system yang bagus dari keluarga mereka sendiri. Tidak jarang bahkan orang tua yang membuat anak mereka tetap bertahan dalam perkawinan yang penuh kekerasan. Alasannya sangat klise, karena pernikahan harusnya dipertahankan dan punya tanggung jawab terhadapnya.

Tak hanya realitas alternatif dari seorang ibu yang suportif, Darlings juga memberikan realitas alternatif di mana perempuan korban KDRT bisa melawan balik pelaku. Hal yang mungkin jarang atau bahkan sama sekali tak terjadi di kehidupan nyata karena perempuan terjerat banyak sekali norma sosial budaya yang membatasi agensi mereka.

Darlings khususnya memperlihatkan bagaimana Badru yang sudah muak dengan perilaku abusif suami dan jerat manisnya memutuskan untuk membalas dendam. Ia ingin Hamza, merasakan apa yang ia rasakan. Ia ingin Hamza diperlakukan sebagai orang kelas dua, diperlakukan semena-mena dan dimaki-maki sesuka hati.

Namun, balas dendam ini tidak disajikan dalam ambiance gelap dan menegangkan layaknya film bergenre suspense thriller. Sebaliknya dengan sentuhan dark comedy, penonton diperlihatkan persekongkolan Badru dan Shamshu yang tak familier dengan tindakan kekerasan melakukan aksi balas dendam.

Aksi balas dendam mereka di satu sisi membuat penonton bisa tertawa tapi di satu membuat penonton bersorak sorai. Karena pada akhirnya pelaku kekerasan mendapatkan ganjaran atas perilakunya yang selama ini dibiarkan oleh masyarakat. Dan kini pelaku justru menangis dan memohon-mohon untuk dimaafkan. Tapi, ada  satu hal yang menarik dari aksi balas dendam Badru. Dalam gempuran aksi boikot MRA yang mengatakan bahwa film ini mempromosikan kekerasan domestik pada laki-laki, dalam babak terakhir Darlings justru menekankan tentang agensi dan kehormatan perempuan yang sebenarnya didefinisikan dan bisa diraih oleh dirinya sendiri.

Badru misalnya dalam aksi balas dendamnya, memutuskan untuk menghentikan aksinya dan meninggalkan Hamza. Awalnya ia dilarang oleh ibunya. Shamshu tetap bersikukuh membunuh Hamza, membaringkankan dalam keadaan terikat di rel kereta api. Namun, Badru justru memutuskan untuk melepas tali yang menjerat tubuh Hamza dan menyelamatkannya dia.

Ia berkata bahwa kehormatan itu miliknya, bukan milik Hamza. Jika ia memutuskan untuk membalas kekerasan dengan kekerasan maka Badru sama saja membiarkan suaminya, laki-laki mendefinisikan dan merebut kehormatan dan agensinya sebagai manusia.

Baca juga:  ‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan

Padahal keduanya itu sudah ada dalam dirinya sendiri. She’s a full human being with dignity and agency. Sehingga ketika Hamza sudah dibebaskan dari tali yang menjerat tubuhnya dan mulai mengancam Badru dan merendahkannya, Badru tak peduli lagi.

“Enyahlah! Aku ingin memulai hidupku sendiri,” begitu kata Badru.

Dengan demikian, Darlings tak seperti apa yang dikatakan para MRA, ia tak mempromosikan kekerasan terhadap laki-laki apalagi menormalisasikannya. Darlings sebagai film berperspektif perempuan justru memperlihatkan terang-terangan realitas tentang perempuan korban KDRT dan menekankan bagaimana agensi dan kehormatan perempuan itu sudah sedari dulu ada.

Namun, sayangnya dikubur jauh-jauh oleh masyarakat patriarki. Lewat norma agama, norma sosial, hukum, hingga didikan keluarga. Sehingga perempuan lupa bahwa mereka secara esensi adalah manusia bebas yang punya agensi, kehormatan, dan daya juang.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.