Women Lead Pendidikan Seks
September 19, 2022

Review Serial ‘The Bear’, Drama Seru yang Lahir dari Dapur

‘The Bear’ menampilkan serunya pertarungan, tagihan utang, trauma, rasa duka, kunjungan dari departemen kesehatan, listrik yang tiba-tiba mati, sampai adegan tembak menembak.

by Candra Aditya
Culture // Screen Raves
review atau ulasan the bear koki muda
Share:

Saya ogah menonton acara reality show seperti MasterChef atau Hell Kitchen sebab selalu berpikir, “Kenapa ada orang-orang yang mau kerja di lingkungan toksik begini?” Saya suka memasak tapi kalau dituntut untuk bikin masakan enak, dengan waktu terbatas, diteriaki tanpa henti oleh koki senior, enggak dulu, skip. Siapa yang butuh parade stres macam itu?

Namun, belakangan sikap saya melunak. Saya mulai membuka diri dengan tayangan drama memasak. Ini terutama sejak serial The Bear muncul. Saya makin bahagia ketika setelah menyelesaikan delapan episodenya, The Bear ternyata masih jadi salah satu serial terbaik saat ini versi saya.

Karakter utamanya adalah Carmen Berzatto atau Carmy (Jeremy Allen White). Ia merupakan alumni serial Shameless sekaligus chef yang sangat potensial. Pernah kuliah di institusi kuliner paling bergengsi dan bekerja di restoran paling hits di New York, siapa sangka, kali ini ia memilih untuk kembali pulang ke Chicago dan mengurus restoran milik kakaknya yang meninggal dunia. Rencana dia adalah mengubah restoran “rakyat” ini menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan: Sistem dapur lebih pantas, makanan lebih lezat. Toh, buat apa dia sekolah kuliner tinggi-tinggi kalau tidak bisa mengaplikasikan ilmunya ke restoran tersebut.

Sumber: IMDB

Baca juga: Mau Lebih Bahagia, Memasak adalah Jawabannya

Namun, tentu saja usahanya tidak semudah yang ia bayangkan. Saudaranya, Sugar (Abby Elliott, alumni Saturday Night Live), tidak mau ikut-ikutan dengan apapun yang dilakukan Carmy dengan restoran saudaranya. Sementara, Richie (Ebon Moss-Bachrach), sahabat kakaknya yang Carmy panggil dengan “Cousin”, melakukan segala cara agar revolusi yang dilakukan Carmy di dapurnya gagal.

“Dia anak kemarin sore!” teriak Richie. Tidak perlu psikolog untuk tahu bahwa Richie, yang tidak punya keahlian apapun di bidang kuliner, merasa tersaingi dan insecure dengan kemampuan Carmy.

Di tengah kekacauan ini, muncullah oase bernama Sydney (Ayo Edebiri). Sydney, seperti halnya Carmy, mempunyai latar yang sama. Sydney juga lulus dari Culinary Institute of America, punya pengalaman kerja di restoran terkemuka dan mempunyai ambisi untuk menjadikan dapur ini lebih layak. Makian, cibiran, dan sabotase akhirnya menjadi makanan hari-hari Sydney.

Bisakah dua orang muda ini melanjutkan revolusi mereka? Bisakah Carmy membuat dapur ini berbeda dengan dapur-dapur yang pernah ia masuki sebelumnya? Bisakah ia menjadikan dapur ini tidak toksik lagi?

Baca juga: Memasak adalah ‘Survival Skill’ Buat Semua Gender, Bukan Cuma Tugas Perempuan

Pelit Penjelasan, yang Bikin ‘The Bear’ Nagih

Yang saya temukan dalam The Bear adalah keengganannya untuk menjelaskan banyak hal. Eksposisi adalah musuh utama. Ini bukan serial Netflix yang setiap menitnya dihabiskan untuk menjelaskan peraturan atau konflik agar penonton tetap melek. The Bear tidak peduli kalau kamu tidak mengerti. Seperti halnya para koki di dapur, penonton diharapkan untuk selalu siap dengan cerita yang ada. Pasalnya, pembuat serial ini memberikan background cerita atau eksposisi sambil lalu. Keputusan ini membuat saya merasa seperti ada di dapur. Saya dipaksa untuk fokus dengan setiap dialog yang ada.

Dengan durasi rata-rata setengah jam, The Bear menjadikan dapur sebagai latar utamanya. Penonton jarang bertemu dengan customer. Kita selalu ditempatkan di belakang, sebelum restoran dibuka. Kita diajak untuk melihat apa yang terjadi di dapur ketika para koki menyiapkan masakan sebelum pembeli datang. Setelah menonton episode pertamanya, saya jadi paham kenapa semua orang berteriak di MasterChef. The Bear dengan jenius berhasil menjelaskan kepanikan dan kekacauan yang ada di dapur.

Saya tidak pernah merasa setegang ini menonton serial yang isinya tentang orang-orang yang menyiapkan makanan. Apakah ini pernyataan yang berlebihan? Tunggu sampai kamu menyelesaikan episode pertamanya dan kamu akan mengerti maksud saya. Rasanya seperti Uncut Gems tapi di dalam dapur. Saya sudah mengira akan ada adegan tusuk menusuk di akhir episode satu, saking tegangnya.

Sumber: IMDB

Ternyata ada alasan kenapa episode pertama dibuat setegang itu karena semua hanyalah permulaan. Dalam delapan episode, The Bear menampilkan pertarungan, tagihan utang, trauma, rasa berduka, kunjungan dari departemen kesehatan yang mengancam masa depan restoran mereka, listrik yang tiba-tiba mati, toilet yang muncrat air, sampai adegan tembak menembak. Puncaknya mungkin ada di episode tujuh ketika Sydney berhasilkan melakukan revolusi yang membuat semua sistem crash. Ditampilkan dalam satu continuous shot tanpa henti, episode tujuh adalah pencapaian terbaik The Bear dari semua segi.

Ada hal yang menyenangkan ketika saya menonton serial TV dan masih terus menemukan hal baru tentang karakter tersebut, meskipun saya sudah menonton beberapa episode. Format The Bear yang unik membuat penonton menemukan hal-hal yang baru terhadap karakter-karakternya. Ketika backstory diperkenalkan atau diberi tahu informasi baru yang mengubah konteks, kita menjadi melihat karakter-karakter ini dari sudut pandang yang berbeda.

Yang juga membuat The Bear sangat asyik bagi saya adalah tidak ada satu pun karakter dalam serial ini yang dibuat total hitam atau putih. Semuanya abu-abu. Semua orang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Ini bagian terbaik dari The Bear: Semua orang mendapatkan kesempatan bertumbuh yang sama. Karakter seperti Richie yang mulutnya ember banget dan ngeyelan, secara sekilas memang layak dibuang saja. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menemukan ada alasan kenapa kakak Carmy bisa akrab dan mau bekerja sama dengan orang ini.

Baca juga: Mbah Satinem: Wajah Tradisional Feminisme di Indonesia

Ada juga Tina (Liza Colon-Zayas), senior yang ada di dapur yang memandang sebelah mata orang seperti Carmy dan Sydney. Sangat mudah untuk melihat kenapa orang seperti Tina tidak mau diatur oleh “bayi” seperti Sydney. Sangat mudah juga bagi penonton untuk membenci Tina karena dia berkali-kali menolak perintah yang diberikan Sydney. Ketika akhirnya Tina menyadari apa yang dilakukan oleh Sydney adalah untuk kebaikan bersama, di situlah The Bear menunjukkan kemampuannya. Serial ini membuat orang-orang untuk tumbuh. 

Dengan penampilan yang baik dari semua pemainnya, The Bear ditutup dengan sebuah konklusi yang membuat saya berharap agar serial ini segera dibuat musim berikutnya. Serial ini tidak hanya berhasil membuat saya menjadi mengerti konsep semua orang teriak-teriak di dapur tapi juga (yang terpenting) memahami kenapa budaya teriak-teriak ini harus diberantas. Oh ya, yang terakhir, jangan menonton serial ini dalam keadaan perut kosong. Seperti ceritanya, gambarnya memang selezat itu.

The Bear dapat disaksikan di Disney+ Hotstar.

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.