Women Lead Pendidikan Seks
January 17, 2019

Rina Nose dan Seni Mencintai Diri Tanpa Atribut Agama

Masyarakat Indonesia semakin menjadikan hijab hanya sebagai komoditas bisnis dan capaian kecantikan seorang perempuan.

by Kanya Suryadewi
Issues // Politics and Society
Share:

Beberapa waktu lalu saya menonton sebuah temu wicara yang dibawakan oleh salah satu pembawa acara ternama, Alvin Adam. Bintang tamu acara itu sangat menarik, komedian sekaligus pembawa acara Rina Nose, yang telah memicu “kontroversi” setelah memilih tidak lagi memakai hijab. Alasannya sederhana, ia hanya ingin menjadi lebih manusia dengan atau tanpa atribut yang menempel di tubuhnya.

Sebagai tokoh publik, Rina sudah pasti paham dengan respons masyarakat yang terlalu mengagungkan hijab sebagai atribut keagamaan itu.

Ketika Alvin menanyakan hal ini kepada Rina, ia hanya menjawab santai, “Banyak yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang layak untuk dipancung, bahkan tidak jarang ada yang berseru bahwa darah saya layak dan halal untuk dihabiskan. Hanya karena keputusan saya untuk melepas hijab.”

Rina bercerita pula bahwa banyak sekali orang-orang yang mengomentari setiap unggahannya di media sosial, seakan-akan mereka yang paling tahu dan yang paling benar. Rina mengatakan, “Ketika orang-orang mengatakan saya lebih cantik dengan berhijab, mereka apa tidak sadar bahwa mereka itu mengeksploitasi kebebasan seorang individu, seorang perempuan terhadap tubuhnya. Kenapa sih semua harus disangkutpautkan dengan kecantikan? Kenapa pula yang harus dikomentarin itu hanya tampilan luar? Kenapa tidak ada hal lain yang bisa dikomentarin?”

Jawabannya membuat saya kagum dan jujur, saya setuju dengan pernyataan yang Rina lontarkan. Kenapa, sih, orang-orang senang mengomentari tampilan orang lain dibanding prestasinya atau apa pun?

Saya berhijab. Memang belum lama, tapi saya pun merasakan apa yang Rina rasakan. Kata-kata yang sering saya terima setelah memutuskan berhijab adalah, “Kamu makin cantik, deh.” Saya bersyukur, penampilan saya membawa pengaruh positif terhadap lingkungan saya. Tapi apa saya merasa nyaman terhadap hal itu? Tidak sama sekali.

Jika saya melepas hijab saya, saya akan merasa bahwa diri saya itu jelek dan tidak menarik. Dan makna kerudung yang saya pakai akan berubah. Hanya sebagai sebuah atribut untuk mempercantik diri sendiri, sama halnya dengan tata rias yang menempel di wajah atau pakaian yang menempel di tubuh.

Ibu saya suatu hari berkata, “Hijab itu sekarang sudah menjadi gaya busana yang biasa banget. Tanah Abang isinya toko yang jualan kerudung semua. Enggak ada, tuh, kita liat yang jualan enggak ada kerudungnya. Mungkin ada, tapi berapa banyak sih?”

Ketika saya datang ke sekolah adik dan adik sepupu saya, hampir semua siswinya mengenakan kerudung. Saya tanya apakah memang ada aturan sekolah terkait hal ini, mereka menjawab, “Enggak, ini karena Mama yang suruh.” Belum lagi banyaknya tokoh publik negeri ini yang menjadikan hijab sebagai tampilan paling menarik mereka. Atau para calon ibu mertua sana yang menginginkan seorang menantu yang sopan dan manis yang identik dengan, “Kamu berhijab, cantik ya.”

Orang Indonesia mudah tertarik rasa simpatinya terhadap orang lain dengan tampilan religius. Ini sangat disayangkan. Sebagai perempuan berhijab, saya merasa masyarakat Indonesia hanya menjadikan hijab sebagai komoditas bisnis dan capaian kecantikan seorang perempuan. Bagi saya, itu sungguh merendahkan makna hijab itu sendiri.

Hijab bagi saya bukan hanya sekadar kewajiban yang harus saya tunaikan, bukan pula komoditas mode agar saya dikenal sebagai “hijaber”, atau cara agar saya terlihat menarik di mata masyarakat. Hijab bagi saya jauh dari sekadar gaya busana. Saya membutuhkan hijab. Saya butuh memakai hijab karena hijab adalah pengingat bahwa saya adalah manusia.

Saya adalah seorang individu merdeka yang juga bisa merasakan sakit, bisa merasa menjadi cantik, merasa menjadi kurang dengan atau tanpa hijab yang menempel di kepala saya. Manusia yang berbeda, yang tinggal dan hidup dengan banyak manusia yang berbeda pula. Manusia merdeka yang mungkin suatu hari nanti mempunyai keinginan dan hak untuk melepas hijab. Dan manusia yang bisa juga merasakan sedih jika hijab yang saya pakai hanya dijadikan sebagai satuan kecantikan semata.

Memakai kerudung atau tidak memakai kerudung bukanlah hak orang lain untuk ikut campur di dalamnya. Menjadi cantik tidak perlu memakai hijab. Menjadi orang baik tidak perlu memakai hijab.

Cintai diri kamu apa adanya, dengan atau tanpa hijabmu. Cintai diri kamu apa adanya dengan atau tanpa atribut agama menempel di tubuhmu. Pakailah sesuatu yang membuatmu nyaman dan karena kamu butuh itu. Bukan karena kamu memang harus memakai itu.

Agama itu hanya atribut, isinya adalah diri kamu sendiri dan hidup kamu. Jadilah cantik, jadilah baik dengan apa pun kamu. Dan cintai itu.

Kanya Suryadewi adalah seseorang yang senang membaca buku dan bercita-cita ingin menjadi penulis dan hidup di Yogyakarta. Semua tulisannya bisa dilihat di blog miliknya kutipankanya.wordpress.com.