Setelah mendapat aksi demonstrasi besar-besaran dari berbagai lapisan masyarakat di seluruh indonesia, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi ditunda pembahasannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga waktu yang tidak ditentukan. Meski demikian, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi meminta rakyat tidak mengurangi kewaspadaan mereka terhadap perkembangan RKUHP.
Frenia Nababan, Direktur Program Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), mengatakan aksi-aksi yang terjadi saat ini merupakan respons atas kerja DPR dan pemerintah yang tidak transparan dalam membahas RKUHP. Ia meminta pemerintah untuk membuka saluran selebar-lebarnya bagi masyarakat dan pihak lainnya untuk berpartisipasi dalam pembentukan rancangan undang-undang.
“Seminimal-minimalnya, pemerintah bisa membuat tautan survei daring tanggapan tentang RKUHP. Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) waktu itu membuat hal serupa kok terkait dengan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), dan hasilnya diumumkan secara publik,” kata Frenia kepada Magdalene, minggu lalu.
Baca juga: Pasal Soal Gelandangan di RKUHP Ancam Perempuan
Senada dengan Frenia, Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang giat mendorong reformasi perundangan di Indonesia, mendorong pemerintah membentuk komite ahli dan agar transparan terhadap masyarakat.
“Sebenarnya saat ini masyarakat mulai paham isu dan DPR harus sadar bahwa mereka itu diawasi. Kemarin aksi mahasiswa dikritik bahwa mereka tidak baca. Hal tersebut merupakan cerminan dari tertutupnya akses masyarakat pada informasi yang Pak Yasonna bilang. Draf terbaru saja susah untuk mendapatkannya,” ujar Maidina pada Magdalene secara terpisah.
Ia mengacu pada Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang baru-baru ini mengecam sejumlah pihak pengkritik RKUHP sebagai “bodoh”.
Frenia mengatakan bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan RKUHP, yang mengandung belasan pasal yang banyak diprotes, sambil mengampanyekan tujuh tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil.
“Kami tetap pada tuntutan kami, tunda RUU yang bermasalah. Selain itu, kami juga menuntut agar negara menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis. Untuk RKUHP, kami sudah sering kali memberikan masukkan kepada pemerintah terkait pasal-pasal bermasalah di RKUHP, namun hingga saat ini pasal-pasal tersebut belum juga ada perubahan,” ujarnya.
Maidina mengatakan, berdasarkan pantauan ICJR, ada banyak pasal yang ngawur dan terkesan copy-paste dalam RKUHP.
“Misalnya soal penggelandangan, pidananya dikatakan sudah diturunkan, tetapi kembali lagi. Apakah pasal tersebut masih relevan saat ini? kalau hanya dikurangi pidananya, ya itu hanya modifikasi, padahal seharusnya rekodifikasi,” ujar Maidina.
Rekodifikasi adalah upaya pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dengan tujuan agar kumpulan hukum-hukum tersebut menjadi sederhana, mudah dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti.
Maidina mengatakan, DPR dan Pemerintah harus berhenti menggunakan narasi empat tahun pembahasan, karena rekodifikasi harus dilakukan dengan evaluasi.
“Kalau mau rekodifikasi, prosesnya memang lama, karena dilakukan secara menyeluruh. Kalau memang lelah, waktunya terbatas, ya gunakan saja amandemen bertahap. Dengan jalur tersebut tiap pasal bisa dibicarakan secara fokus dan evaluatif,” tambahnya.
Baca juga: RKUHP Era Milenial Rasa Kolonial Harus Ditunda: Aktivis
Frenia mengatakan, memperbaharui KUHP bukan hanya mengurangi durasi pidananya, namun juga harmonisasi terhadap regulasi-regulasi yang telah ada, salah satunya pidana soal aborsi.
“Kita perlu mengingat bahwa konteks aborsi dilarang di KUHP lama karena dulu aborsi tidak melalui tindakan-tindakan medis yang membahayakan perempuan. Maka dari itu, dibuatlah pidana tersebut. Nah, di tahun 1960-an sudah ada seminar-seminar kesehatan terkait dengan tindakan aborsi dilakukan sebagai tindakan medis. Maka dari itu, diaturlah di Undang-Undang Kesehatan. Aspek ini yang absen dari pembahasan RKUHP,” tambahnya.
Tidak hanya harmonisasi saja, Frenia juga menjelaskan bahwa selama ini proses pembahasan RKUHP minim partisipasi dari berbagai pihak termasuk masyarakat sipil dan pakar dari berbagai aspek mulai dari kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Aspek kesehatan tersebut yang selama ini diperjuangkan oleh PKBI, ujarnya.
“Walaupun di RKUHP disebutkan terkait edukasi kontrasepsi hanya dilarang untuk anak-anak, kita perlu lihat konteksnya. Angka perkawinan anak tinggi, umur 13-14 tahun sudah menikah, apa kita harus menunggu risiko reproduksi yang besar dulu baru kita beritahu edukasi tersebut?” kata Frenia.
Comments