Women Lead Pendidikan Seks
January 28, 2022

Riset: Nyaris Separuh Jurnalis Perempuan Dunia Jadi Korban Pelecehan

Riset WAN-IFRA Women in News menunjukkan, 41 persen jurnalis perempuan di dunia mengalami pelecehan seksual. Apa sebab?

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Issues
Share:

Pada November 2021, pria dengan akun Instagram @arief_wirasatya_435 melecehkan jurnalis perempuan di Balikpapan. Tak hanya mengirimi pesan soal seksualitas, tapi juga melakukan panggilan video demi menunjukkan penisnya. Tahun sebelumnya, Desember 2020, jurnalis perempuan di Lombok Utara, DW, dilecehkan saat berolahraga oleh S (25), warta setempat. Pelaku mengikuti korban dengan motor lalu memegang payudara DW.

Di belahan dunia lain, reporter Esporte Interativo Bruna Dealtry dicium tanpa izin saat meliput pertandingan bola di stadion Brasil, 2018.

Sejumlah kasus yang mencuat ke permukaan ini tentu saja cuma bagian dari fenomena gunung es kekerasan seksual yang menimpa jurnalis perempuan di dunia. Hanya saja jika ditelusuri datanya, kita cenderung akan kesulitan menemukan angka yang pasti. Pasalnya, tak banyak wartawan perempuan yang berani melaporkan pengalaman mereka ini.

Berangkat dari sinilah, WAN-IFRA Women in News, organisasi nirlaba untuk kesetaraan gender di media dalam riset bertajuk Sexual Harassment in the Media: 2020-2021 mencoba menginventarisasi data kekerasan seksual wartawan perempuan global. Mereka menyurvei 2005 responden, dengan perempuan sebanyak 1230 orang.  

Salah satu temuan pentingnya, sebanyak 41 persen perempuan pekerja media di dunia mengalami pelecehan seksual. Artinya, dua di antara lima perempuan pekerja media menjadi korban pelecehan. 

Baca juga: Survei AJI: Pejabat Publik Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak Pada Jurnalis

Riset yang dilakukan di lima wilayah, Amerika Tengah, Afrika, Eurasia, Arab, dan Asia Tenggara ini juga menunjukkan rata-rata 30 persen pekerja media, laki-laki, perempuan, dan gender non-conforming, mengalami pelecehan di kantor. Selain itu, satu di antara setiap sepuluh responden mengalami pelecehan lebih dari lima kali. 

Direktur Eksekutif WAN-IFRA Melanie Walker mengatakan temuan tersebut mempertegas pelecehan seksual kepada pekerja media, jurnalis maupun staf organisasi media, sebuah endemi yang tidak pandang bulu.

“Data dikumpulkan sejak November 2020 sampai 2021. Dan yang mengejutkan bagaimana temuan kasus ini konsisten di setiap negara dan daerah. Kecurigaan kami pelecehan seksual ini menjadi isu besar di industri (media) benar,” ujar Walker dalam konferensi pers “Release of Global Research on Sexual Harassment in the Media” (26/1). 

“(Saya) berharap (riset) ini menjadi langkah pertama dari percakapan berkelanjutan tentang pelecehan seksual di 20 negara wilayah riset.” ujarnya.  

Pekerja Perempuan Paling Rentan

Dalam laporannya di wilayah Asia Tenggara, meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam ditemukan dari 494 responden, 21 persen mengalami pelecehan seksual. Jumlah persentase terbesar sebanyak 33 persen di Malaysia, Filipina dengan 28 persen, dan 27 persen di Myanmar. Untuk Indonesia rata-rata pekerja media mengalami pelecehan sebanyak 14 persen. 

Dari jumlah tersebut ditemukan perempuan yang paling rentan mengalami pelecehan seksual. Dari 269 responden perempuan, 35 persen mengalami pelecehan seksual, sedangkan laki-laki pada 4 persen dari 221 pekerja media. Artinya perempuan dua kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual. 

Baca juga: Riset: Pemahaman Jurnalis Atas Isu Kekerasan Seksual Sangat Minim

Selain itu, Gabriella Siciliano, Director Digital Women in News, WAN-IFRA mengatakan, jika melihat jumlah persentase secara global frekuensi perempuan mengalami pelecehan signifikan dan lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Pekerja media perempuan di 20 negara tersebut lima kali lebih rentan menjadi korban. 

“Pelecehan seksual secara verbal, misalnya, sebanyak 53 persen laki-laki 16 persen, fisik dengan 29 persen perempuan dan 8 persen laki-laki. Melihat prevalensi pelecehan seksual di skala global , rata-rata perempuan lebih rentan daripada laki-laki,” kata Siciliano. 

Molly Tsitsi Chimhanda, Senior Manager dan Periset Women in News, WAN-IFRA juga mengatakan, hasil riset menunjukkan pelaku pelecehan seksual terbanyak dilakukan oleh teman sekantor. Meski demikian, perlu digarisbawahi juga, atasan, seperti direct supervisor dan higher management, serta narasumber yang menjadi pelaku.

“Kami menemukan orang dengan kekuatan besar (di kantor) atau atasan yang menjadi pelaku sebanyak 19 persen. Hal ini terjadi karena ada ketimpangan kekuasaan dan begitu pula dengan narasumber berita. Tidak ada hubungannya dengan aspek seksual, tetapi ketimpangan seperti supervisor dan subordinate-nya. Atau antara pegawai lebih tua dengan yang muda,” lanjut Chimhanda. 

Korban Tidak Melaporkan

Meski demikian, tidak semua korban melaporkan kasusnya kepada kantor. Riset tersebut menunjukkan 74,7 persen korban tidak melaporkan, 10,7 persen melaporkan beberapa kasusnya, dan 5,9 persen yang melaporkan. 

Alasan paling besar memilih tidak melaporkan kasus karena tidak terdapat mekanisme pelaporan di kantor. Selain itu, korban juga takut akan menerima respons negatif dan merasa kurang memiliki bukti, terlebih dalam kasus pelecehan verbal. Sementara responden laki-laki tidak melaporkan karena menilainya bukan suatu masalah. 

Baca juga: ‘Bombshell’: Meja Redaksi jadi Sarang Predator Seksual

Selain itu, tambah Siciliano, ada disparitas tanggapan antara kasus yang dilaporkan laki-laki dan perempuan. Respons paling besar dengan memperingati pelaku, sementara pemecatan dan dilaporkan ke polisi yang berkisar pada dua persen. Penanganan berbeda dengan laki-laki, di mana kantor memberikan pelatihan pelecehan seksual. 

Respons yang kurang memuaskan itu disebabkan minimnya kesadaran pemimpin media tentang pelecehan seksual. Riset tersebut menunjukkan, setelah mewawancara 85 eksekutif media, hanya 27 persen di antaranya yang menilai pelecehan seksual sebagai masalah di industri media. Atau hanya satu di antara sepuluh yang memiliki SOP penanganan kasus pelecehan seksual

Chimhanda mengatakan, oleh karena itu sangat penting pemimpin media untuk memahami tentang pelecehan seksual dan meningkatkan kesadaran pekerja atas hal itu. Pemimpin media pun bertanggung jawab untuk mengimplementasikan aturan tentang pelecehan seksual. Selain itu, berkomunikasi dengan pekerja untuk menciptakan lingkungan yang nyaman untuk pelaporan.

“Mekanisme yang jelas, seperti apa konsekuensi diberikan pada pelaku dan kepada siapa pekerja bisa berbicara mendorong proses yang transparan. Tapi sebaiknya, ketika kali pertama ada yang mengatakan hal tidak senonoh, alih-alih menunggu masalah terus meningkat, harus ada kesadaran untuk mencegahnya,” ujarnya. 

Riset dapat diakses di sini

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.