Women Lead Pendidikan Seks
August 18, 2022

Review ‘Suka Duka Berduka’: Ruwetnya Berduka di Tengah ‘Perang’ Warisan

‘Suka Duka Berduka’ meninggalkan sebuah pertanyaan yang muncul setelah meninggalnya sosok patriark dalam keluarga, yaitu seberapa besar jatah warisan yang akan diterima setiap anak?

by Aurelia Gracia, Reporter
Culture // Screen Raves
Review Suka Duka Berduka
Share:

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler.

Saat menyaksikan episode pilot Suka Duka Berduka (2022), saya langsung tertarik mengikuti tujuh episode berikutnya. Alasannya, di antara serial Indonesia lain yang kebanyakan fokus pada romansa remaja, Nia Dinata dan Andri Cung selaku sutradara, memilih mengangkat suasana berduka di keluarga besar.

Ceritanya bermula dari meninggalnya Rauf Affan (Lukman Syah), pebisnis ternama yang juga kepala keluarga. Ia meninggalkan anak, cucu, dan warisan—yang paling diincar oleh ketiga anaknya dan sang menantu.

Permasalahan makin terlihat ketika Mitha (Ersa Mayori) dan Ella (Luna Maya) mulai membicarakan tentang warisan. Awalnya mereka protes dengan jatah warisan Rasyid (Oka Antara), si anak bungsu yang akan mendapatkan bagian paling besar. Sebab, ia anak laki-laki yang menurut hukum Islam mendapatkan dua per tiga warisan.

Bahkan, belum juga jenazah Rauf dimakamkan, Ella meminta sebelum 40 harinya urusan warisan sudah diselesaikan. Ia semakin mendesak permintaan tersebut setelah Paul (Tora Sudiro), suaminya, tertimpa musibah sampai mengancam kariernya sebagai politikus.

Namun, drama keluarga Affan enggak hanya berputar pada perkara warisan. Menggambarkan sejak hari kematian hingga memperingati 40 hari meninggalnya Rauf, Nia dan Andri memotret setiap karakter dengan konfliknya masing-masing, melengkapi serial bergenre komedi satire ini.

Ada Ipung (Krisjiana Baharudin) cucu yang childish dan hobi giting, Vano (Samudra Taylor) atlet sepak bola sekaligus cucu kesayangan Rauf, Naumi (Jihane Almira Chedid) istri Ipung yang pintar bikin kue, serta Lilis (Atiqah Hasiholan) mantan caddy girl yang jadi istri kedua Rauf.

Selain lewat keragaman karakternya, Suka Duka Berduka menampilkan kehidupan keluarga Affan dari sudut pandang Naumi, cucu menantu yang baru menjadi bagian dari keluarga ini.

“Masuk ke keluarga suami gue, bagaikan nonton sirkus yang seru,” kata Naumi saat mengawali episode pertama serial ini.

Hal itu membuat penonton semakin relate dan terlibat di dalamnya. Sebab, sebagai “orang luar” yang baru menikah dengan Ipung kurang dari satu tahun, Naumi enggak punya bias dengan keluarga Affan, seperti anggota keluarga lainnya.

Contohnya Mitha dan Ella yang kerap berperilaku sinis terhadap Lilis, lantaran usianya lebih muda dari anak-anak ayahnya. Tipikal stereotip istri kedua, yang dianggap ingin menguasai harta suaminya. Atau dua kakak beradik tersebut yang menganggap Rasyid belum menikah karena enggan berkomitmen, dan ujung-ujungnya kembali pada jumlah warisan yang akan diterima Rasyid.

Namun, tulisan ini enggak akan menjawab bagaimana keluarga Affan menyelesaikan masalah warisan mereka, tetapi membahas lebih lanjut tentang dinamika di keluarganya yang juga merepresentasikan kehidupan kita.

Sumber: IMDB

Baca Juga: Keluarga Cemara Film Tentang Kesetaraan Suami Istri

Realitas Keluarga yang Berduka

Layaknya keluarga yang baru saja ditinggal sosok patriark, umumnya anak sulung merasa harus menggantikan posisi ayahnya dalam mengurus keluarga.

Dalam Suka Duka Berduka, Mitha adalah orangnya. Ia segera bangkit dan terlihat ingin melindungi keluarganya dari “ancaman” orang luar, yaitu Lilis. Berulang kali Mitha tampak meyakinkan diri, bahwa istri kedua ayahnya itu tidak mengambil sepeser pun kekayaan Rauf. Atau mengambil kain batik yang memiliki nilai jual tinggi.

Kemudian, eldest daughter syndromeanak perempuan tertua yang mengambil lebih banyak tanggung jawab dibandingkan adik-adiknya—turut dinarasikan lewat karakter Mitha yang memastikan acara tahlilan ayahnya berjalan lancar.

Salah satunya ketika ia menutupi anggaran untuk tahlilan, saat Ella sedang tidak bisa membayar. Begitu juga saat Mitha meminta pacarnya mengembalikan uang muka vila di Bali, karena acara tahlilannya berantakan dan urusan warisan belum dibicarakan.

Lewat kedua adegan tersebut, terlihat bagaimana Mitha mengutamakan keluarganya dan mengesampingkan keinginannya. Belum lagi, karakternya juga merupakan seorang single mom yang mengutamakan kebahagiaan anaknya, Vano.

Sebagai ibu tunggal, Mitha menanamkan pada Vano, ia berhak bahagia. Hal itu disampaikan lewat adegan, ketika ia meyakinkan anaknya untuk melamar Tisha (Shalom Razade).

“Denger ya, Van. Pernikahan mama sama papa kamu memang berakhir pahit, tapi, jangan pernah pikir kamu enggak bisa merasakan manisnya, Van. And you deserve to be happy,” katanya.

Dalam serial televisi maupun film, karakter ibu tunggal seperti Mitha termasuk dalam Struggling Single Mother trope. Trope ini biasanya memiliki satu orang anak—umumnya laki-laki, dan keduanya menjalin hubungan yang sangat dekat. 

Persis bagaimana relasi Mitha dan Vano, yang ditampilkan saling ada untuk satu sama lain. Misalnya saat Mitha ditinggal pacarnya dan usai pembacaan surat wasiat, Vano hadir untuk menenangkan ibunya. Pun Mitha juga selalu di samping anaknya ketika ia cedera.

Selain lewat karakter anak sulung, realitas keluarga yang berduka juga muncul lewat pertanyaan di setiap episodenya. Kapan surat wasiat bisa dibacakan?

Seberapa besar jatah warisan yang akan diterima setiap anak?

Perlu usaha ekstra bagi Ella dan Mitha mengajak Rasyid agar mau membicarakan tentang warisan. Dibandingkan kedua kakaknya, anak bungsu dari Rauf itu paling punya akal sehat. Ia meminta untuk menunggu 40 hari ayahnya, menunggu masa berkabung agar persoalan tersebut lebih layak dibicarakan. Sementara Ella dan Mitha bersikeras untuk segera menuntaskannya.

Bahkan, dalam adegan pembacaan surat wasiat juga tak luput dari pertengkaran di antara mereka. Perkara saham yang sudah dijual untuk keperluan keluarga, hingga hanya aset fisik yang tersisa.

Lewat tulisan The Shocking Reason Why Siblings Squabble Over Inheritance And How To Prevent It dalam Forbes, ahli geropsychology Aladdin Ossorio mengatakan, penyebabnya adalah lingkungan kita yang menganut budaya terobsesi dengan uang. Menurutnya, kesempatan untuk mendapatkan uang menjadi motivasi utama, sehingga mengesampingkan perilaku etis.

Dalam Suka Duka Berduka, kenyataan itu ditampilkan lewat karakter Mitha, Ella, dan Rasyid. Masing-masing mempunyai agendanya tersendiri ketika menerima warisan. Ella yang akan menggunakannya untuk mendukung karier Paul dalam berpolitik, Rasyid yang ingin syuting dokumenter, dan Mitha yang akan menggunakannya untuk menunjang karier Vano dan pindah ke Bali.

Masalah warisan itu juga yang sebenarnya memicu perdebatan utama di antara mereka. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah, apabila mengutamakan etika dan kesabaran.

Sumber: IMDB

Baca Juga: Peran 'Perempuan Korban' di Film: Basi dan Harus Ditinggalkan

Suka Duka Berduka Minim Karakter Protagonis dan Antagonis

“Home is where you are loved the most, but act the worst,” tulis Rauf mengawali surat wasiatnya.

Setelah menyaksikan delapan episodenya, kutipan itu mencerminkan keluarga Affan dengan tepat. Keluarga ini jauh dari kata “harmonis” karena mereka berperilaku sedemikian rupa di setiap persoalan. Namun, pada akhirnya akan tetap menerima satu sama lain.

Awalnya, hal itu membuat saya sulit menerka, siapa karakter antagonis dan protagonis dalam serial ini. Ternyata sampai episode akhir, pertanyaan itu justru terjawab dengan No Antagonist trope yang diusung oleh Nia dan Andri.

Trope ini tidak merepresentasikan konflik lewat good guy yang melawan bad guy, maupun disebabkan oleh salah satu tokoh. Konflik justru muncul lewat karakter yang mengalami pergulatan dengan dirinya sendiri, atau ketegangan yang harus diselesaikan oleh karakter yang memiliki intensi baik.

Beberapa film juga menyajikan plot dengan No Antagonist trope. Contohnya Finding Nemo (2003). Konfliknya berpusat pada Nemo (Alexander Gould) yang hilang, dan karakter lainnya berusaha menemukan keberadaannya.

Ada juga My Dinner with Andre (1981), tentang percakapan antara dua orang yang menikmati makan malam, tanpa ada konflik di luar argumen yang terjadi. Mereka hanya mempertanyakan nilai-nilai yang diyakini satu sama lain.

Sementara dalam serial Suka Duka Berduka, urusan warisan yang secara tidak langsung diselesaikan oleh Rasyid, yang meminta menunggu 40 hari sejak kepergian ayahnya. Kebetulan, memang selalu ada kendala ketika Ella dan Mitha bersikeras pembacaan wasiat dilakukan di hari ketujuh.

Tidak hanya perkara warisan, No Antagonist trope juga muncul dalam perselisihan rumah tangga Ipung dan Naumi.

Karakter Ipung digambarkan sebagai seorang pemakai ganja yang enggak pernah kapok, sekalipun di tengah kedukaan keluarganya. Perilakunya itu bahkan membuat kekacauan di tahlilan tujuh hari Rauf, ketika Paul, ayahnya, menitipkan Ipung sejumlah uang untuk diberikan pada anak yatim.

Bukanya menyelesaikan tanggung jawabnya, Ipung malah meninggalkannya untuk giting bersama seorang asisten rumah tangga. Ujung-ujungnya, Naumi yang jadi penyelamat dengan menemukan uang tersebut dan memberikannya ke Paul. Ia selalu menjadi sosok yang berusaha menyadarkan suaminya atas perbuatannya.

Baca Juga: Adakah Cara Berduka yang Tepat Saat Pandemi?

Enggak hanya itu, Ipung juga dalang dari kegagalan Paul yang nyaleg sebagai gubernur DKI Jakarta. Kejadian tersebut masih belum mempan untuk membuatnya mengubah sikap. Hingga akhirnya kepulangan Naumi ke rumah sang ibu yang menjadi titik balik perubahan hidupnya.

Dengan kata lain, masalah yang disebabkan Ipung dapat terselesaikan ketika ada kesadaran diri. Sebab, kebanyakan masalah itu berasal dari pergumulan dengan dirinya sendiri.

No Antagonist trope yang ditampilkan dalam Suka Duka Berduka ini semakin mendekatkan penonton dengan realitas hidup sehari-hari, di mana enggak ada manusia yang sepenuhnya bersikap jahat maupun baik. Pun, enggak sedikit persoalan yang disebabkan karena perbedaan pendapat antara diri sendiri dan orang lain.

Dengan demikian, serial ini telah mengemas realitas kehidupan dengan apik tanpa melibatkan drama yang enggak perlu, tapi tetap relate dengan keseharian penontonnya.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.