Peringatan: Spoiler dan penggambaran kekerasan seksual!
Saat Black Panther pertama kali rilis pada 2018, dunia serempak kagum. Untuk pertama kalinya kita disuguhkan gambaran Wakanda sebagai negara serba canggih. Mengusung konsep afrofuturism, film ini menggambarkan tak ada lagi penjajahan terhadap bangsa Afrika, peradaban dan budaya mereka bahkan melampaui kelompok putih itu sendiri.
Dalam kecanggihan teknologi itu, penonton juga diperkenalkan dengan Dora Milaje, pasukan elit khusus perempuan yang bertugas untuk melindungi Raja Wakanda. Dipimpin oleh jenderal Okaye (Danai Gurira), Dora Milaje digambarkan sebagai pasukan elit luar yang diisi hanya oleh para perempuan prajurit kuat, tangguh, dan cerdas.
Tak banyak yang tahu, tetapi faktanya penggambaran Dora Milaje ini terinspirasi dari Agojie, pasukan militer khusus perempuan dari Kerajaan Dahomey dari 1600-an hingga akhir 1800-an. Di Barat, mereka lebih dikenal sebagai The Amazons, lantaran mirip dengan prajurit perempuan dalam mitologi Yunani.
Dilansir dari insiders, sebagai pasukan militer khusus, Agojie terkenal “bengis”. Mereka dilatih dengan latihan fisik yang intens, diajarkan keterampilan bertahan hidup, serta punya ketidakpedulian terhadap rasa sakit dan kematian. Selama menjadi prajurit pun mereka tidak diizinkan untuk memiliki anak atau menikah. Tujuannya semata-mata agar tetap tangguh, fokus, dan siap berperang kapan saja.
Sejarah Agojie inilah yang berusaha diketengahkan Hollywood dalam film "The Woman King". Disutradarai oleh Gina Prince-Bythewood, sutradara dan penulis naskah kulit hitam yang beken dengan karya The Old Guard (2020), The Woman King disajikan lebih realistis lewat naskah yang ditulis oleh Dana Stevens.
Baca Juga: ‘Anne with an E’, Serial Berlatar Abad 19 dengan Isu yang Masih Relevan
Kekerasan Seksual dalam Film The Woman King Disampaikan dengan Hati-hati
Bertabur adegan aksi berdarah, The Woman King bisa dibilang sukses meruntuhkan stereotip seksis bahwa sutradara perempuan enggak becus bikin film laga yang epik. Penonton dibuat puas dan degdegan setiap aksi pertarungan Agojie terpampang di layar lebar. Sensasi ini pun semakin terasa ditambah dengan akting dari aktor papan atas Viola Davis sebagai Nanisca, Jenderal Agojie.
Sutradara perempuan itu enggak berhenti di aksi-aksi badass. The Woman King juga jadi penanda bagaimana realitas perempuan di masyarakat patriarkal disampaikan begitu nyata tapi juga penuh empati.
Dalam tulisannya di Los Angeles Times, Dana Stevens mengungkapkan seberapa penting isu kekerasan seksual bagi ia dan ketiga produser perempuan (Maria Bello, Viola Davis, dan Cathy Schulman). Isu itu digambarkan melalui kisah Nanisca yang mengalami kekerasan seksual berulang. Dalam konflik antarkerajaan Afrika, Nanisca pernah ditangkap dan menjadi tawanan kerajaan Oyo. Dalam gubuk tahanan, ia dianiaya dan disiksa. Ia juga diperkosa berulang kali oleh beberapa prajurit laki-laki, salah satunya Oba Ade yang akhirnya membuat Nanisca mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan melahirkan.
Beruntungnya, Nanisca entah bagaimana berhasil membebaskan diri dan memutuskan untuk bergabung sebagai Agojie. Ia menempa dirinya dengan latihan fisik yang intens. Ia juga sengaja mematikan rasa empati dan welas asihnya kepada orang lain. Semua ini ia lakukan demi menekan trauma kekerasan seksual yang ia alami. Sebagai gantinya, ia tumbuh menjadi prajurit tangguh yang tak pernah memperlihatkan emosi sama sekali.
Namun, trauma tentu tak selamanya bisa ditekan. Hampir setiap malam ia mendapati dirinya terbangun paksa karena mimpi buruk akibat kekerasan seksual yang ia alami. Luka traumanya pun semakin membesar saat Oba Ade yang kini telah jadi jenderal datang ke Dahomey untuk mengumpulkan upeti. Dalam pertemuan ini, Nanisca merasakan dirinya seperti dicekik. Mukanya tiba-tiba pucat, ia kesulitan bernapas, dan keringat dingin mengucur dari tubuhnya.
Cara bagaimana Nanisca merespons traumanya ini disampaikan secara runut dan hati-hati. Kata “pemerkosaan” atau “diperkosa” hanya muncul satu atau dua kali saja. Penggambarannya pun hanya diperlihatkan lewat petunjuk-petunjuk kecil, metafora mimpi serta ritual budaya yang bisa dipahami penonton dengan mudah.
Hal ini jelas membuat The Woman King berbeda dengan film atau serial yang disutradarai dan ditulis laki-laki seperti Games of Thrones, Outlanders, atau Blonde. Film dan serial yang secara sengaja menggunakan trauma porn untuk kelangsungan cerita dan selalu memosisikan perempuan hanya sebagai objek pasif saja.
Baca Juga: Review ‘She-Hulk: Attorney at Law’: Narasi Perempuan yang Menemukan Rumahnya
Lebih lanjut, trauma pemerkosaan dalam The Woman King juga tidak digambarkan sebagai suatu hal yang memberdayakan perempuan. Seperti yang ditulis Melissa McEwan dan Kylie Cheung, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seringkali digunakan sebagai perangkat plot untuk membuat karakter perempuan "menarik" atau kuat.
Dalam Games of Thrones misalnya, karakter Daenerys Targaryen (Emilia Clarcke) berulang kali diperkosa oleh laki-laki dan hal ini justru membuatnya kuat dan tangguh. Ini secara reduktif menghapus trauma seksual karena memosisikan kekerasan seksual sebagai bagian dari “pengembangan karakter” atau sebagai sesuatu yang patut disyukuri. Sebaliknya, dengan posisi kunci diduduki oleh perempuan, The Woman King justru menekankan kekerasan seksual berdampak hebat pada perempuan, sehingga tak patut disyukuri.
Dampak pada Nanisca misalnya, ia digambarkan makin sulit menavigasi diri. Mimpi buruknya semakin intens hingga ia memutuskan untuk enggan menutup mata. Ia juga semakin sulit didekati, mengisolasi diri, dan hanya mau berinteraksi dengan orang-orang penting.
Tak kalah penting, dibandingkan dengan sutradara dan penulis laki-laki yang menghadirkan kekerasan seksual sebagai bagian dari “hiburan”, Stevens dalam tulisannya yang sama bilang, The Woman King memperlihatkan bagaimana pemerkosaan dijadikan senjata perang.
Ahli teori politik terkenal Francis Fukuyama dalam Haaretz mengungkapkan tujuan utama negara adalah mengendalikan kekerasan dengan menciptakan monopoli kekuatan yang sah. Pemerkosaan dalam hal ini jadi senjata teror yang ampuh untuk memastikan kuasa absolut tersebut. Pemerkosaan dianggap berhubungan langsung dengan martabat manusia, sehingga dalam peradaban Romawi, itu dianggap sebagai senjata teror sekaligus “ekspresi kemenangan".
Sejarah Perdagangan Manusia di Afrika
Tak hanya berusaha menyampaikan isu kekerasan seksual, The Woman King juga mengelaborasi sejarah perdagangan manusia di Afrika pada 1800-an. Di sana digambarkan, beberapa kerajaan Afrika, termasuk Oyo menjadi sangat makmur karena tergabung dalam bisnis perdagangan manusia.
Oyo jadi pemasok budak bagi para penjelajah Eropa. Mereka ini konon dibayar mahal dari menjual saudara mereka sendiri. Disebut saudara sendiri karena setiap kali Oyo menang perang saudara, mereka akan menangkap setiap penduduk kerajaan yang ditaklukan dan menjadikannya budak.
Setiap akan dijual, “budak” kerajaan Oyo dipaksa mandi di ruang terbuka, tak terkecuali perempuan. Mereka diberikan makanan tak layak, disuruh terus berdiri, dimasukkan ke satu kerangkeng besar sampai saatnya mereka dibeli oleh penjelajah Eropa.
Baca Juga: Review ‘Enola Holmes 2’, Film Manis Paling Feminis Tahun Ini
Jika Oyo digambarkan bengis dan jahat karena tak segan menjual saudaranya sendiri, Dahomey justru dicitrakan “progresif”. Mereka menentang keras perdagangan manusia. Pun, mereka mengoptimalkan produksi minyak kelapa sawit sebagai kompensasi keuntungan dari perdagangan manusia di masa sebelum Raja Ghezo (John Boyega) berkuasa.
Ironisnya, apa yang coba The Woman King gambarkan mengenai Dahomey ini justru jauh dari kenyataan. Dilansir dari The Washington Post dan insiders, Dahomey sebenarnya punya peran besar dalam jaringan perdagangan manusia transatlantik kala itu. Pada 1727, Dahomey menaklukkan kerajaan pesisir Hueda dan menguasai kota pelabuhan Ouidah. Ini akan menjadi basis utama Dahomey untuk berdagang, termasuk berdagang manusia.
Patrick Manning, profesor sejarah dunia di University of Pittsburgh bilang, berbekal senapan asing melalui ekspor budak dan barang lainnya, pasukan Dahomey menangkap orang-orang dari kerajaan dan desa terdekat untuk dijadikan budak. Keterlibatan Dahomey dalam perdagangan manusia dipicu oleh permintaan Eropa akan tenaga kerja murah serta ketakutan mereka dalam melawan kekuatan asing bersenjata canggih.
Dibandingkan harus berkonflik dengan orang Eropa dan kalah, Dahomey memilih jadi pemain kunci dalam perdagangan manusia Afrika. Terkait ini, sejarawan memperkirakan hampir satu juta orang Afrika yang diperbudak dikirim ke Amerika di Ouidah antara 1659 dan 1863. Ini menjadikan mereka sebagai pemasok budak Afrika terbesar kedua.
Pada akhirnya walaupun The Woman King memberikan perspektif perempuan yang lebih humanis dalam mengangkat isu kekerasan seksual, film ini terjebak oleh idealisme sendiri. Dengan berbekal narasi fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata, The Woman King menyederhanakan sejarah kompleks Dahomey dengan mengubahnya menjadi kerajaan anti-perbudakan.
Comments