Women Lead Pendidikan Seks
November 23, 2022

Review 'The Fabelmans': Surat Cinta Spielberg untuk Sinema

Sebuah film tentang sinema dan kecintaan sang sineas maestro terhadap si teknologi gambar hidup.

by Candra Aditya
Culture // Screen Raves
Share:

Film terbaru Steven Spielberg dibuka dengan adegan yang langsung bicara tentang cinta pada sinema.

Burt Fabelman (Paul Dano) mengatakan bahwa film adalah sebuah pengalaman yang luar biasa, Mitzi Fabelman (Michelle Williams) meyakinkan anaknya yang masih kecil, Sammy (Mateo Zoryon Francis De-Ford), bahwa film tidak menakutkan.

Di tengah kegelapan, Sammy menonton film pertamanya, The Greatest Show On Earth. Buatnya, pengalaman itu adalah jatuh cinta pada pandangan pertama. Film itu terlihat seperti sebuah keajaiban, dan hidup Sammy berubah untuk selamanya.

Hidupnya (kemudian diperankan Gabriel LaBelle) mungkin terus-terusan berubah. Ayahnya terus mengangkut seluruh keluarga pindah tempat tinggal karena pekerjaannya, sementara ibunya punya problema yang Sammy sendiri tidak yakin sebabnya apa. Namun, ada satu hal yang tetap sama: kecintaannya terhadap film.

Lengket seperti penyakit akut, Sammy tidak bisa berhenti untuk mengangkat kameranya. Sammy mungkin malu-malu saat memperlihatkan hasil karyanya, tapi ia tidak pernah berhenti merekam. Bahkan ketika ia pikir dia sudah berhenti melakukan "hobi" ini, Sammy pada akhirnya tetap mengejar mimpi tersebut.

Baca juga: ‘Black Panther: Wakanda Forever’: Masih Bagus, Cerdas, Penting, dan Politis

Spielberg Kecil dan Trauma Keluarga

Setelah menonton The Fabelmans, saya sangat paham mengapa Steven Spielberg membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat film ini. Setiap jengkal The Fabelmans terasa begitu dekat, begitu personal. Setiap dialog, setiap perdebatan, setiap tangisan dan tawa terlihat seperti sebuah memori.

Sammy (alias stand-in-nya Spielberg) bukan tipikal karakter anak seni yang langsung mencolok di keramaian. Dia bukan tipikal tokoh yang mencuri perhatian, larger than life, atau nyentrik. Sammy adalah karakter yang tampil biasa saja. Dalam keluarganya, Sammy justru yang paling jarang bicara. Sementara saudari-saudarinya cerewet, Sammy lebih gemar mengangkat kameranya dan merekam situasi yang ada. Sammy, seperti halnya calon sutradara yang sangat baik, adalah seorang pemerhati (observer) yang luar biasa. Saking luar biasanya, kelak dia akan melihat sumber masalah yang bahkan ayahnya sendiri tidak memperhatikan.

Baca juga: ‘The First Responders’, Drakor Baru tentang Polisi dan Pemadam Kebakaran

Bakat Sammy dipupuk oleh orang tuanya dengan cara yang sangat berbeda. Ayahnya punya pendekatan "saya bangga dengan apa yang kamu lakukan asal kamu senang", sementara ibunya mendukung lebih terang-terangan. Mitzi yang juga seorang pianis merasa menemukan dirinya dalam diri Sammy. Mereka sama-sama pecinta seni dan mereka juga memiliki emosi yang kadang meletup tidak terduga, meskipun emosi Mitzi justru lebih tidak bisa diprediksi dan menjadi drama besar dalam hidup Sammy (Mitzi tidak dijelaskan memiliki masalah mental, tapi sepanjang film Mitzi digambarkan mempunyai emosi yang tidak stabil dan sifat yang sangat impulsif).

Ada alasan kenapa banyak sekali potret keluarga yang patah dalam film-film Spielberg, dan kamu bisa melihat bagaimana perpisahan kedua orang tuanya memengaruhi Speilberg.

The Fabelmans mungkin bukan jenis film yang mengharu-biru, tapi Spielberg meyakinkan penonton bahwa salah satu momen paling patut dikenang adalah saat penonton dipaksa menyaksikan sebuah adegan konfrontasi yang menyesakkan.

Mungkin, yang justru bikin kaget adalah karena Spielberg menaruh adegan tersebut di tempat tak terduga. Tidak ada aba-aba, semuanya terjadi begitu saja. Seperti halnya hidup, tidak ada yang bisa menyiapkan penonton dengan skenario yang menyedihkan.

The Fabelmans Merupakan Surat Cinta Spielberg untuk Sinema

Selain film keluarga, The Fabelmans adalah sebuah film tentang betapa besar rasa cinta Spielberg terhadap sinema. Ia tahu benar bahwa mencintai seni kadang menjadi sebuah obsesi yang berlebihan, tidak masuk akal, dan terlalu consuming. Namun, pada akhirnya kita tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu—mereka yang punya hasrat serupa akan memahaminya.

Ada satu monolog panjang yang disampaikan karakter bernama Boris (Judd Hirsch) ke Sammy, yang menurut saya disampaikan sangat personal. Saya tidak akan membeberkan pidatonya, tapi bagi kalian pecinta seni, penulis, pelukis, pembuat film, art-maker in general, apa yang diucapkan oleh karakter ini terlalu nyata, sampai rasanya seperti ditampar.

Baca juga: Review ‘Enola Holmes 2’: Megah, Sinematik, dan Tontonan yang Menyenangkan

Hampir seperempat durasi film ini dihabiskan Spielberg untuk memperlihatkan karakter-karakternya menonton film, merekam gambar, memotong-motong gambar dalam keheningan. Hebatnya, semua momen tersebut tidak ada satu pun yang terasa membosankan. Spielberg berhasil mengajak saya untuk sekali lagi menyaksikan bagaimana magisnya sebuah film dibuat.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan aktor-aktor film ini yang harus memerankan karakter-karakter nyata dalam kehidupan sutradaranya. Tapi yang jelas, semua aktor di dalamnya bermain dengan sangat baik. Dari Paul Dano yang sangat loveable, Michelle Williams yang bersinar, sampai Gabriel LaBelle yang mendapatkan tugas paling berat untuk menjadi avatar Spielberg.

Chemistry mereka semua sungguh luar biasa sehingga mudah sekali untuk percaya bahwa mereka keluarga sungguhan.

Berkat permainan mereka, penonton diundang untuk merasakan sebuah nostalgia yang bittersweet. Film ini menjadi penuh karena ia tidak ragu-ragu untuk menampilkan kebahagiaan di puncak tertinggi dan juga luka saat baru berdarah.

The Fabelmans tayang di bioskop.

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.